Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

<font size=2>[1942]</font><br /><font color=#993300>Batik Mahkota </font>

28 September 2009 | 00.00 WIB

<font size=2>[1942]</font><br /><font color=#993300>Batik Mahkota </font>
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH loji krem itu kembali hidup. Para pembatik meniup lilin panas dalam canting, lalu tangan mereka bergerak, seakan menari mengikuti pola pada kain. Sempat pingsan beberapa waktu, usaha Batik Mahkota di Jalan Sayangan Kulon 9, Laweyan, Surakarta, itu kembali menggeliat sejak September lima tahun silam.

Menurut pemiliknya, Alfa Fabela, usaha batik keluarganya dirintis sang kakek, Ronowiyoto. Mengusung bendera Batik Mahkota Laweyan, ia memulai usahanya berbekal secarik surat jalan yang dikeluarkan Sekretarize Goebernen van Valkeyburg pada 1942. Batik produksinya merambah luar Surakarta.

Beberapa tahun setelah merdeka, sang putra, Puspowiyoto, meneruskan usaha. Batik Mahkota makin maju, menjadi salah satu ikon batik Laweyan. Satu corak yang menjadi andalan adalah Tirto Redjo. Pada puncak jayanya, usaha ini mempekerjakan lima puluhan orang.

Memasuki 1970, Batik Mahkota mulai memudar. Gempuran batik cetak dari luar daerah membuatnya kehabisan napas. Pengusaha batik lain di Laweyan juga gugur. Akhirnya Batik Mahkota pun tak bisa bertahan. ”Bapak saya menjadi generasi terakhir pengusaha batik,” kata Alfa mengenang.   

Karena menganggap tak lagi punya masa depan, Puspowiyoto pun tidak berharap anak-anaknya meneruskan usaha batik. Alfa memilih dunia akademis dan menjadi dosen perguruan tinggi swasta di Surakarta. Mahkota benar-benar terkubur ketika Puspowiyoto meninggal pada 1990.

Belasan tahun peralatan batik tergeletak menganggur, kesempatan hidup kembali datang. Pemerintah Kota Surakarta menetapkan Laweyan sebagai Kampung Batik. Alfa pun membangkitkan kembali Mahkota. Ia memulainya dengan dua pekerja.

Perlahan, Batik Mahkota tumbuh kembali. Kini Alfa mempekerjakan 12 orang. Setiap bulan mereka memproduksi helai-helai batik tulis buat 360 potong baju. Harga sepotong batik untuk bervariasi antara Rp 100 ribu dan Rp 200 ribu. Rumah kuno peninggalan zaman Belanda itu kini kembali bergairah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus