Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WARUNG kopi Liaw Tek Soen di Hayam Wuruk, Jakarta, sudah tak ada bekasnya. Tapi Tek Soen tentu tak menyangka resep kopi buatannya masih bertahan setelah 131 tahun. Sejak 1967—ketika rezim Orde Baru melarang orang Cina menggunakan nama asli—kopi Tek Soen juga diubah menjadi kopi Warung Tinggi. Meskipun demikian, sesungguhnya nama itu melekat dengan rumah makan awal Tek Soen di Hayam Wuruk. Karena gedungnya besar dan tinggi, penduduk sekitar menyebutnya warung tinggi. Yang tak berubah hanyalah resep dan logo: wanita sedang menggendong bakul dari bambu.
Kopi Warung Tinggi, yang kini di tangan generasi keempat, masih bertahan karena mereka sukses menjual nilai (value) produk mereka sebagai barang premium: harga mahal, peredaran terbatas. Mereka tidak menjual Warung Tinggi di sembarang supermarket atau toko. Hasilnya, Warung Tinggi terus melakukan ekspansi. Dari 20 ton per bulan, mereka berencana menaikkan produksi menjadi 100 ton. Cara yang hampir sama dilakukan Widya Pratama, ahli waris kopi Aroma (1930), Bandung, atau produsen sirup Sarang Sari (1934) di Jakarta. Mereka membuat produknya sebagai warisan masa lampau.
Ini hanyalah salah satu cara merek-merek tua itu bertahan hingga puluhan tahun. Beberapa di antaranya bahkan sudah di atas 100 tahun. Dalam edisi ini, Tempo mencoba melacak merek-merek tua itu di tengah makin kerasnya gempuran produk-produk asing belakangan ini. Kami memilih tahun 1945 sebagai batas usia merek yang akan ditampilkan dalam edisi setelah Lebaran ini. Batas ini hanyalah penanda untuk menunjukkan betapa produk dengan merek antik itu memang sudah ada sebelum kemerdekaan. Pada era itu, hampir semua produk dibuat dalam industri rumahan dengan modal yang mungkin tidak terlalu besar.
Yang menarik, hampir semua produk itu dibuat oleh penduduk Indonesia keturunan Cina. Pada zaman itu, penjajah Belanda memang memposisikan mereka sebagai saudagar atau kelas pedagang. Dari sisi produk, sebagian merek yang kami tampilkan adalah produk makanan, juga rokok, pakaian, dan obat (jamu). Di zaman perjuangan itu, modal dan teknologi memang masih belum jamak dipakai di Indonesia. Modal besar dan teknologi sebagian besar masuk Indonesia pada 1967, setelah Undang-Undang Penanaman Modal disahkan.
Sebagian besar merek itu kini bukanlah pemimpin yang mendominasi pangsa pasar. Kopi Warung Tinggi, Aroma, dan sirup Sarang Sari, misalnya, memilih bergerilya di ceruk yang sempit. Batik Oey Soe Tjoen sudah digilas oleh batik-batik pabrikan seperti Batik Keris atau Danar Hadi, meskipun sampai kini masih diproduksi terbatas. Tapi tak sedikit yang dengan gagah beradu dada dengan perusahaan multinasional. Kopi Kapal Api, misalnya, mampu memimpin pasar kopi kendati ada Nescafe. Jangan lupa Sinar Sosro (Teh Botol Sosro) yang bertarung dengan perusahaan multinasional seperti Coca-Cola atau Danone.
Kunci keberhasilan mereka bukan hanya positioning—memilih ceruk pasar yang tepat—tapi juga melalui berbagai cara lain. Beberapa perusahaan itu selalu mencoba melakukan inovasi, entah dalam proses produksi, dalam hal produknya sendiri, atau dalam strategi pemasarannya. Ada juga yang memodernisasi diri dengan merekrut manajer-manajer dari luar keluarga atau bahkan go public dengan menjual sahamnya di bursa. Tapi banyak juga yang akhirnya melego perusahaannya ke investor asing dengan berbagai alasan. Putera Sampoerna menjual perusahaan yang didirikan kakeknya ke Philip Morris atau Kecap Bango terpaksa dilepas ke Unilever.
Kisah pendiri dan penerus pelbagai perusahaan berusia tua sungguh berwarna. Ada Liem Seeng Tee yang jatuh-bangun mempertahankan rokok kretek Dji Sam Soe melewati masa penjajahan Jepang dan kemerdekaan. Putranya, Aga Sampoerna, berhasil membangun kembali Sampoerna dengan tetap mengandalkan Dji Sam Soe. Perusahaan ini makin berkibar di tangan Putera Sampoerna. Tapi kunci keberhasilan Sampoerna sesungguhnya adalah inovasi. Ketika aturan rokok makin ketat, Sampoerna merilis Sampoerna A Mild pada 1989. Pada mulanya, Sampoerna memakai tagline ”Taste of the future” untuk menunjukkan tren baru rokok. Tapi tak serta-merta A Mild sukses. Produk ini baru berhasil merasuk ke pelanggan, terutama kalangan muda, setelah tagline-nya diubah menjadi ”How low can you go”.
Pilihan itu bukan hal yang mudah. Rokok kretek sudah identik dengan Indonesia. Bau yang menyengat, campuran cengkeh, dan kandungan nikotin yang tinggi menjadi ciri khas rokok Indonesia. Tapi Putera melihat ada tantangan di depan: faktor kesehatan akan menjadi momok serius. Inovasi A Mild pada mulanya terasa aneh, tapi belakangan para pesaingnya terpaksa mengikutinya, justru ketika Sampoerna sudah melangkah jauh. Djarum dan Bentoel baru ”ikut” delapan tahun setelah Sampoerna. Gudang Garam bahkan baru masuk pada 2002. Putera agaknya juga melihat rokok merupakan sunset industry: baik karena alasan kesehatan maupun karena alasan ekonomi (pajak). Maka, pada 2005, Putera melego Sampoerna ke Philip Morris US$ 2 miliar.
Sosro juga punya kisah yang gegap-gempita. Bermula dari Slawi—kota kecil di Jawa Tengah—Sosro kini menjadi produsen teh botol terbesar di Indonesia. Di teh botol, Sosro berhadapan dengan Frestea (Coca-Cola) dan Tekita (Pepsi). Ketika dua pesaingnya muncul dengan kemasan yang lebih besar, Sosro memunculkan STee. Kadang Sosro juga ketinggalan kereta, antara lain ketika muncul Sariwangi dengan teh celup atau teh hijau (Nu dan Green Tea). Dalam dua kasus ini, Sosro berada di posisi pengejar. Tapi Sosro juga beberapa kali melakukan inovasi, misalnya melalui teh rasa buah (Fruit Tea).
Positioning Sosro yang pas tak lepas dari keberhasilannya menancapkan tagline-nya di benak konsumen. Tagline korporat, ”Sosro ahlinya teh”, atau tagline teh botol, ”Apa pun makanannya, minumnya Teh Botol Sosro”, menunjukkan bahwa kekuatan Sosro masih sulit digoyahkan oleh para pesaingnya yang berasal dari perusahaan multinasional. Kolumnis Bondan Winarno mengatakan kesuksesan Sosro salah satunya karena pendirinya dengan cepat membaca pasar. Pada mulanya, Sosro hanya beredar di kawasan Tegal, Slawi, dan Pemalang. Tapi Sosrodjojo—sang pendiri—melihat masa depan usahanya ada di Jakarta. Kini penglihatannya terbukti benar.
Putera Sampoerna dan Sosrodjojo, juga banyak pendiri dan penerus perusahaan yang memiliki merek yang awet, mungkin hanya segelintir pengusaha Indonesia yang punya naluri luar biasa. Di tangan mereka, Dji Sam Soe, Teh Botol Sosro, dan merek lain mampu melewati berbagai rintangan dan bangkit dari keterpurukan masing-masing. Dalam ilmu manajemen, mereka sukses melewati daur hidup produk: fase pengenalan, fase pertumbuhan, fase kematangan, dan fase penurunan. Hampir tak ada produk dalam laporan ini yang berjalan mulus. Ada masa jatuh, ada juga kebangkitan atau kejayaan.
Pada akhirnya, daya tahan merek itu semuanya memang bergantung pada pemiliknya. Dalam banyak kasus, mulusnya regenerasi atau suksesi sangat mendukung keberhasilan produk itu bertahan di tengah persaingan bisnis yang ketat. Dalam kasus Sosro, atau kopi Warung Tinggi, keberhasilan keluarga itu mempertahankan merek merupakan wujud dari keberhasilan mereka mewariskan bukan hanya merek, melainkan juga filosofi di balik produk-produk itu. Sampoerna mungkin kasus yang berbeda. Tekanan dari faktor kesehatan dan perpajakan membuat Putera mungkin melihat bisnis ini sudah tak menarik.
Memang, belum ada merek lokal yang mampu bertahan sampai ratusan tahun. Paling tua adalah kopi Warung Tinggi, yang berumur 131 tahun. Tapi itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Saat ini, ada 10 brand di dunia yang sudah berusia seribu tahun. Delapan di antaranya berasal dari Jepang. Bukan tidak mungkin pada suatu saat nanti akan ada produk Indonesia yang dicatat dunia sebagai salah satu merek paling tua di dunia. Setidaknya meniru sukses segelintir produk Jepang yang mampu bertahan hidup seribu tahun….
TIM LIPUTAN KHUSUS
Penanggung Jawab: M. Taufiqurohman
Kepala Proyek: Philipus Parera
Penyunting: Amarzan Loebis, Wahyu Muryadi, Idrus F. Shahab, M. Taufiqurohman, Hermien Y. Kleden, Wicaksono, L.R. Baskoro, Bina Bektiati, Mardiyah Chamim, Yos Rizal Suriaji, Budi Setyarso, Purwanto Setiadi
Penulis: M. Taufiqurohman, Retno Sulistyowati, Yandhrie Arvian, Yophiandi, Philipus Parera, R.R. Ariyani, Padjar Iswara, Andari Karina Anom, Muchamad Nafi, Nunuy Nurhayati, Harun Mahbub
Penyumbang Bahan: Amandra Mustika M., Iqbal Muhtarom (Jakarta), Joniansyah (Tangerang), Anwar Siswadi, Alwan Ridha R. (Bandung), Diki Sudrajat (Bogor), Deden Abdul Aziz (Cianjur), Nanang Sutisna (Subang), Aris Andrianto (Purbalingga), Ahmad Rafiq (Wonogiri), Edi Faisol (Tegal), Rofiudin (Pekalongan), Muh Syaifullah (Yogyakarta), Sutji Decilya (Magelang), Sohirin (Semarang), David Priyasidharta (Probolinggo), Muhammad Taufik (Pasuruan), Anang Zakaria (Surabaya), Febrianti (Jambi).
Penyunting Bahasa: Dewi Kartika, Sapto Nugroho, Uu Suhardi
Fotografer: Aryus P. Soekarno (Koordinator), Arnold Simanjuntak, Santirta M., Gerry Andria (Jakarta), Prima Mulia (Bandung), Arif Wibowo (Yogyakarta), Budi Purwanto (Semarang), Nurdiansyah Dian (Malang).
Desain Visual: Gilang Rahadian (Koordinator), Eko Punto Pambudi, Kiagus Auliansyah, Danendro Adi, Hendy Prakasa, Aji Yuliarto, Agus Darmawan, Triwatno W.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo