Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=1 color=#FF9900>PESANTREN AR-RAUDHATUL HASANAH</font><br />Kemandirian di Taman Surga

Pesantren ini memberdayakan perekonomian mandiri. Dari santri untuk santri dan warga sekitar.

21 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINUMAN itu dikemas dalam gelas plastik. Mereknya Raudhah Tea. Para santri di Pesantren Raudhatul Hasanah, Paya Bundung, Medan, teramat menggemarinya. Bukan saja harganya bersahabat, cuma Rp 500 per gelas, teh itu juga menyegarkan. Apalagi bila direguk sehabis berolahraga. Namun bukan cuma itu. Yang paling penting bagi para santri, setiap kali mereguk teh berarti mereka ikut memberdayakan ekonomi pesantrennya.

Pesantren ini memang mencoba menggali potensi dana sendiri. Untuk operasionalisasi sehari-hari, pendapatan dari uang iuran santri Rp 410 ribu per bulan plus bantuan operasional sekolah dari Departemen Pendidikan dirasa masih belum cukup. ”Itu tidak cukup untuk membiayai pondok pesantren,” kata Rasyidin Bina, Direktur Pesantren Raudhatul Hasanah.

Itulah sebabnya pesantren ini membuka usaha untuk memenuhi kebutuhan santri, dari baju, usaha fotokopi, hingga jajanan. Langkah ini juga dilakukan untuk menghindari lirikan bisnis pihak luar atas potensi pasar di pesantren. ”Di sini kan dianggap pasar yang bagus dengan jumlah santri ribuan orang,” kata Rasyidin.

Bisnis-bisnis ini dikelola Badan Usaha Milik Pesantren yang dikepalai Miftahuddin Arifin. Mereka punya 12 jenis usaha. Dari semua usaha itu, tutur Miftah, toko atau warung pelajar dan warung telekomunikasi atau wartel merupakan primadona. ”Dalam sebulan, penghasilannya mencapai Rp 25 juta,” ujar Miftah. Baru-baru ini, Wartel Raudhah mendapat predikat warung telepon terbaik se-Sumatera dari Divisi Regional Telkom Sumatera.

Sedangkan untuk warga sekitar pondok pesantren, mereka memiliki Badan Pelayanan Santri dan Masyarakat, yang merupakan klinik kesehatan pesantren yang juga melayani warga sekitar. Selain itu, ada Baitul Maal Tanwil (BMT), sejenis bank simpan-pinjam. Miftah menambahkan, pinjaman BMT hanya diperuntukkan bagi warga. ”Santri hanya menyimpan,” ujarnya.

Namun tak semua berjalan lancar. Usaha tambak ikan yang mereka buat hanya sampai satu tahun. Belakangan, lahan itu berubah menjadi lapangan basket. Alasannya, ujar Rasyidin, kurang menguntungkan.

Tentu saja semua ini tidak saja menguntungkan bagi pengelola pesantren, tapi juga untuk para santri, yang kini jumlahnya mencapai 2.350. Mereka memiliki pengalaman dan pelajaran penting yang berguna selepas mereka lulus dari pesantren ini.

Ide pendirian Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, yang berarti Taman Surga yang Harum, muncul dari diskusi para ustad yang berasal dari Kabupaten Tanah Karo. Pokok persoalannya, pada 1970-an, masyarakat Karo yang memeluk Islam masih terbilang sedikit.

Kegiatan syiar hanya dilakukan di kalangan keluarga, dari rumah ke rumah, di Desa Paya Bundung, Karo. Hingga akhirnya, beberapa tokoh di sana, seperti Haji Ahkam Tarigan, Haji Mahdian, dan Fakhrudin Tarigan, berkeinginan mendirikan sekolah Islam. ”Biar keluarga muslim Karo tahu agama, itu awalnya,” kata Rasyidin.

Sebelum meninggal, Fakhrudin Tarigan meninggalkan wasiat kepada putranya untuk membangun musala di kawasan Binjai. Sepuluh tahun berselang, ahli warisnya menjual tanah tersebut dan membeli tanah seluas 4,4 hektare di kawasan Medan Tuntungan. Tanah ini kemudian diwakafkan, dan Usman Husni, alumnus Pondok Pesantren Darussalam Gontor, dipercaya untuk mengelola pesantren.

Pada 1986, Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah pun berdiri. Perkembangannya terbilang pesat. Mereka menjalin kerja sama dengan pesantren lain. Selain dengan Gontor, Ar-Raudhatul Hasanah menjalin kerja sama dan kesetaraan ilmu pendidikan dengan lembaga sejenis di Mesir, Yaman, dan Sudan. ”Kami sudah melakukan muadalah (penyetaraan akademis), lulusan santri kami bisa diterima tanpa testing, dengan jumlah terbatas,” katanya.

Irfan Budiman, Soetana Monang Hasibuan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus