Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sembari ngedumel, seorang ibu muda tengah antre di sebuah ATM BCA di Wisma GKBI, Jakarta, pada Rabu siang dua pekan lalu. Ketika itu, ia yang biasa disapa Lily hendak mengirim duit pembayaran utang ke perusahaan sekuritas lokal. Namun, bibirnya komat-kamit melontarkan sumpah serapah. Menurutnya, pasar modal bukan ladang investasi yang menggiurkan seperti digembar-gemborkan tahun lalu.
Sejak Senin hingga Rabu dua pekan lalu, indeks saham di Bursa Indonesia, memang, terus meluncur turun dari 2.830 hingga 2.592. Bahkan, Senin lalu, indeks tinggal 2.294. Anjloknya indeks saham (bearish) itu dipicu oleh kecemasan akan terjadinya resesi di Amerika Serikat. Satu per satu saham yang dibeli Lily rontok. Ia ikut panik dan terpaksa melegonya. Sahamnya ludes, modalnya juga habis. Sudah begitu, ia masih harus menanggung utang ke sekuritas. ”BPKB (Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor) ini buat jaminan kalau setoran tak cukup,” katanya.
Lily sebetulnya satu dari ratusan, bahkan ribuan, investor individual yang mulai menggairahkan lantai bursa dalam tiga tahun terakhir. Mereka beramai-ramai memboyong duitnya dari deposito ke pasar modal. Pada saat itu, bunga deposito memang terus turun, dan sebaliknya gain (keuntungan) yang diperoleh dari jual-beli saham terus meningkat. Itu sebabnya, hanya dalam satu setengah tahun volume transaksi melompat tiga kali lipat. Jika pada pertengahan 2006 transaksi di bursa hanya Rp 2 triliun per hari, kini sudah Rp 8 triliun.
Persoalannya, menurut sejumlah pialang, kebanyakan investor lokal itu bermain dengan pola margin trading. Maksudnya, investor bermain saham dengan modal tambahan dari sekuritas. Misalnya, seorang investor bermodal Rp 100 juta, tetapi ia membeli saham sampai senilai Rp 400 juta. Kekurangannya dibiayai oleh perusahaan sekuritas dengan jaminan efek miliknya yang umumnya berjangka 3-4 hari.
Nah, ketika bursa mulai diterpa gonjang-ganjing dua pekan lalu, banyak investor individual diperingatkan sekuritas (margin call). Gara-garanya, posisi modal mereka sudah lampu merah. Jika tak mau setor modal tambahan, mereka dipaksa menjual saham (forced sale) yang dijaminkan kepada sekuritas. ”Fenomena forced sale sangat mencolok saat bursa rontok,” kata pialang Recapital Asset Management, Poltak Hotradero, pekan lalu.
Fenomena itu terdeteksi di layar bursa Indonesia. Pada awalnya, aksi jual memang didominasi oleh investor asing. Bahkan mereka lebih banyak menjual ketimbang membeli. Pada Senin lalu, investor luar negeri malah kelebihan jual (nett selling) hingga Rp 1,17 triliun. Esok harinya, asing juga banyak menjual, meski kemudian memborong lagi.
Persoalannya, investor domestik umumnya suka mengekor. Setelah asing menjual, mereka ikut-ikutan atau terpaksa menjual. Malahan aksi jual mereka lebih semarak karena pesertanya lebih banyak walaupun nilai transaksinya kecil, hanya puluhan juta atau ratusan juta rupiah. Sayangnya, mereka terpaksa menjual murah, sehingga hasilnya tak cukup untuk melunasi utang ke sekuritas. ”Akibatnya, banyak investor retail rugi besar,” kata seorang pialang.
Namun, bursa memang ibarat zero sum game. Jika ada yang buntung, maka ada yang untung. Di saat mereka menjual saham besar-besaran, sejumlah investor institusi bermodal gede justru lahap memborongnya. ”Mumpung murah, kami beli saham emiten unggulan lebih banyak,” ujar Eddy Praptono, Presiden Direktur Dana Pensiun Telkom. Menurut Ketua Asosiasi Dana Pensiun itu, rekan-rekan seprofesi kebanyakan melakukan aksi beli. ”Ya, minimal diam.”
Para pemodal besar itu biasanya beraksi melalui sekuritas beken seperti Bahana, Danareksa, UBS, DBS, dan lain-lain. Karena itu, jangan heran jika di layar Bloomberg nama-nama itu terpampang di peringkat atas sekuritas pemborong saham. Tengok saja Senin pekan lalu, Bahana di urutan teratas dengan pembelian Rp 899 miliar dan Danareksa Rp 344 miliar. Padahal, yang dijual sangat kecil. Hari berikutnya, tak jauh berbeda.
Meski begitu, aksi beli dua sekuritas pelat merah sempat memicu kecurigaan. Seorang pialang menduga mereka ditugasi pemerintah untuk meredam gejolak saham agar tidak terpuruk tajam. Ekonom Danareksa Yudhi Sadewa mendengar ada niat pemerintah untuk intervensi. ”Tetapi itu tidak bisa dilakukan,” katanya. Direktur Utama Danareksa Sekuritas Andy Purwohardono juga membantah dugaan itu.
Yang terjadi, menurut Yudhi, nasabah mengikuti rekomendasi Danareksa bahwa level 2.290 sudah kelewat murah. Jika mengacu kepada aspek fundamental bursa, indeks tidak bakal turun lebih dalam lagi. ”Jadi, saat itu memang waktu yang tepat untuk membeli.”
Heri Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo