Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=1 color=#FF0000>MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA</font><br />Jimly Asshiddiqie

Dengan pengalamannya membangun Komisi Konstitusi, ia dianggap paling pas duduk di kursi Menteri Kehakiman. Bisa masuk ke semua kalangan.

19 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA langsung menduduki peringkat pertama ketika tim panelis ”kabinet versi Tempo” mencari sosok paling layak di kursi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dialah Profesor Doktor Jimly Asshiddiqie, SH, Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008.

Mas Achmad Santosa, salah satu panelis, menyebutkan pakar hukum tata negara ini memiliki semua persyaratan untuk seorang Menteri Kehakiman. Pertama, mempunyai konsep dan kapasitas mendorong serta melakukan pembaruan hukum. Kedua, memiliki passion, gereget melakukan reformasi birokrasi internal.

Ia juga lincah bermain di ”area” yang menjadi lahan korupsi, seperti imigrasi, lembaga pemasyarakatan, dan administrasi hukum. Ketiga, memiliki kepedulian terhadap penegakan hak asasi manusia. Keempat, peka terhadap kebutuhan hukum bagi mereka yang terpinggirkan.

Selama ini, menurut Mas Achmad, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia hanya berfokus pada urusan administrasi hukum, keimigrasian, dan lembaga pemasyarakatan. Institusi tersebut belum memfasilitasi kebutuhan hukum orang miskin. ”Karena itu, perlu dibentuk direktorat bantuan hukum yang posisinya bisa di bawah Direktorat HAM,” kata praktisi hukum ini.

Jimly, ujar Ota—demikian biasa Mas Achmad disapa—memiliki kemampuan membangun institusi baru, seperti direktorat bantuan hukum yang diperlukan itu. ”Dia sudah terbukti sukses membangun fondasi Mahkamah Konstitusi, sehingga lembaga itu dikenal publik seperti sekarang,” ujar Ota. Di luar itu, ”Dia jujur dan tidak korup.”

Sukses Jimly ”membangun” Mahkamah Konstitusi juga diakui Direktur Eksekutif Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar. Mahkamah, kata Zainal, kini memiliki sistem peradilan yang baik, transparan, dan bersih.

Lima menit setelah putusan diketuk, kata Zainal, masyarakat sudah melihat hasilnya di situs Mahkamah. ”Meski usianya muda, sistem lembaga ini sudah mapan,” ujar Zainal. ”Itu semua tak lepas dari tangan dingin Jimly.” Menurut Zainal, Jimly sosok visioner, idenya banyak.

Kendati demikian, Zainal juga melihat bolong-bolong Jimly di Mahkamah Konstitusi. Jimly dinilai kurang berhasil membangun sistem internal Mahkamah Konstitusi. Seharusnya, ujar Zainal, yang perlu diperbanyak pada lembaga itu panitera, bukan staf sekretariat. ”Sekarang sekretariat itu sudah kelebihan staf,” katanya.

Bekas anggota staf Jimly di Mahkamah Konstitusi, Refly Harun, melihat Jimly tipe orang yang dengan gampang bisa masuk ke berbagai kalangan. ”Termasuk dengan orang atau partai yang tidak seprinsip dengan dia,” kata Refly. Berkat hubungan baik seperti itulah Sekretariat Majelis Permusyawaratan Rakyat bersedia meminjamkan kantor dan menalangi anggaran operasional Mahkamah ketika lembaga itu baru berdiri.

Kini Mahkamah Konstitusi sudah memiliki gedung sendiri, gedung megah dengan sembilan pilar, sesuai dengan jumlah hakim konstitusi. Lalu apa kekurangan Jimly? ”Dia sering kali tak mampu menahan ego,” ujar Refly.

Jimly diangkat menjadi satu dari sembilan hakim konstitusi atas pilihan Dewan Perwakilan Rakyat pada 2003. Dalam pemilihan satu putaran, dia juga terpilih sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Tahun lalu, setelah Mahfud Md. terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, pria kelahiran Palembang, 17 April 1956, ini mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi.

Menurut Jimly, ia ingin lebih bebas berbicara ke publik. ”Selama menjadi hakim, saya harus membatasi diri,” katanya. Ia juga punya alasan lain: merasa sudah cukup menjadi hakim konstitusi.

Jimly dikenal orang dekat B.J. Habibie. Ketua Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia 2005-2010 ini pernah menjadi asisten Presiden Habibie untuk bidang kesejahteraan rakyat dan pemberantasan kemiskinan. Setelah Orde Baru ambruk, dia masuk tim ahli Badan Pekerja MPR yang, antara lain, bertugas menggagas proses amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada 17 Agustus lalu, pemerintah menganugerahinya Bintang Mahaputra Adipradana. Ia dinilai berjasa dalam bidang penegakan hukum.

Jimly hanya tertawa ketika Tempo mengabarkan ia terpilih sebagai salah satu calon menteri pilihan Tempo. ”Panelisnya pasti teman saya semua,” katanya dengan canda ringan. Kendati demikian, ia memberikan catatan penting untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Menurut dia, setelah era reformasi sepuluh tahun ini, negeri ini perlu penataan ulang dalam segala sektor. ”Perlu konsolidasi demokrasi,” ujarnya. Masa pemerintahan Presiden Yudhoyono lima tahun ke depan, kata Jimly, merupakan saat tepat membenahi sistem birokrasi dan memperkuat fondasi ketatanegaraan. ”Sebab, ini untuk pertama kalinya Indonesia memiliki presiden yang kuat secara politik.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus