Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

<font size=2>[1912]</font><br /><font color=#993300>Peci M Iming</font>

28 September 2009 | 00.00 WIB

<font size=2>[1912]</font><br /><font color=#993300>Peci M Iming</font>
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LELAKI separuh baya itu cermat betul memilah-milah peci yang terpampang di toko Iming PHH Mustofa, Bandung. Akhirnya, dia memilih sebuah kopiah hitam polos. ”Saya tak terlalu suka yang bermotif,” kata Ahmad Mustofa. Dia pelanggan setia peci Iming. Tempo bertemu dengan dia di toko itu dua pekan lalu.

Ahmad mengaku selalu berbelanja kopiah di toko itu sejak 30 tahun lalu. Alasannya, kopiah Iming ”bagus dan tak panas dipakai”.

Pernik penutup kepala ini awalnya diproduksi Mas Iming pada 1912. Berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah, dia merantau ke Bandung. Bermodal mesin jahit tangan, ia mulai membuat peci dan mangkal di pinggir Jalan Simpang Lima, Bandung.

Pada awalnya, Iming menjual sekitar lima kopiah per hari. Lambat-laun usahanya berkembang. Pada 1920, Mas Iming membeli rumah yang dijadikan tempat jualan kopiah di Jalan Groote Postweg—kini Jalan Ahmad Yani, Bandung. Permintaan terus meningkat. Ia mengganti mesin jahit uzur dengan mesin paling mutakhir.

Dua puluh tahun kemudian, semua mesinnya sudah bermerek Singer. Pekerjanya juga bertambah, kebanyakan masih kerabat. Iming mengelola usahanya dengan setia hingga tutup usia pada 1960.

Sepeninggal Mas Iming, usaha kopiah diteruskan anak-cucunya—kini sudah me-masuki generasi keempat. Para ahli waris Mas Iming membuka usaha dan toko di tiga tempat di Bandung, yakni di rumah lama Jalan Ahmad Yani, toko PHH Mustofa di Jalan Suci, dan di Jalan Pelajar Pejuang.

Ella H.A. Soedjadi, 42 tahun, cicit Mas Iming dari cucu pertama, menempati rumah lama. Menurut dia, struktur kopiah yang dikembangkan tak berubah, yaitu jarang menggunakan kertas dalam dan memakai kain serta beludru berkualitas. Motifnya pun digarap dengan serius. Kini penjualan kopiah yang dikelola Ella sekitar 30 kodi atau 600 buah per bulan. Pada musim haji atau Lebaran, jumlah ini bisa naik dua kali lipat.

Angi Yuliani, 42 tahun, cicit Mas Iming dari cucu kedua, membuka usaha di Jalan Suci. Dia melebarkan bisnisnya ke perlengkapan salat dan pakaian muslim. Namun bisnis utamanya tetap kopiah. Jenis produknya pun tetap sama seperti buatan moyangnya. Hanya ada variasi kecil di sana-sini.

Dengan 20 karyawan, Angi membuka beberapa cabang. Tak mengherankan bila penjualannya mencapai 150 biji per hari dengan harga Rp 35-130 ribu per buah. Omzetnya mencapai Rp 60 juta per bulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus