Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya Rafi Auzar, 14 tahun. Tatkala rumahnya yang terletak di Punge hanyut dibawa tsunami, akhir 2004, hidupnya berubah total. Ia menderita gizi buruk.
Ia ditemukan bersama ayahnya di sebuah penampungan sementara di Lhoong Raya, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Tidak bisa berbicara, tapi kamera dapat menangkap sepasang matanya yang seolah berkata-kata kepada sang ayah. Mengerdip, melirik, menatap, dan sebagainya.
Rafi tak punya kuasa atas tubuhnya yang tipis, dan tak bergerak. Dibantu cahaya dari pintu rumah penampungan yang terbuka, kamera merekam barisan rusuknya yang menonjol dan berkilat. Dari rekaman berjudul Cerita Rafi ini, orang jadi ingin tahu lebih jauh tentang Rafi.
Tentu saja, bukan nuansa kelam itu yang membuat kami memilih karya fotografer Herry Juanda ini sebagai foto terbaik—sebagai foto esai sekaligus foto umum. Heri, fotografer yang mengabadikan keseharian Rafi, November lalu, memberikan sebuah kesaksian dengan kameranya. Ya, foto tidak berakhir pada foto itu sendiri.
Pada 2 Desember 2008, tenggat penerimaan, tujuh ratusan entri akhirnya masuk ke meja redaksi dari seluruh Indonesia. Foto-foto yang merekam peristiwa di sepanjang 1 Januari-1 Desember 2008. Dari jumlah sebesar itu, kami mendapatkan 30-an buah foto yang memenuhi syarat pemenang.
Ada sebuah perubahan besar dalam dunia fotografi kini. Dari telepon seluler hingga kamera saku digital, semua peralatan itu membuat orang tidak takut lagi memotret. Tinggal jepret, lihat dan pilih hasilnya. Tapi rupanya kemudahan itu tak membuat para juru foto kehilangan gairah.
Ada yang tidak pernah berubah yang sifatnya beyond technology, yaitu keinginan untuk menyampaikan ”sesuatu” kepada orang lain. Merekam peristiwa saat orang lain justru menghindarinya, mendatangi tempat bencana, menjadi bagian perubahan, mengabadikan kebahagiaan, kesedihan, kegembiraan, kendati itu hanya berlangsung sepersepuluh detik.
Lihatlah foto Muchdi Purwoprandjono, terdakwa kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir, sewaktu memasuki sidang pengadilan di Jakarta Selatan. Ia dijaga ketat, wajahnya menunduk dingin. Tapi sepasang mata sang wajah tak ikut menunduk. Bahkan dalam sekejap dua bola mata itu memandang tajam ke arah fotografer. Lalu jadilah foto istimewa berjudul Tatapan Muchdi itu.
Fotografi memungkinkan kita untuk berhenti sejenak, merenungkan apa yang terjadi di balik peristiwa itu. Tidak seperti halnya film yang bergerak cepat dan lebih lengkap penyajiannya, foto juga menawarkan ruang kosong yang akan diisi oleh cerita pemirsanya. Dan pewarta menekan tombol kameranya bukan hanya tertarik pada sebuah komposisi dan pemandangan yang indah, tapi juga pada penting-tidaknya foto itu disiarkan kepada masyarakat. Bukan sekadar menginformasikan, melainkan mewartakan sebuah kebenaran (baca: kenyataan).
Fotografi adalah dunia yang luas, dan selalu ada begitu banyak sudut untuk mengabadikan sebuah obyek. Barangkali karena itulah tim juri sedikit kecewa dengan foto-foto yang masuk kategori seni. Panggung, tempat kejadian seni berlangsung, telah menjadi pusat perhatian, dan para fotografer rupanya terpesona, tidak mau beringsut dari titik itu. Padahal kegiatan seni tidak terpisah dari prosesnya. Bisa terjadi di belakang panggung, di saat para pemain membubuhkan makeup di depan cermin hias, tatkala para pemain deg-degan atau tengah santai menunggu bagiannya tampil, dan masih banyak lagi.
Dunia fotojurnalistik memang menuntut kreativitas. Untuk dedikasi itulah majalah Tempo ingin memberikan apresiasi yang tinggi pada profesi ini. Dan edisi khusus ini merupakan suatu penghargaan yang diberikan oleh majalah Tempo kepada pewarta-pewarta foto yang menunjukkan dedikasi yang tinggi terhadap profesinya, melalui karya-karya fotojurnalistik berkualitas yang menimbulkan pengaruh luas di kalangan masyarakat.
Penghargaan yang diberikan bagi kemajuan dan kemandirian para pewarta foto Indonesia yang mampu menghasilkan karya fotografi jurnalistik bernilai tinggi, berkedalaman, punya karakter, independen, humanistis, memiliki nilai-nilai manusiawi. Edisi Khusus Fotojurnalistik yang baru pertama kalinya dibuat ini merupakan upaya untuk ikut merangsang kemunculan karya-karya fotojurnalistik yang berbobot dari pewarta foto di seluruh Indonesia.
Dan fotojurnalistik yang ikut dalam kompetisi ini adalah cermin dari peristiwa yang terjadi tahun 2008: bencana alam, perusakan lingkungan hidup, korupsi, politikus busuk, krisis bahan bakar, pelayanan kesehatan yang buruk, kekerasan yang menjadi ”bahasa” paling populer di arena sepak bola ataupun pemilihan kepala daerah, ketidakberdayaan si miskin, dan lain-lain. Kejadian-kejadian yang begitu sehari-hari bagi kita ini lantas diabadikan kamera untuk mengingatkan: berapa langkah kita telah bergerak maju atau mundur.
Banjir, misalnya, merupakan salah satu obyek yang paling banyak diabadikan dalam ”Fotojurnalistik Pilihan Tempo 2008” ini. Banjir adalah rutinitas tahunan yang harus dilalui daerah Kampung Melayu dan daerah-daerah langganan banjir lainnya.
No news is good news. Ungkapan itu sepertinya berlaku dalam fotojurnalistik ini. Berita-berita sedih dan ngeri lebih mudah didapatkan oleh para fotografer. Pewarta foto lebih mudah tergoda untuk menyampaikan berita-berita yang membuat dada sesak. Walaupun, memang, berita-berita sedih kini semakin sering mengerudungi dunia.
Menarik sekali, foto-foto tentang Indonesia yang sedang diroyan aneka sakit itu tidak selalu terlihat murung—seperti liputan tentang korupsi yang terkadang menampilkan koruptor bak selebritas. Korupsi lebih dari sekadar kriminal. Lihatlah bagaimana Artalyta dan Azirwan dalam Senyum Sejoli. Dua pelaku korupsi untuk kasus berbeda itu berfoto bersama di ruang terdakwa sebelum persidangan. Ada paradoks lucu. Lihat senyum keduanya yang mengembang enteng, dan itu berbanding terbalik dengan latar belakang yang menyeramkan: pengadilan.
Pemilihan ”Fotojurnalistik Pilihan Tempo 2008” ini dilakukan oleh sebuah tim juri: Oscar Motuloh (Direktur Galeri Fotojurnalistik Antara), Julian Sihombing (pewarta senior harian Kompas), Rully Kesuma (Redaktur Foto Majalah Tempo), dan Seno Joko Suyono (Redaktur Pelaksana Seni dan Budaya Majalah Tempo).
Di hari final pemilihan, jumlah foto yang disisir semakin sedikit. Penjurian yang dimulai sore hari itu baru selesai pagi dinihari. Semua juri dengan antusias memilih foto-foto terbaik dari masing-masing kategori. Kadang pemilihan berjalan mudah, tapi sering kali diperlukan diskusi yang alot untuk memilih yang terbaik.
Ya, kami telah memilih yang terbaik menurut penilaian kami. Kami terkejut pada antusiasme para peserta, dan berharap semoga pemilihan fotojurnalistik terbaik ini berlanjut setiap tahun dan menjadi sebuah tradisi baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo