Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBUATAN selembar batik Oey Soe Tjoen bak ritual panjang. Awalnya, Muayah, pekerja di situ, menggoreskan lilin pada motif daun. Ia lalu menyerahkan hasil kerjanya kepada sang bos, Widianti Widjaja, yang lalu memeriksanya dengan teliti. Bila dianggap oke, kain akan diambil alih pekerja lain. Ia meneruskan pekerjaan untuk motif lain.
Menurut Widianti, semakin banyak motif yang hendak dikerjakan, semakin lama batik selesai. Satu batik dengan motif tertentu bahkan dikerjakan 15 orang. ”Proses produksinya bisa sampai satu setengah tahun,” katanya. ”Harganya sama dengan harga satu motor.”
Dengan proses panjang pembuatannya, produksi batik Oey Soe Tjoen susah digenjot. Apalagi jumlah pekerjanya tak sebanyak dulu. Kini paling banyak mereka bisa membuat dua lembar batik setahun. Ini sangat timpang dibandingkan dengan generasi awal yang mampu menghasilkan berpuluh helai.
Sejarah Oey Soe Tjoen berawal di Pekalongan pada 1925. Oey muda memutuskan keluar dari garis usaha keluarga yang memproduksi batik cetak. Bersama Kwee Tjoen Giok Nio, istrinya, ia merintis batik tulis. Rumahnya di Jalan Raya Kedungwuni, Pekalongan, dijadikan tempat usaha.
Oey menggarap motif tradisional khas pantai utara seperti motif pagi sore, merak, pringgodani, dan bunga-bungaan—mawar, seruni, tulip, dan anggrek. Motif tersebut dibuat sesempurna mungkin dengan melibatkan pembatik profesional. Dari dulu batik Oey dikerjakan dengan proses berjenjang. Seorang pekerja khusus menggarap motif daun. Motif tambahannya dilakukan pekerja lain.
Oey tak sembarangan memasarkan karyanya ke pasar tradisional. Ia mengajari anak buahnya mendekati orang-orang kaya. Melalui strategi ini batik Oey dikenal kalangan papan atas. Tak sedikit saudagar kaya di pantai utara terpincut dan membelinya.
Usaha Oey makin terang ketika karyanya juga digemari saudagar Kudus, Magelang, dan beberapa daerah lain. ”Sebagian adalah pengusaha rokok dan tembakau,” kata Widianti. Saking tenarnya, kain batik Oey sempat menjadi mas kawin wajib sejumlah pengusaha Cina.
Produksi batik Oey makin meningkat. Puncaknya, mereka memiliki pekerja hingga 150 orang. Mereka dilatih cara membatik yang baik. Oey menekankan, proses produksi mesti dilakukan secara tradisional guna mempertahankan kualitas.
Menurut Widianti, pencinta batik lokal berdarah Indonesia-Eropa, Van Zuylen bersama istrinya, Eliza van Zuylen, mempunyai andil membesarkan batik Oey. Pegawai Belanda di Pekalongan itu memperkenalkan warna baru selain merah dan biru, yakni warna klasik yang menjadi identitas batik tradisional Pekalongan.
Berkat jasa Zuylen pula, batik Oey akhirnya dikenal pengusaha mancanegara. Setiap bulan ada saja pemesan dari Eropa, Amerika, atau Jepang. Batik Oey juga masuk katalog karya seni yang patut dimiliki di Belanda. Selain merespons selera Barat, Oey mampu memenuhi hasrat orang Jepang. Ia membuat batik Hokokai khas Negeri Matahari Terbit itu dengan motif merak, bunga, dan kuku dengan memasukkan semua warna.
Pada masa jayanya, sekitar dua puluh tahun lalu, rumah toko bercat kuning di Jalan Raya Kedungwuni, Pekalongan, itu selalu ramai pekerja. Para pembatik menggunakan ruang bagian belakang. Di antara pembatik itu ada Ipah, ibu Muayah. Adapun rumah bagian depan, seluas setengah lapangan badminton, dijadikan ruang pajang batik.
Produksi batik Oey mulai menurun pada 1980, setelah usaha beralih ke generasi kedua, Koey Kam Long, empat tahun sebelumnya. Menurut Widianti, gempuran produk tiruan membunuh usaha keluarganya. ”Batik tiruan dikerjakan dengan sablon atau printing,” ujar pemilik nama lain Oey Kiem Lian itu.
Kegetiran generasi Oey Soe Tjoen ini kian parah tatkala bom mengguncang Bali pada 2002. Saat itu sejumlah turis asing membatalkan pesanan. Apalagi, menurut dia, ada juga rumor bahwa Oey berhenti berproduksi. Kini batik Oey sangat terbatas.
Separuh ruang depan rumah kini dijadikan warung kelontong. Tak ada galeri pemajang karya batik. ”Produksi kami memerlukan waktu lama. Hasilnya langsung diminta pelanggan,” ujar Widianti.
Adapun ruang pembatik disulap menjadi dapur. Lalu, di mana 30-an anak buah Widianti bekerja? Rupanya mereka membatik di rumah masing-masing. Bila order selesai, baru diserahkan ke Widianti.
Harga tiap helainya bervariasi, mulai belasan juta rupiah hingga puluhan juta. Dengan omzet sekecil itu, batik Oey tak dapat lagi diandalkan menopang ekonomi keluarga. Apa boleh buat, kini membatik hanya merupakan kerja sampingan. Bagi Widianti, semangat membatik tetap menyala semata untuk mempertahankan warisan leluhur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo