Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SARAF investasi Ali Gufron dua pekan lalu benar-benar diuji. Ketika harga-harga saham di berbagai bursa dunia bergelimpangan, Direktur Utama Dana Pensiun Jasa Marga ini dihadapkan pada dua pilihan pelik: bertahan atau segera menyingkir dari lantai bursa.
Kepanikan akan datangnya resesi di Amerika yang menjalar ke berbagai belahan bumi membuat banyak investor berlomba melego sahamnya. Akibatnya, indeks saham di hampir semua bursa utama dunia rontok seketika. Tak terkecuali Bursa Efek Indonesia.
Indeks harga saham gabungan BEI pada Selasa lalu bahkan merosot 7,7 persen ke level 2.200-an. Inilah penurunan terbesar sejak bom teroris merobek Pulau Dewata lima tahun lalu. Karena itu, bisa dimengerti kalau Ali Gufron yang menanam duit sekitar Rp 30 miliar di lahan investasi saham itu gundah. Salah mengambil langkah, dana para nasabah bisa amblas seketika.
Beruntung ia, sejumlah analis pasar modal membisikinya agar tak buru-buru mengambil ”jalan pintas” melego pundi-pundi investasinya. Nasihat yang jitu. Hanya selang sehari, indeks BEI kembali berotot. Indeks bahkan melejit hampir delapan persen—kenaikan tertinggi sejak 1999—begitu bank sentral Amerika Serikat memangkas suku bunganya 75 basis poin menjadi 3,5 persen. ”Sekarang tinggal satu saham yang masih merugi,” kata Ali.
Di mata Ali, dalam jangka panjang saham masih merupakan lahan investasi paling menguntungkan. Ia, misalnya, membandingkan, seandainya dana investasi ditanam di deposito atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI), keuntungan yang diperoleh paling banter delapan persen. ”Sedangkan di saham, untuk dapat 10 persen setahun rasanya tidak susah,” katanya.
Suara senada datang dari Rizka Baely. Presiden Direktur PT Momentum Aset Management ini tetap ”jatuh hati” pada lahan investasi saham kendati bursa akhir-akhir ini terus gonjang-ganjing. Kepada setiap orang yang menanyainya, jawabannya selalu sama: instrumen investasi paling menarik adalah saham. ”Terutama untuk jangka panjang,” katanya.
Kalkulasi itu bukan tanpa dasar. Lihatlah kinerja sejumlah reksa dana saham sepanjang tahun lalu. Tingkat imbal hasilnya selama setahun rata-rata di atas 50 persen. Reksa dana Fortis Ekuitas bahkan mencapai sekitar 84 persen. Sementara reksa dana pasar uang dan pendapatan tetap (obligasi) rata-rata hanya 5-10 persen.
Meski begitu, investor perlu juga paham bahwa menanam duit di saham terbilang paling berisiko. Maklum, harganya paling sering bergejolak. Karena itu, buat investor pemula, obligasi bisa menjadi pilihan kedua. Peringkat berikutnya adalah deposito dan sertifikat Bank Indonesia.
Bagaimana dengan emas? Meski beberapa pekan terakhir perburuan logam mulia ini marak, Rizka tak memberikan rekomendasi. Senin dua pekan lalu, harganya memang melesat menjadi US$ 914,3 per troy once—tertinggi sepanjang sejarah dunia. Tapi, kata dia, sulit berharap mendulang untung besar dari emas, sebab harganya sudah kelewat mahal.
Karena itulah, buat Rizka, pasar modal tetap menjadi primadona investasi. Sebagian investor pun memilih masuk bursa dan memborong saham atau reksa dana saham ketika indeks ambruk pekan lalu. ”Mumpung murah,” kata Yanto, seorang karyawan perusahaan Prancis di Jakarta. ”Kita bisa mencuri start.”
Langkah serupa dilakukan Direktur Utama Dana Pensiun Telkom Edi Praptono. Ia tak sekadar mempertahankan investasi saham ketika gonjang-ganjing melanda bursa, tapi juga memborong saham-saham unggulan alias blue chip. ”Bukan asal-asalan,” katanya, ”kami main di perusahaan yang fundamentalnya bagus.” Dari total dana pensiun Rp 9 triliun yang dikelolanya, sekitar Rp 2,3 triliun ditanamnya di saham.
Menurut ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan, animo investor terhadap saham dalam satu-dua tahun terakhir memang kian besar. Sebelum krisis kredit hipotek perumahan (subprime mortgage) di Amerika Serikat meledak, bahkan telah terjadi pergeseran dana investasi dari SBI ke saham. Pemicunya bunga SBI yang terus turun. Sementara reksa dana pasar uang dan obligasi dinilai kurang memikat.
Dengan bunga di kisaran delapan persen, SBI sesungguhnya sempat dilirik investor ketika bursa global bergolak hebat pekan lalu. ”Tapi, lama-kelamaan dianggap kurang menarik,” kata Fauzi. ”Cerita Indonesia itu cerita soal equity, bukan suku bunga.” Jika begitu, saham tampaknya akan tetap jadi primadona. Apalagi, Fauzi memperkirakan di akhir tahun nanti, indeks BEI akan melewati angka 3.100.
Muchamad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo