Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA peristiwa tentang satu persoalan yang sama: kabinet Indonesia 2009-2014.
Cikeas pekan-pekan terakhir menjelang pengumuman kabinet, 21 Oktober 2009. Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono berbincang dengan wakilnya, Boediono. Di samping keduanya hadir Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa dan Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi. Berjam-jam mereka berbicara. Kadang di Cikeas, sesekali pindah ke Wisma Negara, Jakarta.
Tak jelas betul bagaimana diskusi itu berlangsung. Tapi dengan sedikit imajinasi mungkin inilah yang terjadi. Presiden membuka dengan mukadimah pendek. Boediono dengan bahu yang ringkih duduk dan mendengarkan dengan santun. Di dekatnya Hatta Rajasa bersafari cokelat lengan panjang takzim mencatat pada sebuah notes kecil. Sudi mengamati dengan sikap sempurna. Tubuhnya yang gempal melekat pada sandaran kursi.
Presiden lalu mengajukan nama-nama. Boediono diminta menambahi dan memberikan komentar. Hatta memberikan sedikit pandangan. Persoalan muncul ketika Yudhoyono menekankan soal representasi: kabinet mendatang harus mewakili partai politik, daerah, suku, agama, gender, dan usia. Yang tak kalah penting: para calon harus punya ”keringat”—kontribusi buat Yudhoyono dalam pemilu presiden atau legislatif. Tak semua punya stok kandidat. Setelah beberapa jam, rapat disetop. Para peserta diminta ”belanja” nama-nama.
Dua puluh kilometer dari Cikeas, kantor redaksi majalah Tempo, Jalan Proklamasi 72, Menteng, Jakarta, Ramadan lalu. Menjelang berbuka puasa, sekelompok wartawan berkumpul. Di depan mereka tersaji menu buka puasa, buku catatan, dan tape recorder. Setelah menyantap nasi, sayur asam, dan empal goreng, mereka membuka telinga mendengarkan paparan para panelis.
Dalam tiga pertemuan sepanjang dua pekan, Tempo menghadirkan sekelompok orang dari berbagai organisasi. Di bidang politik ada Usman Hamid (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Jaleswari Pramodhawardani (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), dan Mas Achmad Santosa (konsultan Badan PBB untuk Program Pembangunan, kini Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi).
Di bidang ekonomi hadir Aviliani (Institute for Development of Economics and Finance Indonesia), Mirza Adityaswara (pengamat pasar modal), dan Benny Sutrisno (Asosiasi Pertekstilan Indonesia). Ismid Hadad (Dewan Nasional Perubahan Iklim) dan Ulil Abshar Abdalla (Jaringan Islam Liberal) diundang dalam kelompok sosial dan humaniora.
Semuanya diminta menetapkan kabinet. Tak semua kursi—Tempo hanya memilih 23 pos yang dianggap paling strategis. Jabatan Menteri Pemuda dan Olahraga atau Menteri Pariwisata, misalnya, terpaksa kami abaikan.
Sebelumnya, kriteria telah ditetapkan dewan redaksi. Intinya, menteri harus profesional di bidangnya. Mereka juga harus bebas dari noda korupsi. Kandidat dari partai politik tak diharamkan—meski yang paling penting tetap profesionalisme.
Yang tak boleh masuk adalah calon dari dalam atau yang berafiliasi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Hati Nurani Rakyat, dan Partai Gerakan Indonesia Raya. Keempatnya adalah partai utama pesaing Yudhoyono dalam pemilu Juli lalu. Mereka tak masuk kabinet karena diharapkan menjadi oposisi.
SEPERTI yang dialami Yudhoyono, menyusun kabinet ternyata tak mudah. Banyak hal harus dipertimbangkan. Tapi tugas kami tentu tak sesulit Presiden. Satu yang membuat kami lebih beruntung dari Yudhoyono: kami mengabaikan representasi. Kami juga tak pusing oleh bisikan kawan, kerabat, istri—atawa mertua.
Yang ada hanyalah kriteria ketat yang diajukan para panelis. Usman Hamid, misalnya, ngotot agar para menteri, terutama di bidang politik dan hukum, punya perhatian pada isu hak asasi manusia. Aviliani meminta para kandidat harus punya pikiran segar. Mereka tak boleh jumud alias tak mampu berpikir out of the box.
Mirza dan Benny Sutrisno menekankan perlunya kabinet ekonomi dipimpin orang yang bisa menggerakkan organisasi. Keduanya beranggapan akademikus—yang umumnya lebih banyak bergulat dengan dunia konsep—tak berhasil dalam kabinet sebelumnya. Menteri Perdagangan Mari Pangestu, misalnya, dianggap punya visi dan piawai dalam menjalin lobi internasional, tapi di lapangan tak berdaya menghadapi kartel minyak goreng.
Departemen Perdagangan—yang kami usulkan digabung dengan Departemen Perindustrian—diusulkan dipimpin Arifin Panigoro, pengusaha minyak yang pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk Menteri Badan Usaha Milik Negara, panelis memilih Agus Martowardojo, kini Direktur Utama Bank Mandiri. Dalam menetapkan Marto, Mirza Adityaswara, yang kini Kepala Ekonom Bank Mandiri, diminta abstain.
Problem juga muncul ketika kami harus memilih dua kandidat dengan kemampuan setara. Panelis, misalnya, semula memilih Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri Arif Havas Oegroseno sebagai Menteri Luar Negeri. Tapi tim redaksi Tempo punya pandangan lain. Havas bukan tak bagus, tapi ia kalah bersaing dengan Makarim Wibisono, yang punya jam terbang lebih panjang. Dalam kasus ini, faktor regenerasi terpaksa dikalahkan oleh unsur akumulasi pengalaman.
Tertera di kertas, kandidat tak lolos begitu saja. Redaksi kemudian menerjunkan tim investigasi untuk memeriksa rekam jejak mereka. Untuk itu kami mewawancarai kerabat dan bekas anak buah atau atasan sang kandidat. Hasilnya, seorang calon, berdasarkan investigasi ini, harus dicoret dari daftar karena ditengarai terlibat—paling tidak mengetahui—kasus suap Artalyta Suryani, orang dekat pengusaha kakap Sjamsul Nursalim. Seorang calon Menteri Dalam Negeri juga dibuang dari daftar karena pernah merekomendasikan Antasari Azhar sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.
Umumnya kandidat yang lain tak punya masalah yang berarti. Bekas Panglima Tentara Nasional Indonesia Endriartono Sutarto, misalnya, termasuk yang rekam jejaknya paling bersih. Ia punya kapasitas, militer yang berwawasan sipil, dan terbukti tidak punya vested interest. Ia memang punya kelemahan—suka ngambek, pernah beberapa kali mengundurkan diri dari jabatannya karena tak cocok dengan birokrasi. Tapi itu semua kami anggap sebagai wujud tanggung jawab dan komitmen profesional ketimbang aksi tinggal gelanggang colong playu. Sayang, tak semua kandidat bersedia diwawancarai. Umumnya alasan mereka adalah tak enak hati.
Demikianlah, kabinet ini disusun bukan dengan maksud ”membisiki” Yudhoyono. Kabinet versi Tempo adalah sebuah ikhtiar untuk menetapkan tolok ukur: sesuatu yang semoga bisa dijadikan pembanding ketika kabinet sesungguhnya ditetapkan Presiden.
TIM EDISI KHUSUS
Penanggung Jawab: Arif Zulkifli
Kepala Proyek: Budi Setyarso
Koordinator Bidang: Sunudyantoro, Yandi M. Rofiyandi (Politik), Anne L. Handayani (Hukum), Yandhrie Arvian (Ekonomi), Adek Media (Sosial dan Humaniora)
Penyunting: Amarzan Loebis, Arif Zulkifli, Bina Bektiati, Budi Setyarso, Hermien Y. Kleden, Idrus F. Shahab, L.R. Baskoro, Leila S. Chudori, Mardiyah Chamim, Purwanto Setiadi, Putu Setia, Toriq Hadad, Wahyu Muryadi, Yos Rizal
Penulis: Adek Media, Agus Supriyanto, Andari Karina Anom, Anne L. Handayani, Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Dwidjo Maksum, Harun Mahbub, Kurie Suditomo, Martha Warta, Nunuy Nurhayati, Philipus Parera, R.R. Ariyani, Ramidi, Retno Sulistyowati, Rini Kustiani, Sapto Pradityo, Sunudyantoro, Wahyu Dhyatmika, Yandhrie Arvian, Yandi M. Rofiyandi, Yophiandi, Yuliawati
Penyumbang Bahan: Agoeng Wijaya, Amandra M. Megarani, Fikri Jufri, Ismi Wahid (Jakarta), Kartika Chandra, Alwan Ridha Ramdani (Bandung), Bernada Rurit (Yogyakarta)
Penyunting Bahasa: Dewi Kartika, Sapto Nugroho, Uu Suhardi
Fotografer: Bismo Agung (Koordinator), Arnold Simanjuntak, Aryus P. Soekarno, Mazmur A. Sembiring, Novi Kartika, Santirta M.
Desain Visual: Gilang Rahadian (Koordinator), Eko Punto Pambudi, Kiagus Auliansyah, Kendra H. Paramita, Hendy Prakasa, Danendro Adi, Aji Yuliarto, Agus Darmawan, Tri Watno Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo