Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qaris Tajudin *
*) Wartawan Tempo dan alumnus Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo
SETIAP menjelang Lebaran, kita selalu disibukkan oleh penentuan kapan tanggal 1 Syawal jatuh. Karena penanggalan Islam memakai sistem lunar, tanggal baru dihitung setiap terlihat munculnya bulan baru yang berbentuk sabit dan hanya muncul beberapa detik di atas cakrawala. Sederhana, tapi karena terdapat banyak pendapat tentang bagaimana menentukan bulan itu terlihat atau tidak, masalah jadi pelik.
Ada yang cukup dengan menghitungnya di atas kertas dengan bantuan ilmu falak (astronomi), ada yang mewajibkan melihat dengan mata telanjang. Sebagian menganggap seluruh bumi Lebaran jatuh pada hari yang sama, yang lain mengatakan pasti terjadi dua hari, karena menurut ilmu astronomi, perbedaan letak geografis menentukan terlihat atau tidaknya bulan sabit di cakrawala.
Biasanya, perdebatan ini diakhiri (meski belum tentu disepakati) dengan pengumuman dari Badan Hisab Rukyat Departemen Agama. ”Berdasarkan hisab dan rukyat yang kami lakukan, hilal telah tampak sekian derajat di atas ufuk, maka 1 Syawal jatuh pada esok hari,” demikian pengumuman itu.
Bagi kebanyakan orang, kalimat itu tampak rumit, agak susah dimengerti. Kalimat singkat itu penuh dengan jargon yang diserap dari bahasa Arab: hisab, rukyat, hilal, ufuk. Padahal kata-kata itu bisa diterjemahkan menjadi kalimat yang sederhana dan gampang dimengerti: ”Berdasarkan perhitungan dan penglihatan yang kami lakukan, bulan sabit telah tampak sekian derajat di atas cakrawala, maka 1 Syawal jatuh pada esok hari.”
Entah mengapa para ulama dan pemuka agama Islam mempertahankan kata-kata bahasa Arab yang tidak akrab bagi masyarakat itu dan mengapa mereka tidak menggunakan bahasa Indonesia yang lebih dimengerti. Jika memang tujuan pengumuman itu untuk mengumumkan sesuatu yang penting bagi umat, sistem komunikasi tentu bisa disampaikan dengan bahasa yang lebih sederhana agar bisa dipahami.
Keengganan menerjemahkan istilah berbahasa Arab itu tidak hanya terjadi dalam kasus di atas. Pada awal Ramadan, para penceramah senang mengutip sejumlah sabda Nabi yang populer. Di antaranya adalah yang menyatakan bahwa Ramadan itu dibagi menjadi tiga bagian: 10 hari pertama adalah rahmat, sepertiga kedua adalah pengampunan dari dosa, dan 10 terakhir adalah pembebasan dari api neraka.
Begitu seringnya dikutip, hingga banyak umat yang menghafalnya luar kepala. Masalahnya kemudian adalah, apakah mereka mengerti. Tak sepenuhnya. Delapan dari 10 orang yang saya tanya tentang rahmat selalu mengatakan bahwa rahmat adalah belas kasih, rasa kasihan Tuhan kepada kita. Padahal arti sebenarnya adalah kasih (tanpa belas). Rahmat adalah kasih, cinta. Sedangkan belas kasih adalah rasa kasih yang timbul karena iba, kasihan.
Kesalahan pemahaman yang diterima oleh umat ini tidak akan terjadi jika sejak awal para penceramah sudah mengatakan bahwa sepuluh hari pertama puasa adalah turunnya limpahan kasih sayang dari Tuhan.
Demikian juga dengan zikir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, zikir memiliki tiga arti: puji-pujian kepada Allah yang diucapkan berulang-ulang; doa atau puji-pujian yang berlagu; perbuatan mengucapkan zikir. Intinya, zikir adalah menyebut nama Tuhan. Ini benar, tapi hanya separuh benar. Pengertian seperti ini menyempitkan arti zikir sesungguhnya. Menyebut nama Tuhan hanyalah bagian kecil dari zikir. Arti zikir sebenarnya adalah mengingat, seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 152.
Keinginan para pemuka Islam untuk mempertahankan kata-kata itu dalam bahasa Arab memang dapat dimengerti. Mereka mungkin ingin mendekatkan umat dengan istilah yang tertulis demikian di dalam firman Tuhan dan sabda Nabi. Apalagi ada sejumlah kata yang tidak bisa diterjemahkan seperti itu. Wakaf tidak bisa kita pakai terjemahannya, berhenti. Demikian juga dengan wudu dan zakat yang keduanya bisa diartikan dengan bersuci.
Wakaf, wudu, zakat mewakili sebuah konsep tertentu dengan syarat dan ketentuan yang khusus. Memakai kata terjemahannya secara tidak tepat justru akan membingungkan dan mengaburkan pengertian. Biarlah kata-kata bahasa Arab itu terserap dalam bahasa kita dan menambah perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia.
Tapi, di luar itu banyak kata yang justru sebaiknya diterjemahkan. Bahkan—seperti halnya rahmat, zikir, hilal, dan lainnya—mempertahankan kata aslinya justru berakibat pada tidak dimengertinya konsep-konsep Islam oleh umat dengan baik.
Contoh yang paling nyata adalah soal jihad. Ada puluhan ayat yang menerangkan secara gamblang soal jihad. Meski bukan rukun Islam, jihad merupakan hal penting yang harus diyakini oleh seluruh umat Islam.
Tapi belakangan jihad menjadi monopoli kelompok teroris seperti Noor Din M. Top. Mereka seolah mengatakan bahwa hanya mereka yang melakukan pengeboman dan kekerasanlah yang berhak menyandang predikat sebagai mujahid—pelaku jihad. Ada penyempitan makna. Jihad dimaknai sebagai qitaal, perang. Seolah, tanpa menghunus senjata, seseorang tidak mungkin berjihad. Qitaal hanyalah satu bentuk jihad. Untuk melakukannya perlu syarat-syarat yang ketat.
Penyempitan makna ini tidak terjadi jika kita menggunakan terjemahannya: perjuangan atau usaha yang keras (pengertian yang dipakai dalam Kamus Besar). Jika kita memakai kata terjemahannya, semua umat akan setuju bahwa ini harus dilakukan oleh siapa pun dan kapan pun. Bahkan orang yang berjuang untuk memberantas kemiskinan jauh lebih berhak menyandang predikat pejuang (mujahid) dibandingkan dengan orang yang melakukan pengeboman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo