Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUTAN Indonesia memprihatinkan. Menurut catatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, sekitar 1,08 juta hektare hutan rusak—dari 137 juta hektare yang ada—di Indonesia per tahun. Penyebabnya: perambahan hutan, pembalakan liar, kebakaran, dan pembukaan ladang. Greenpeace pun menempatkan Indonesia sebagai penyumbang emisi karbon terbesar ketiga di dunia.
Peran Departemen Kehutanan sangatlah strategis dalam menangani masalah ini. Menurut Tempo, agar benar-benar berdaya mengatasi persoalan kontemporer seperti pemanasan global, departemen ini harus dinakhodai oleh orang yang tidak hanya kompeten dalam hal kehutanan, tapi juga dalam persoalan perubahan iklim, yang menjadi momok bagi warga planet ini. Daniel Murdiyarso adalah orang yang tepat.
Tentu, ada beberapa alasan kuat yang mendukung kelayakan pria kelahiran Cepu, Blora, Jawa Tengah, 54 tahun silam ini sebagai kandidat yang tepat duduk di posisi menteri. Sejak masih aktif sebagai dosen di kampus yang meluluskannya, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Daniel sudah mendalami isu hutan dan iklim. Master manajemen sumber daya alam dan lingkungan dari IPB ini juga aktif di Center for International Forestry Research (Cifor). Kemampuan akademis ayah tiga anak ini makin lengkap dengan gelar doktor meteorologi dari Universitas Reading, Inggris.
Di luar kampus, Daniel sibuk dalam kegiatan internasional terkait dengan perubahan ekosistem. Atas dedikasinya itu, dia dianugerahi Satya Lencana Karya Satya oleh pemerintah setelah 20 tahun melayani publik di bidangnya, pada 2000.
Namanya makin mencuat setelah pada akhir 2007 menggagas rekomendasi pemberian insentif dari deforestasi dan degradasi atawa REDD dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali. Konsep yang pertama kali diajukan oleh Papua Nugini dan Kosta Rika di Montreal, Kanada, pada 2005 ini, menurut dia, merupakan solusi alternatif untuk masa depan hutan Indonesia. Khususnya negeri-negeri pemilik hutan dapat menuai pemasukan bila berhasil menekan laju emisi dengan mengurangi eksploitasi hutan.
Sebagai anggota Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) bentukan PBB sejak 1998, Daniel dan sekitar 3.000 ilmuwan dunia anggota lembaga ini menelisik pengaruh pemanasan global terhadap bumi. Pada Oktober 2007, Panel bersama bekas Wakil Presiden Amerika Al Gore meraih penghargaan Nobel Perdamaian 2007. Dalam pemerintahan, Daniel pernah menjadi Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup pada 1999-2001.
Lalu apa kata orang? Juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, menilai Daniel sebagai sosok mumpuni di bidang kehutanan. Menurut dia, selain berkarakter peneliti, jam terbang Daniel yang tinggi di pergaulan internasional dalam membahas perubahan iklim akan mendorong kinerja Departemen Kehutanan.
Pendapat senada datang dari peneliti Indonesian Center for Environmental Law, Wiwiek Awiati. Tapi isu yang lebih kuat di Departemen Kehutanan, menurut dia, adalah penegakan hukum dalam kasus pembalakan liar, kebakaran hutan, dan masalah klasik perebutan lahan antara masyarakat adat, pemegang konsesi, dan pemerintah, serta reformasi birokrasi. ”Setelah membenahi masalah internal baru bisa menyelesaikan yang eksternal,” paparnya.
Di kalangan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, nama Daniel juga disokong. Wakil ketua organisasi ini, Nana Suprana, menilai saat ini diperlukan Menteri Kehutanan yang mampu menyelesaikan masalah hutan dalam negeri dan berdiplomasi di luar negeri. ”Secara akademis Daniel memadai, dan itu harus dioptimalkan untuk membenahi masalah hutan Indonesia, baru kemudian menjadikannya senjata dalam jual-beli karbon di luar negeri,” ucapnya.
Sayangnya, menurut Nana, Daniel masih jarang bersentuhan dengan masalah kehutanan secara riil di lapangan. Padahal seorang Menteri Kehutanan harus orang yang super, karena dituntut berkomunikasi dengan departemen lain yang terkait, sekaligus menyelesaikan konflik antara pemerintah pusat dan daerah. ”Misalnya dalam masalah konversi hutan ke perkebunan dan pemanfaatan dana reboisasi,” ujarnya.
Kelemahan lain, menurut Bustar, adalah ketiadaan partai politik yang mendukung Daniel. Ini membuat daya tawarnya lemah. Namun Bambang Setiono, rekan kerja Daniel di CIFOR, justru berpendapat sebaliknya. Menurut dia, tanpa kaitan dengan partai politik, Daniel bisa melaksanakan tugas tanpa beban politik.
Seorang kolega juga menilai Daniel sebagai sosok yang kaku, defensif, dan jarang mendengar pendapat orang lain. Sebab, menurut sumber Tempo ini, seorang pemimpin—bahkan yang bukan dari politikus pun—harus bisa menerima masukan dari banyak pihak. ”Sebagai ilmuwan Daniel oke, tapi kelihatannya belum sampai jika menjadi pimpinan di pemerintahan.”
Apa pun pendapat orang, Daniel punya pandangannya sendiri. Menurut dia, hal terpenting yang kudu dilakukan, pertama, adalah menciptakan sistem tata kelola hutan. Kemudian, menangani masalah lokal yang tak ada habisnya seperti pembalakan liar yang, menurut dia, akan jadi tolok ukur negara ini dalam mengurangi emisi dari deforestasi. Terakhir adalah reformasi di level horizontal (lintas departemen) maupun vertikal (pusat-daerah) agar menjadi pemerintah yang bersih dengan tata kelola yang baik juga suatu keharusan. ”Siapa pun menterinya,” ujarnya tegas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo