Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A. Mustofa Bisri *
*) Pemimpin Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin, Rembang
SEPERTI mengenai banyak hal yang lain, kalau kita berbicara tentang kiai dan pesantren, kita harus membuat kategori pembeda: kiai sekarang atau kiai dulu; pesantren sekarang atau pesantren dulu. Soalnya memang terdapat banyak perbedaan antara kiai sekarang dan kiai zaman dulu. Demikian pula dengan pesantren; apalagi sekarang ini banyak pesantren baru yang sama sekali berbeda, bahkan sering ”ideologi”-nya bertolak belakang dengan pesantren zaman dulu.
Kiai zaman dulu—biasanya ”pemilik” pesantren—rata-rata orang yang di samping memiliki ilmu agama lebih dari kebanyakan masyarakatnya, juga memiliki kecintaan yang mendalam kepada tanah air dan umatnya. Para kiai zaman dulu membangun pondok pesantren mereka sendiri untuk menampung santri yang menimba ilmu darinya. Para santri bukan hanya diberi ilmu agama, melainkan dididik untuk mengamalkan ilmu yang mereka dapat. Menurut mereka, ilmu tidak ada gunanya bila tidak diamalkan.
Kitab-kitab kuning yang diajarkan para kiai kepada santrinya umumnya merupakan penjabaran dari kitab suci Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW menurut pemahaman Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Paham yang mengajarkan Islam rahmatan lil’aalamiin dan sikap hidup tawassuth wal I’tidaal, sikap tengah-tengah dan tidak ekstrem.
Para santri juga dididik mencintai tanah air mereka. Hubbul wathan minal iimaan, ”Cinta tanah air adalah bagian dari iman”, merupakan slogan di kalangan kiai dan pesantren tempo doeloe. Pada zaman penjajahan, banyak kiai yang menjadikan pesantrennya sebagai markas perlawanan terhadap penjajah. Banyak kiai yang gugur dan menjadi penghuni penjara pemerintah kolonialis dalam rangka membela Tanah Air. Dengan berbagai dalil ”kitab kuning”, para kiai mengobarkan semangat rakyat melawan penjajah. Fatwa jihad melawan penjajah oleh Kiai Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Jombang, misalnya, telah mengobarkan semangat arek-arek Jawa Timur untuk melawan Sekutu di Surabaya.
Kiai Subki dari Parakan, Temanggung, dengan bambu runcingnya yang terkenal itu, menggembleng mental pejuang-pejuang kemerdekaan. Kiai Baidlowi dari Lasem mengutus beberapa santrinya untuk memata-matai Belanda yang konon mendarat di daerah Sayung.
Itu sekadar contoh bagaimana para kiai pesantren dulu mengajar, mendidik, dan mencontohkan sikap patriotisme. Pada zaman kebangkitan, para kiai pesantren mendirikan organisasi yang mereka namakan Nahdlatul Wathan, yang artinya Kebangkitan Tanah Air.
Maka tidak mengherankan bila beberapa kiai yang—ketahuan—kemudian diangkat menjadi pahlawan nasional. Bahkan Mohammad Asad Syihab, wartawan Arab yang pada zaman revolusi tinggal di Indonesia, di antara bukunya tentang tokoh nasional Indonesia yang diterbitkan di Kuwait, menulis buku berjudul Al-’Allaamah Mohammad Hasyim Asy’ari Wadli’u Labinati Istiqlaali Indonesia. Terjemahan harfiahnya: Mahakiai Mohammad Hasyim Asy’ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia.
Para kiai ”model dulu” selalu menanamkan kepada santrinya bahwa mereka adalah orang Indonesia yang beragama Islam; bukan orang Islam yang kebetulan berada di Indonesia. Orang Islam yang kebetulan di Indonesia boleh jadi tidak peduli apa pun yang menimpa Indonesia, tapi orang Indonesia yang beragama Islam tidak bisa tidak memikirkan dan berjuang bagi kebaikan Indonesia. Kecuali mungkin orang yang terbalik akalnya.
Alhamdulillah, menurut pengamatan saya, minimal para kiai dan pesantren pelanjut generasi sebelumnya masih tetap mempertahankan pemahaman tentang Islam rahmatan lil’aalamiin dan sikap hidup tawassuth wal i’tidaal, sikap tengah-tengah dan tidak ekstrem, serta memiliki rasa keindonesiaan yang tebal seperti kiai dan pesantren zaman dulu.
Akhir-akhir ini orang dibingungkan dengan munculnya sikap-sikap kasar bahkan bengis dari kalangan yang juga menyebut diri kaum muslimin. Munculnya ustad-ustad yang dari raut muka hingga tindakan dan ucapannya membuat orang bergidik. Ada jemaah yang tampak bangga dengan keangkerannya. Bahkan ada yang tidak masuk akal: perbuatan merusak yang tegas-tegas dilarang oleh kitab suci Al-Quran justru dianggap jihad atau minimal dianggap amar makruf nahi mungkar. Bahkan ada yang tega meledakkan bom di tengah-tengah keramaian. Kalau yang melakukan kekerasan dan perusakan itu bukan orang Indonesia, mungkin kita bisa mengatakan itu pihak yang iri dan dengki kepada kita. Tapi, kalau itu orang Indonesia sendiri, kita jadi bingung.
Kalau jemaah yang merupakan sekadar anak buah, kita masih bisa mengerti. Tapi mereka yang merupakan imam dan ustad itu masak tidak mengenal pemimpin agung panutan umat Islam Nabi Muhammad SAW yang bassam, wajahnya tersenyum menyenangkan, yang bicaranya lembut, yang sikapnya santun, yang penuh kasih sayang, yang bergaul dengan penuh adab, yang beramar-makruf dengan baik dan bernahi-mungkar tidak dengan mungkar, yang berjihad dengan aturan dan etika?
Inilah yang merupakan tantangan kiai dan pesantren saat ini. Mereka—yang memiliki sanad, mata rantai keislaman sampai ke Rasulullah SAW—dituntut untuk tampil sebagaimana kiai dan pesantren dulu untuk mengenalkan kerahmatan Islam dan kesantunan serta kasih sayang Nabi Muhammad SAW. Jangan sampai generasi kita dididik oleh mereka yang—sadar atau tidak, karena kepentingan atau kebodohan—justru ingin mencemarkan nama baik Islam dan merusak tanah air kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo