Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=1 color=#FF9900>PESANTREN AL-AMIN</font><br />Tuhan dalam Sepotong Bordir

Pesantren Al-Amin Tasikmalaya mengajarkan wirausaha lewat bordir. Sempat dituduh mencari tenaga murah.

21 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAKI Risma Soleha lincah memainkan pedal kejek, mesin bordir manual. Jari-jarinya menarikan jarum bordir di atas motif bunga merah pada sehelai kerudung salem. Sesekali ia berjeda. Lalu dengan cekatan menyambung benang putus atau menggantinya jika untaian benang lepas dari gulungan.

Setahun sudah perempuan asal Ciamis ini bekerja di Pondok Pesantren Al-Amin, di Kampung Cukang, Kelurahan Tanjung, Kecamatan Kawalu, Tasikmalaya. Ia belum berminat pulang meski lembaran ijazah Madrasah Aliyah Al-Amin diraihnya dengan ponten bagus tahun lalu. Huru-hara gempa 7,3 skala Richter pada awal September lalu melantakkan kampungnya di timur Provinsi Jawa Barat. Toh, Risma bertahan. ”Pesanan lagi banyak. Kalau lagi ramai begini, pendapatan bisa di atas satu juta,” katanya.

Risma, 20 tahun, punya alasan tidak pulang kampung. Dia ingin melanjutkan sekolah ke Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Namun tak ada biaya. Akhirnya, dia memutuskan bekerja di unit perusahaan pesantren yang telah membesarkan dia. Gajinya lumayan dan santri dari luar kota seperti Risma boleh tidur dan makan-minum gratis di pondok. ”Alhamdulillah, saya bisa menabung,” kata Risma.

Pesantren Al-Amin tak hanya membekali para santri pendidikan agama, tapi juga keahlian aplikatif. Salah satunya membordir dan manajemen wirausaha membuat baju (clothing). Kecamatan Kawalu lama dikenal sebagai kawasan sentra bordir dan pakaian muslim Tasikmalaya. Produknya menjangkau mancanegara.

Berdiri sejak 2001, usia Al-Amin terbilang muda dibanding pesantren lain di Tasikmalaya. Pendirinya H Zarkasyie, pengusaha kerajinan bordir sejak 1961. Pengalaman Zarkasyie sebagai manajer produk dan pemasaran pabrik bordir di Jakarta dia tularkan ke Tasikmalaya dengan mendirikan usaha bordir Tjiwulan.

Bermodal empat buah mesin kecil, Zarkasyie mengajak tetangga mengembangkan usaha bordir. Produknya seperti mukena, baju gamis, kebaya, hingga kerudung. Kursus bordir pun didirikan sejak 1978. Dia bahkan menjadi pionir sentra bordir di kawasan ini. Upayanya berhasil mendongkrak pendapatan warga.

Pada 2001 Zarkasyie merealisasi mimpinya yang lain, yaitu lembaga pendidikan berbasis Islam. Dia mendirikan Yayasan Pendidikan Islam Al-Amin bersama Kiai Wawan Setiawan, anaknya, dan alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo. Lembaga kursus inilah yang menjadi Pesantren Al-Amin. Setahun kemudian berdirilah Madrasah Aliyah Al-Amin—setingkat sekolah menengah atas.

Halangan muncul: ada stigma tentang pondok serta perusahaan keluarga mencari pekerja murah. Zarkasyie pun mengurungkan niat. Tapi Wawan, sang anak, justru ingin membuktikan sebaliknya: Pondok Al-Amin akan mengubah paradigma masyarakat terhadap santri. Di sini, kata dia, ”Islam menjadi amat orisinal tapi modern.”

Menurut Wawan, konsep pesantren ini tak hanya menanamkan ajaran Islam, tapi juga mendorong santrinya menjadi mandiri. Spirit kemandirian itu dimulai, antara lain, dari keterampilan membordir. ”Ini salah satu modal mereka mandiri kelak,” kata Wawan.

Semula keterampilan bordir hanya masuk ekstrakurikuler. Tapi sejak 2004 menjadi mata pelajaran wajib, diajarkan seminggu dua kali. Al-Amin juga membekali santri pendidikan kewirausahaan terpadu serta manajemen wirausaha bordir.

Alhasil, sebagian dari 1.500 alumni Al-Amin terserap di bidang usaha bordir di luar pesantren. ”Alhamdulillah tidak ada yang menganggur,” kata Wawan. Pondok yang belum genap 10 tahun ini telah memperoleh penghargaan dari Departemen Agama sebagai pesantren berprestasi. Dari pemerintah Jawa Barat, Al-Amin dihargai sebagai Pesantren Terbersih sejak 2004.

Prestasi pondok ini memang laju: pasar ekspor bordir Al-Amin mencapai omzet Rp 2 miliar sebulan. Kata Wawan, ”Banyak cara menjadikan santri pencinta Tuhan. Salah satunya melalui bordir.”

Widiarsi Agustina, Sandy Indra Pratama, Alwan Ridha R. (Tasikmalaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus