Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada yang lebih mencorong daripada bangunan sebuah pura besar di Desa Banuroja, Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Pura besar yang dikelilingi pura-pura keluarga yang ukurannya lebih kecil. Tapi suasana Hindu itu berakhir di depan bangunan sekolah dengan tulisan yang mencolok pada salah satu temboknya: Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah.
Pagi itu, Jumat, 4 September lalu, para santri yang baru menunaikan salat subuh belum beranjak dari masjid. Di depan mereka, seorang lelaki tua berjenggot putih menyampaikan sebuah tausiyah penting. Kiai Haji Abdul Ghofir Nawawi, pemimpin Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah, mengingatkan santrinya agar tidak masuk dalam gerakan kelompok radikal Islam.
”Kaum radikalis itu kalau selesai salat, pasti tidak akan zikir dan wirid,” ucapnya di hadapan sekitar dua puluhan santri.
Pagi itu, pengajian Kiai Ghofir memang tak seramai biasa. Jumat adalah hari libur, tapi selain itu banyak santri yang berasal dari sekitar wilayah Gorontalo dan provinsi terdekat sudah mudik lebih awal untuk berlebaran.
Pondok yang kini memiliki 968 santri itu berada di sebuah desa pedalaman yang merupakan bekas permukiman transmigrasi, yang berjarak 200 kilometer dari Kota Gorontalo. Pada 1980-an, untuk mencapai Desa Malango, nama lama desa itu, orang harus melalui jalan tanah yang melintasi bukit-bukit terjal. Kini jalan ke desa itu sudah lancar dan beraspal.
Pada 1982 Kiai Ghofir tiba di sana, seraya mendirikan pondok yang pada mulanya hanya menggelar pengajian biasa. Tiga tahun kemudian pondok itu resmi menjadi Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah. ”Artinya, pesantren ini menerapkan pola pendidikan tradisional dengan mazhab Imam Syafi’i,” katanya.
Atas dukungan sang kiai pula, masyarakat desa itu mendirikan Desa Banuroja, yang merupakan pemekaran dari Desa Malango, pada 1999, bersamaan dengan ramainya pemekaran di berbagai daerah di Indonesia. Nama baru desa itu merupakan kependekan dari Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo, dan Jawa—nama daerah asal para penduduk desa itu.
Berpuluh tahun kaum muslimin hidup dengan damai dengan penganut Hindu dan Kristen. Penduduk desa itu terdiri atas 267 keluarga muslim, 216 keluarga Hindu, dan tujuh keluarga Kristen. Bahkan, ketika terjadi kerusuhan di Poso dan Ambon, ia berkeliling mengunjungi rumah-rumah warga Hindu dan Kristen untuk bersilaturahmi.
Bukan cuma itu. ”Kami saling berbagi. Kami menghadiri majelis taklim yang dibuat Pak Kiai dan membahas masalah-masalah yang bisa membuat perpecahan di antara kami. Begitu juga sebaliknya,” kata Jack Detamorgandey, ketua jemaat Gereja Imanuel di sana. Di samping Jack, ada I Wayan Adha, tokoh masyarakat Hindu desa itu yang sering menghadiri majelis taklim Kiai Ghofir.
I Wayan Adha mengakui pembangunan di desa itu juga dipelopori oleh pesantren yang luasnya 300 meter persegi tersebut. Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah memfasilitasi berbagai program pemerintah, seperti bantuan ternak. ”Sangat membantu pembangunan di sini. Belum lagi lulusan-lulusan pesantren yang langsung mengabdi di desa kami,” katanya.
Pendidikan di pesantren itu terdiri atas raudatul atfal (setingkat taman kanak-kanak), madrasah ibtidaiyah (sekolah dasar), madrasah tsanawiyah (sekolah menengah pertama), madrasah aliyah (sekolah menengah atas), dan kelas paralel Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo.
Pesantren itu juga mengajarkan beragam keterampilan dan usaha, seperti koperasi, kantin, warung serba ada, dan bisnis fotokopi. Tiga warga Hindu dan seorang Kristen turut menjadi pengajar keterampilan itu.
Santri juga belajar agrobisnis, seperti beternak sapi, kambing, ayam, perikanan air tawar; menanam sayur, padi, buah-buahan, singkong; dan budi daya tanaman hortikultura lainnya.
Hasil kegiatan para santri ini juga dinikmati warga setempat, terutama peternakan sapi, karena santri juga menitipkan sebagian sapinya ke warga dan wali santri untuk dikembangbiakkan dengan sistem bagi hasil. Jumlahnya kini mencapai seratus ekor lebih.
Prestasi pesantren itu pun menarik minat banyak orang untuk bersekolah di sana. ”Saya ingin jadi wirausahawan,” kata Taki Muthadain, salah seorang santri.
Kurniawan, Christopel Paino (Gorontalo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo