Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SARWONO Kusumaatmadja punya pertimbangan unik memilih Indroyono Soesilo bergabung dalam timnya di Departemen Eksplorasi Laut, sepuluh tahun silam. ”Saya mengumpulkan orang-orang aneh, yang cara berpikirnya beda,” katanya. Orang semacam itu diperlukan untuk menyiasati keterbatasan, yang dalam hal ini untuk melawan arus sikap mental agraris di negara kepulauan.
Saat itu Sarwono ditunjuk Presiden Abdurrahman Wahid memimpin departemen baru, yang kemudian berubah nama menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan itu. Menghela lembaga baru dengan beban segunung harapan, Sarwono butuh tim kuat. Indroyono, salah satunya, yang saat itu merupakan Deputi Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), ditunjuk menjadi Direktur Jenderal Penyerasian Riset dan Eksplorasi Laut.
Apa ”keanehan” Indroyono? ”Hanya dikasih lemari, telepon, meja, terus ditinggal saja agar mengembangkan posnya, tapi berhasil,” kata Sarwono mengisahkan cerita yang didengarnya dari B.J. Habibie. Ketika Indroyono mengawali karier di BPPT pada 1987, Habibie—waktu itu Menteri Negara Riset dan Teknologi—hanya memberi dia modal lemari, telepon, dan meja, untuk sebuah misi besar: mengembangkan industri pengindraan jauh (remote sensing) di Indonesia.
Sarwono pun demikian. Dia tidak menyediakan kantor dan anak buah untuk laki-laki 54 tahun ini. Namun Sarwono memberikan beban berat, yaitu mengeksplorasi potensi laut Indonesia. Lelaki yang mendapat master di bidang pengindraan jauh dari Universitas Michigan, Amerika Serikat, ini mengembangkan Badan Riset Kelautan dan Perikanan hingga memiliki 16 kantor unit di seluruh Indonesia dengan total staf 11 ribu orang. Hasilnya sangat berarti dalam memetakan potensi kelautan dan perikanan. ”Dia punya dedikasi, integritas, wawasan mendalam, dan jaringan luas,” kata Sarwono.
Soal jaringan internasional, misalnya, Indroyono pernah bekerja di badan ruang angkasa Amerika Serikat, NASA, sembari menyelesaikan program doktoralnya di bidang pengindraan geologis jarak jauh di Universitas Iowa, Amerika Serikat. Jaringannya ini yang dioptimalkan pada saat membangun pengindraan jauh di BPPT.
Dari semua pertimbangan itulah, pria yang saat ini menjabat Sekretaris Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat itu dipilih menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan pada kabinet Tempo. Namanya masuk susunan kabinet versi blogger yang termuat dalam situs komunitas blogger di politikana.com, 15 Juli 2009. Tempo tetap mencalonkannya lagi untuk mengisi posisi itu, setelah pada 2004 juga mengusulkan pada jabatan yang sama.
Konsultan komunikasi La Tofi, dalam buku The Next Cabinet SBY-Boediono, menyebut nama Indroyono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Di sini Indroyono mendapat status bintang dua, artinya layak, baik dari sisi kompetensi maupun peluang. Soal peluang, anak mantan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Soesilo Soedarman ini dinilai akan menjadi salah satu pertimbangan.
Indroyono bukan orang baru di bidang kelautan. Ketertarikannya pada laut sudah terlihat sejak 1980-an. Dia rajin mengikuti berbagai ekspedisi menyusuri laut, seperti ekspedisi di Palung Jawa, Samudra Hindia, Ekspedisi Baruna Jaya, dan Ekspedisi Antartika. Pada 1996, ketika pemerintah mulai menggarap sektor kelautan, dia masuk menjadi anggota panitia tetap Dewan Kelautan Nasional. Pada September 1998, pemerintah Habibie mengeluarkan rekomendasi Deklarasi Bunaken, yang menegaskan bahwa Indonesia harus mulai mengoptimalkan potensi kelautan. Saat itu Indroyono sebagai ketua panitia deklarasi.
”Panggung” terbarunya adalah Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference) dan Inisiatif Segitiga Terumbu Karang Dunia (Coral Triangle Initiative) pada 11-15 Mei lalu di Manado, yang dihadiri delegasi 84 negara. Saat itu dia menjadi sekretaris panitia konferensi. Karena mengurus persiapan perhelatan itu pula ia ditarik ke kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
Konferensi dinilai sangat strategis dengan hasil Deklarasi Kelautan Manado yang merupakan kebijakan kelautan tertinggi tingkat dunia setelah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on Law of The Seas/UNCLOS) 1982. Deklarasi itu menyadarkan dunia bahwa samudra dan terumbu karang mempunyai peran sangat penting dalam isu perubahan iklim global. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pun memberikan penghargaan tertinggi kepadanya.
Dimintai pendapat tentang prestasinya, Indroyono tampak kikuk. ”Itu kerjaan bersama,” katanya ketika ditemui di kantornya, Senin lalu. Dia juga menolak berkomentar seputar pilihan Tempo padanya. ”Sedang masa bencana kok tanya soal menteri, itu urusan Presiden,” ujarnya mengelak. Dia juga tak bersedia memberikan penjelasan seputar masalah pembangunan kelautan Indonesia. ”Nanti dikira mengajukan diri jadi menteri.” Tapi sedikit menyinggung soal peta pembangunan kelautan, dengan lancar dia menjelaskan tonggak-tonggak penting pembangunan kelautan sejak kemerdekaan hingga kini.
Indroyono memang rendah hati. Dia pun pernah menolak tawaran upah tinggi di luar negeri dan memilih bekerja sebagai peneliti di Tanah Air. Tentu bukannya dia tak ada kelemahan. Latar belakangnya yang didominasi dunia riset tentu memancing pertanyaan: apakah itu cukup sebagai bekal menjadi pengelola di lingkup departemen? Tugas menteri tentu tak hanya meneliti dan menggelar konferensi semata. Di sektor kelautan dan perikanan, masalah menggunung di depan mata, seperti pencurian ikan, pasir laut, juga pengelolaan sumber daya yang belum optimal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo