Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

<font size=2>[1918]</font><br /><font color=#006600>Jamu</font> <font color=#999900>Jago</font>

Perusahaan keluarga ini telah menembus pasar lokal dan internasional. Sukses hingga generasi keempat. Di usianya yang sudah menjelang seratus tahun, Jamu Jago mencoba bertahan.

28 September 2009 | 00.00 WIB

<font size=2>[1918]</font><br /><font color=#006600>Jamu</font> <font color=#999900>Jago</font>
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERISTIWA aneh itu terjadi pada 1917. Seorang pertapa—sebenarnya penampilannya lebih mirip orang gila—tiba-tiba muncul di rumah keluarga Tjoeng Kwaw Suprana di Wonogiri. Malam itu ia minta makan dan mohon diperkenankan menginap.

Esok harinya, si pertapa mengucapkan terima kasih, dan membuka misteri tentang jati dirinya. Ia sebenarnya pangeran Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang sedang melakukan tapa ngedan di Gunung Lawu. Di antara rasa takjub yang belum reda, Tjoeng Kwaw Suprana mendengar tamu istimewa itu berpesan agar ia menggunakan nama Jago (ayam jantan, dalam bahasa Jawa).

Waktu itu ia baru saja membuka usaha kecil-kecilan. Mengamati bagaimana ibundanya meracik jamu gendong siap minum, Suprana mencoba membuat terobosan. Racikan ditumbuk, lantas dikemas kecil-kecil supaya praktis. Setahun berselang, usaha ini bergerak maju. Saat itulah, 1918, Suprana membubuhkan nama yang dipesankan tamu itu untuk merek jamunya.

Usahanya melejit cepat. Pada 1936, Suprana menyerahkan tongkat estafet kepada empat putranya: Anwar Suprana, Panji Suprana, Lambang Suprana, dan Bambang Suprana. Di tangan empat bersaudara itulah Jamu Jago menguasai pasar jamu di eks Karesidenan Surakarta dan sekitarnya. Bahkan, pada 1937, Keraton Surakarta Hadiningrat menetapkan Jamu Jago sebagai jamu resmi istana.

Di depan Pasar Induk Kabupaten Wonogiri di Jalan Raya Wonogiri, Jawa Tengah, yang kini sesak oleh toko itu, pernah berdiri ”kompleks” Djamu Djago. Itulah salah satu bukti kejayaan keluarga Suprana di Wonogiri. Mudjimin, 74 tahun, warga Kampung Gerdu, Kelurahan Giripurwo, Wonogiri, masih ingat bangunan pabrik berada di sebelah selatan pasar. Agak ke selatan lagi ada rumah T.K. Suprana—kini menjadi Markas Komando Distrik Militer Wonogiri. Sedangkan gerai Djamu Djago berada di salah satu deretan toko di seberang pasar induk.

Pada 1949, keluarga Suprana memboyong pabrik ke Semarang. Kota ini dipilih karena posisinya strategis, berada di pusat lalu lintas Pulau Jawa. Ada akses transportasi—darat dan laut—untuk mendatangkan bahan baku jamu dan mengapalkan produk ke luar Jawa dan mancanegara. Toh, kedekatan dengan keraton tetap dijaga. Pabrik kelas rumahan di Wonogiri digeser ke Solo.

Dari Semarang, Jamu Jago masuk ke pasar Bali dan Lampung. Empat tahun kemudian, mereka menembus mancanegara. Misalnya Belanda, Malaysia, Jepang, Australia, Taiwan, dan Vietnam. Pabrik baru—kali ini lebih modern—seluas dua hektare dibangun di Jalan Setiabudi. Mesin-mesin canggih didatangkan dari Amerika. Dibikin pula pusat laboratorium obat dan jamu. Dua sarjana farmasi direkrut. Mereka bertugas menjelaskan khasiat jamu secara ilmiah, bukan hanya mitos.

Kini Jamu Jago dikelola generasi ketiga: Nugraha Suprana, Jaya Suprana, Sindu Suprana, dan Monika Suprana sebagai komisaris. Generasi keempat dipersiapkan untuk melanjutkan dinasti. Ada Arya Suprana sebagai direktur sumber daya manusia dan Ivana Suprana sebagai direktur produksi. Dimotori Jaya, mereka mendirikan Museum Rekor Indonesia yang bersinergi.

l l l

SUMIRAH memasukkan satu per satu strip kapsul ke dalam bungkus kertas. Lantas bungkus itu dikemas lagi dengan plastik bening. Sayuri, begitu tulisan yang tertera di dalam kertas pembungkus warna merah. Inilah produk paling gres Jamu Jago, diluncurkan pertengahan 2009.

Kapsul ini mengandung sayuran yang dikeringkan. ”Sayuri menjawab keresahan ibu yang anaknya susah makan sayur,” kata Nugraha Suprana, Direktur Pemasaran PT Jamu Jago, kepada Tempo, di Semarang, awal September lalu.

Memasuki usia 91 tahun, pabrik jamu tertua ini gencar berinovasi. Terutama menyasar konsumen anak-anak. Ini dilakukan setelah sukses melempar Buyung-Upik—jamu untuk menambah nafsu makan dan daya tahan tubuh, mengobati cacingan, serta mengusir masuk angin—pada 1994.

Nugraha ingat betul 15 tahun lalu orang begitu pesimistis: ”Orang tua saja susah minum jamu, apalagi anak-anak.” Nyatanya, Buyung-Upik menjadi produk andalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus