Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=1 color=brown>KOMUNIKASI</font><br />Bangku Kosong di Kampus Kuning

Program gelar ganda komunikasi di Universitas Indonesia dan Universitas Pelita Harapan sepi peminat. Padahal memiliki keunggulan bahasa Inggris, yang jadi syarat utama sarjana komunikasi yang baik.

23 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski sudah setahun kuliah di Teknik Industri Universitas Trisakti Jakarta, Cynthia Saraswati tidak puas. Dia ingin mengejar obsesi menuntut ilmu di negeri seberang. Sepulang dari pameran pendidikan pada pertengahan tahun lalu, telinga dara 19 tahun ini tergelitik sebuah iklan di radio Prambors: ada program dual degree di Jurusan Komunikasi Universitas Indonesia. Jadi, mahasiswa menghabiskan dua tahun perkuliahan di Depok, dua tahun lagi di Australia. Klop! ”Saya memang ingin kuliah komunikasi,” katanya kepada Tempo pekan lalu.

Hal pertama yang dia lakukan di rumah adalah mencari informasi lanjutan dari iklan itu di Internet. Lulusan SMA Negeri 47 Tanah Kusir, Jakarta Selatan, angkatan 2009 ini sempat minder ketika melihat jatah bangku kelas khusus internasional itu cuma 40. Maklum, dua tahun lalu dia tidak lulus tes masuk Kampus Kuning. Terlebih kelas itu mensyaratkan kemampuan TOEFL di atas 500. Sedangkan nilainya sedikit di bawah itu. Cynthia pun mendaftar dengan setengah asa. ”Masuk syukur, gak masuk gak apa-apa,” katanya.

Setelah melalui tes matematika dasar, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris, dia dinyatakan lulus. Kekhawatirannya tidak terbukti. Sebab, persaingan masuk program ini jauh lebih longgar ketimbang program reguler. Ketua Kelas Khusus Internasional Komunikasi UI, Rosy Tri Pagiwati, 39 tahun, mengatakan, meski puluhan orang yang bertanya, pendaftar cuma 18. Setelah tes, tersaring 13, tapi dua orang mundur. ”Jadi tinggal sebelas,” katanya. Delapan mahasiswa dan tiga mahasiswi. Menyisakan 29 bangku tak berpenghuni.

Di Universitas Pelita Harapan, angka sebelas itu terasa sangat besar. Di kampus elite di Karawaci, Tangerang, Banten, itu, murid gelar ganda komunikasi cuma dua. Itu pun ”stok” lama, angkatan perdana 2007. Raisa Sugandi dan Jonathan Rian Iskandar, keduanya 21 tahun, sudah merampungkan dua tahun masa belajar di Indonesia dan kini tercatat sebagai mahasiswa jurnalistik di Queensland University of Technology, Brisbane, Australia. ”Setelah mereka, belum ada lagi,” kata Ketua Jurusan Komunikasi UPH, Deborah Simorangkir, 30 tahun.

Menurut dia, kebanyakan orang tua masih belum akrab dengan program baru tersebut. ”Masih berpikir buat apa jauh dan mahal ke luar negeri, toh gelarnya sama saja, sarjana,” kata doktor komunikasi dari Universitas Ilmenau di Jerman itu. Mereka lebih memilih menyekolahkan anaknya sampai sarjana di dalam negeri, baru kemudian melanjutkan S-2 di luar negeri. Padahal, Deborah melanjutkan, program ini menawarkan lebih dari sekadar gelar ganda, yaitu pengalaman belajar di negeri orang. ”Nilai tambah ini tidak disadari karena tidak berbentuk fisik seperti ijazah,” katanya.

Sepi di Tangerang, sepi pula di Depok. Karena pengantarnya bahasa Inggris, mahasiswa kelas internasional tidak kuliah bareng rekan-rekannya di program reguler. Jadilah mereka ngalor-ngidul seperti tim sepak bola, selalu bersebelas. Akibatnya, muncul selentingan tidak enak, dianggap sok eksklusif. ”Padahal teman saya banyak, lho,” kata Cynthia, yang aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa.

Meski masih sepi peminat, Presiden Public Relations Society Indonesia Magdalena Wenas mengacungkan jempol untuk ”kesebelasan” mahasiswa tersebut. ”Mungkin ini bisa jadi jawaban permasalahan PR di Indonesia,” ujarnya. Master komunikasi dari Universitas Erasmus, Belanda, ini sering diminta kolega dari luar negeri untuk merekomendasikan tenaga humas andal Indonesia.

Satu batu sandungan terbesarnya adalah penguasaan bahasa Inggris. Dengan pemaksaan menggunakan bahasa Inggris di kelas, kesulitan itu teratasi. ”Yang awalnya sulit sekarang mulai berani bicara,” ujar pengajar kelas internasional, S-1 reguler UI dan S-2 UPH itu.

Sekembali para ­mahasiswanya itu dari Australia, tiga tahun mendatang, Magdalena berharap bisa melihat apa yang diistilahkannya dengan real PR— pekerja yang menguasai konsep humas, hafal luar kepala strategi dan tujuan perusahaan, dan memiliki jalur komunikasi dengan pemimpin tertinggi perusahaan. Bukan cuma fairy-tale PR, pekerja humas yang mengandalkan wajah cantik bermulut manis tanpa hasil. ”Sekarang masih lebih banyak fairy-tale PR,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus