Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEBYAR di kancah hiburan bukan jaminan kesejahteraan. Bintang yang dielu-elukan kerap harus berjuang keras atau bahkan prihatin dalam kehidupan nyata sehari-hari. Fenomena dunia panggung itu terjadi pada Srimulat.
Pelawak Kadir, 59 tahun, masih ingat beratnya kondisi ekonomi saat mulai bergabung dengan Srimulat pada awal 1980-an. "Belum berani nikah," katanya. Saat itu honor untuk pemain belum besar. "Sekali pentas hanya cukup untuk sekali makan di warung," tuturnya.
Upah rata-rata Rp 400—empat ratus rupiah saja—untuk setiap pemain. Agar cukup untuk hidup sehari, Kadir dan personel Srimulat lain lebih sering menyiasatinya dengan cara membeli beras setengah liter, kemudian dimasak dan dimakan ramai-ramai dengan lauk seadanya.
Sesekali mereka ke warung makan kalau ada job manggung di luar Srimulat. Lumayan, honor kerja sampingan bisa Rp 5.000 sekali pentas. "Paling sebulan sekali," kata Kadir. Setelah Srimulat hijrah ke Jakarta, kesejahteraan personelnya mulai meningkat. Kadir menerima upah Rp 2.000 sekali pentas dan Rp15 ribu kalau mendapat pekerjaan dari luar.
Tak lama kemudian, Kadir bersama dua personel Srimulat lain, Basuki dan Timbul, membentuk grup sendiri dengan nama Batik Group—akronim nama ketiganya. Pendapatannya pun melonjak drastis. "Honor yang masuk kantong bisa ratusan kali lipat," katanya. Maklum, upah jasa dari pemberi kerja hanya dibagi bertiga.
Sejak itulah peruntungan Kadir terus mengalir. Selain pentas off-air, Kadir mulai bermain di berbagai film layar lebar sampai sinetron. Tak ingin hanya berkutat di bisnis hiburan, Kadir pun memutar uangnya di sektor lain. Dia sempat menjadi subkontraktor rumah-rumah sederhana, juga membuka toko alat tulis kantor dan warung makan. "Harus siap rugi. Namanya juga bukan keahlian saya," katanya.
Kadir menjalani usaha di bidang konstruksi sekitar tiga tahun, sampai pertengahan 1990-an. Agar aman, dia hanya menerima pesanan rumah yang tinggal dibangun saja. "Akhirnya berhenti gara-gara kehilangan orang kepercayaan."
Membuka usaha warung makan, seperti yang banyak dilakukan teman lain, juga menimbulkan kerepotan tersendiri. "Harus sering di warung. Pelanggan biasanya ingin ketemu di warung," katanya. Untuk menyiasati, nama warung makannya tidak menggunakan nama Kadir.
Dengan berbagai usahanya itu, Kadir menjadi anggota Srimulat yang relatif sukses dibanding yang lain. Karena itu, dia diminta menjadi koordinator dan sponsor pentas-pentas reuni pada pertengahan 1990-an setelah bubarnya Srimulat menjelang 1990.
Kadir menghimpun teman-temannya di Srimulat untuk bermain lagi hingga bisa muncul rutin di televisi swasta. Saat itu, dia menyewa bendera Srimulat untuk formalitas. "Karena orang-orangnya sudah lekat dengan nama Srimulat," katanya. Penghasilan dari reuni-reuni Srimulat itu pun dibagi rata untuk kembali menguatkan kebersamaan.
Hingga kini, jalinan kebersamaan dengan para personel Srimulat itulah yang menjadi salah satu pegangan hidup para personelnya. "Pentas-pentas off-air masih lumayan," kata Kadir. Memang tidak sebesar dulu. "Dulu teman-teman bisa beli mobil cash, sekarang kredit."
Selain Kadir, Tarzan, 66 tahun, mendulang sukses dengan bendera grup lawak sendiri. Pekerjaan sampingan mulai diterimanya semasa masih di Srimulat dengan nama pribadi. "Tapi, bagaimana ya, orang mengenalnya sudah Srimulat," kata pemilik nama asli Toto Muryadi itu.
Yang jelas, pendapatannya berlipat. "Kalau dulu diatur, sekarang bisa ngatur." Pekerjaan di luar payung Srimulat untuknya mengalir lancar. Dengan sosoknya yang tinggi-besar, dia kerap mendapat peran sosok kalangan atas, seperti majikan atau pejabat.
Seperti halnya pelawak lain, Tarzan berkutat di bidang hiburan sebagai sumber penghasilan. "Awalnya lahir dari panggung kembali ke panggung," kata Tarzan. Pekerjaan biasanya diperoleh dari teman eks personel Srimulat. "Yang dapat job nanti njawil teman. Jadi orangnya, ya, itu-itu saja," dia menjelaskan.
Dengan kebersamaan seperti itu, Tarzan yakin masing-masing anggota Srimulat bisa hidup dengan modal menjual lawakan. "Memang hujan tidak rata, tapi setidaknya bisa mendapat modal," katanya. Bagaimana pengelolaan aset itu nanti terpulang kepada masing-masing. Tarzan, misalnya, coba-coba juga menginvestasikan penghasilan lawakan ke sektor properti dan logistik. "Belajar-belajar, awalnya nitip modal dulu."
Menurut Kadir, bagi pelawak, peluang di luar bidang hiburan agak berat. "Agak susah meninggalkan pekerjaan yang kita cintai," katanya. Mencoba bidang lain untuk mencari tambahan biasanya rugi di awal atau bangkrut. Meski demikian, rata-rata mereka mencoba berusaha di luar dunia panggung yang jadi basis kariernya.
Asmuni, pelawak senior ÂSrimulat yang lekat dengan kumis Charlie ÂChaplin dan blangkon, misalnya. Dia tercatat sukses dengan warung rujak cingur di Slipi, Jakarta Barat, yang sempat jadi tempat berteduh seniman-seniman Srimulat yang belum punya rumah. Ada juga Basuki. Setelah sukses di dunia sinetron dan menjadi bintang iklan, dia kemudian merambah bisnis batik. Kedua pelawak ini sudah almarhum.
Menurut Eko Saputro, sejak era ayahnya, Teguh Slamet Rahardjo, pendiri Srimulat, masing-masing personel diberi kebebasan mencari tambahan penghasilan sendiri. Umumnya tidak jauh-jauh dari dunia pertunjukan pada awalnya, dengan menerima job dari luar, atau membentuk grup sendiri. "Balik lagi pun masih diterima," katanya.
Pola kekeluargaan memang jadi landasan manajerial Srimulat. Hubungan antara pemain dan pemilik kerap jadi cair dan fleksibel. Eko mencontohkan wujud pola hubungan itu dalam kasus utang-piutang. "Dulu banyak anggota Srimulat yang punya utang menghilang selama tiga bulan untuk memutihkan," dia mengisahkan.
Tapi, setelah tiga bulan, biasanya balik dan minta bermain lagi. "Lha utangmu piye? Emang ada uang buat bayar?" Eko menirukan pertanyaan Teguh dulu setiap ada pemain yang balik. Umumnya mereka punya jawaban senada. "Ya, dari gaji main yang Bapak kasih." Akhirnya mereka bermain lagi, tapi utang tidak dibayar juga. "Sama Bapak dibiarkan saja."
Selain mereka yang memang terpaksa mencari penghidupan seperti itu, sebagian personel Srimulat yang sudah mapan kerap minta tampil. "Mereka cuma manggung sekadar ingin atau kangen tampil," kata Eko.
Tak semua personel Srimulat sukses dalam kehidupannya. Selain yang menikmati karier keemasan di Ibu Kota, ada yang meniti masa tua dengan sunyi di daerah. Mustohir, 65 tahun, misalnya, pemain Srimulat Surabaya angkatan awal yang tersisa. Dia masuk Srimulat pada 1966, seangkatan dengan Paimo, Edi Geyol, Johny Gudel, Beni Bandempo, dan Brontoyudo.
Tohir, yang dulu spesialis berperan jadi hantu atau drakula karena kepiawaiannya merias wajah jadi menyeramkan, kini hidup sebatang kara. Saban hari dia tinggal di musala Taman Hiburan Rakyat Surabaya. "Sebelum THR dibenahi, gedung Srimulat itu ya di musala ini. Jadi, ibaratnya, saya kembali ke kandang," kata Tohir.
Untuk menyambung hidup, Tohir melukis foto dan ikut pekerjaan melawak sana-sini atau pertunjukan teater bersama seniman Bengkel Muda, Surabaya. Tohir menyimpan rapat cerita tentang keluarganya dan kejadian yang akhirnya membuat dia hidup sendiri. "Saya pasrah saja. Saya percaya Tuhan akan memberi saya job," kata Tohir. Dia masih menyimpan obsesi di usia senjanya kini: pentas teater keliling secara monolog dan "garingan". "Seperti kidungan garingan yang dilakukan Cak Markeso."
Harun Mahbub, Oktamandjaya Wiguna, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo