Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rafi tidak bisa berbicara, tapi kamera dapat menangkap sepasang matanya yang seolah berkata-kata kepada sang ayah. Mengerdip, melirik, menatap, dan sebagainya. Rafi juga bisa tersenyum, begitu ayahnya menyebut kemampuannya yang tersisa.
Rafi Auzar, 14 tahun, tak punya kuasa atas tubuhnya yang tipis, kaku, dan tak bergerak. Dibantu cahaya dari pintu rumah penampungan yang terbuka, kamera merekam barisan rusuknya yang menonjol dan berkilat. Dari rekaman seperti ini orang jadi ingin tahu lebih jauh tentang Rafi.
Tatkala rumahnya yang terletak di Punge hanyut dibawa tsunami, akhir 2004, hidupnya berubah total. Ia menderita gizi buruk. Ia ditemukan bersama ayahnya di sebuah penampungan sementara di Lhoong Raya, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh.
Tentu saja, bukan nuansa kelam itu yang membuat kami memilih karya fotografer Heri Juanda ini sebagai foto terbaik—sebagai foto esai dan foto tunggal. Heri, fotografer yang mengabadikan keseharian Rafi, November lalu, memberikan sebuah kesaksian dengan kameranya. Ya, foto tidak berhenti sebagai foto itu sendiri. Tak puas dengan foto tunggalnya yang pernah dimuat di sebuah media, pemuda kelahiran Bireuen, 19 Desember 1988, ini bertekad membuat foto-foto Rafi yang lebih bercerita. Sebuah esai foto.
Herry adalah mahasiswa Universitas Iskandar Muda, Banda Aceh. Dulu, untuk mencukupi ongkos hidup dan sekolah, lulusan Madrasah Aliyah Negeri ini pernah bekerja sebagai buruh penambang pasir. Masuk kuliah, Heri lalu bergabung dengan sebuah media lokal di Aceh. Sekarang Heri bekerja sebagai fotografer lepas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo