Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<Font size=2 color=#FF0000>Hadi Poernomo:</font><br />Saya Menikahi Anak ’Wong Sugih’

21 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Hadi Poernomo, trah merupakan persoalan penting buat menjelaskan ihwal kekayaannya. Itu sebabnya, di awal wawancara, sebelum Tempo mengajukan pertanyaan, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan ini lebih dulu mengambil inisiatif. ”Saya ingin menjelaskan dulu siapa saya,” katanya. ”Kakek saya Raden Abdul Gani, dulu patih atau wakil bupati Sampang.”

Sang kakek, menurut Hadi, memi liki anak antara lain Raden Abdul Hadi Notosantoso ayahnya dan Halim Per danakusuma, pahlawan nasional yang namanya diabadikan sebagai nama pangkalan udara di Jakarta. Abdul Hadi pernah menjadi sekretaris daerah Pamekasan, Jember, lalu sekretaris Karesidenan Kediri, dan ter akhir bupati yang diperbantukan di Nganjuk, Jawa Timur.

Mantan Direktur Jenderal Pajak itu lalu menyatakan, Melita Setyawati, istrinya, pun berasal dari keluarga terpandang. Ibu Melita, Nyonya Suprap ti, adalah cucu Dr Wahidin Sudirohusodo, pahlawan pendiri Budi Utomo. Adapun Raden Soedadi Prodjosute djo, ayah Melita, terakhir menjadi Kepala Kantor Pajak Jakarta Raya. ”Jadi saya menikahi anak wong sugih,” kata pria 63 tahun ini. ”Alhamdulillah, aku ikutan sugih.”

Silsilah itu disampaikan Hadi untuk menjelaskan asal-usul kekayaannya. Berdasarkan laporan kekayaan yang disampaikan ke Komisi Pembe rantasan Korupsi, Februari lalu, ia memiliki harta senilai Rp 38 miliar. Yang mengundang curiga, hampir semua harta dilaporkan berasal dari hibah. Dari penelusuran Tempo, ternyata ia juga memiliki sejumlah harta yang tidak dicantumkan dalam laporan.

”Sejumlah harta telah saya hibahkan buat anak-anak saya,” katanya kepada Tempo, yang mewawancarainya pada Jumat dua pekan lalu, di ruang kerja nya. Ditemani dua staf salah satunya ditarik dari kantor Direktorat Pajak Ketua Badan Pemeriksa Keuangan itu bicara hampir dua jam.

Dengan menjelaskan riwayat keluarga, Anda ingin mengatakan, semua kekayaan yang dilaporkan sebagai hibah itu wajar?

Iya, karena memang hibah, diberikan sebelum orang tua saya me ninggal.

Sebagian hibah dari keluarga istri?

Dari ayah saya ada hibah tanah. Memang sejak 1971 saya sudah main tanah. Saya banyak membebaskan tanah. Misalnya pembebasan tanah Agung Podomoro dari AURI. Ada juga pembebasan di pantai utara dan daerah Pondok Pinang, saya bersama Untung Slamet (rekanan Hadi Poernomo-Red.). Kami bikin Hotel USU (Untung Selamet Usuari) di Cisarua, tapi belakangan bubar.

Saat itu Anda sudah menjadi pegawai pajak?

Belum, saat itu masih sekolah. Itu hadiah kawin dari mertua.

Memangnya berapa banyak hadiah perkawinan Anda?

Cukup banyak. Ada cash, barang antik, logam atau batu mulia, keris. Tak selalu uang. Pada 1965-1966, saya masih kursus bon A dan bon B (tata buku). Punya uang, ya saya olah. Saya juga punya teman untuk pembebasan lahan. Pertama dengan Untung Selamet, kedua Agung Podomoro, ketiga di Cengkareng, dan keempat pembebasan daerah Perjuangan, Kedoya. Setelah dibebaskan, kami jual. Ada selisih, itu rezekiku, dong.

Apa saja aset hibah dari orang tua Anda?

Saya dapat rumah hibah di Pluit Sakti Raya, Jalan Cik Di Tiro, sampai izin mendirikan apartemen lima lantai. Dulu Bapak ingin usaha itu. Setelah Bapak meninggal, semua anak dan menantu yang menjadi ahli wa ris dimintai persetujuan, mereka tidak keberatan Bapak menghibahkan ha rtanya kepada saya.

Maksudnya hanya Anda yang mendapat hibah dari orang tua?

Bukan, yang lain mendapat hibah nya sendiri-sendiri. Tapi untuk yang saya, mereka memberikan persetujuan.

Kelihatannya Anda mendapat lebih banyak?

Itu urusan masing-masing. Kan dapatnya macam-macam, ada uang cash, rumah, dan lainnya. Kami nggak tahu dan tak mau urusan, kan Bapak yang memutuskan.

Anda yang meminta dibuatkan aktanya?

Bapak sebelum meninggal berpesan: pertama, kamu harus kerja yang baik. Kedua, kalau beliau meninggal, bikin akta dengan benar. Dia memang orang yang tertib.

Kami memperoleh akta hibah yang dibuat setelah ayah Anda meninggal....

Lho, akta-akta hibah sebelum wafat. Tapi akta pelepasan hak dan persetujuan ahli waris, setelah Bapak meninggal. Ada pernyataan dari adik saya, ahli waris tak keberatan ayah menghibahkan hartanya kepada anaknya yang bernama ini, berupa ini. Setelah meninggal, jangan sampai nanti hibah diperebutkan. Kan dia tahu pengorbanan saya enam tahun ikut Bapak. Juga waktu beliau sakit pada 1982-1987.

Anda melaporkan semua harta Anda dari hibah, kami memperoleh bukti adanya akta jual-beli?

Sumbernya hibah, lalu saya jual, uangnya ya uang hibah. Saya belikan lagi, ya tetap hibah. Ada sebagian hasil gaji dan penghasilan, lalu digabung dengan hibah, semuanya menjadi hibah. Setelah jual-beli, ada proses lagi: sertifikat diubah namanya sesuai dengan pemilik.

Anda pernah membuat akta yang back dated?

Insya Allah, jangan.

Tidak pernah?

Mudah-mudahan tidak. Anda punya informasi lain?

Kami memperoleh informasi, Anda membuat akta hibah dengan tanggal mundur....

Mudah-mudahan tidak. Saya bisa menunjukkan akta hibah saya sudah karatan. Kasihan orang tua saya sudah meninggal. Mudah-mudahan ja ngan. Selain itu sejak 2007 saya juga sudah pensiun.

Kabarnya, Anda suka mencari meterai dan mesin ketik kuno untuk merekayasa akta hibah?

Tidak. Saya suka mencari barang antik dulu di Tenggarong, Kutai, Balikpapan, atau Madura.

Harta hibah Anda termasuk uang dolar?

Bapak saya selalu bilang: semua uang harus saya dolarkan.

Setelah ayah Anda meninggal, dolar naik terus....

Pada 1998 bahkan sampai Rp 16 ribu per dolar. Saya tidak tahu, mungkin karena orang tua saya tirakat.

Bagaimana dengan rumah Anda di Los Angeles yang juga dilaporkan sebagai hibah?

Iya tentu, uang yang saya dapat dari hibah saya investasikan. Pada 1983 atau 1985 saya beli rumah di Los Angeles. Saya sering ke sana. Anak saya juga.

Sebelum masuk Direktorat Pajak, Anda sudah aktif membebaskan tanah?

Saya nyambi. Tak mengganggu pekerjaan. Duit ada kok, jadi tak mengganggu pekerjaan.

Mengapa Anda tertarik membeli tanah?

Saya baca buku: untuk sukses, ya beli tanah. Maka saya ajarkan ke anak saya, kalau ada tanah murah, tanah girik, ambil. Saya mengajarkan kepada anak dan menantu saya.

Bagaimana biasanya Anda mencari tanah?

Kita kan punya peta. Kita cari tahu daerah dan arah pengembangan daerah itu.

Dari mana informasi itu?

Dari peta tata ruang, kami tanya-tanya lagi. Kalau di daerah Jakarta Barat kan yang dekat-dekat lapangan terbang. Kalau dulu itu daerah tempat jin buang anak. Kami beli dari orang yang habis kalah main judi. Kita nguping saja, siapa yang kalah. Kami bawa tunai. Ada orang-orang kita di daerah-daerah itu..

Anda datang sendiri ke lapangan?

Datang sendiri. Tanah kalau diinjak sendiri akan cepat menghasilkan. Tiap orang rezekinya lain-lain.

Istri Anda punya feeling bagus soal tanah?

Kadang-kadang dia bilang, ”Wah, apik.” Apalagi tahu tanahnya murah banget. Seperti di Cikarang, ada yang Rp 65 ribu, ada yang Rp 30 ribu. Nanti, 10 tahun lagi mahal. Dahulu Priok, Cilincing, untuk ke sana saja pakai boat, getek.

Tanah-tanah itu atas nama istri?

Saya dan istri tidak terpisah. Harta gono-gini, tidak ada pemisahan.

Bukan karena Anda pejabat?

Kalau saya dengan istri pisah hartanya, baru boleh kamu mengatakan seperti itu. Tapi, kalau tidak pisah, tidak ada masalah. Hukum yang dianalogkan. Istri dan saya sama saja.

Ada dua rumah atas nama Anda di Jalan Anggrek dan Iskandarsyah….

Itu dari orang tua, tidak mungkin atas nama istri saya. Kalau yang di Sawangan itu mertua, atas namanya. Langsung ke istri saya. Dikasih cuma-cuma. Mertua saya sugih, kok.

Kami memperoleh data, Anda memiliki rumah di 817 North Cordova Street, Alhambra, California, AS….

Itu dagangan. Waktu itu harga rumah turun. Saya suka ke Amerika, ada mertua, dan kakak ipar saya (Setiawan Djody, pengusaha). Saya jual lagi dua tahun kemudian karena sudah untung.

Kami menemukan, tanah di Kembangan jauh lebih luas dari laporan Anda ke Komisi Pemberantasan Korupsi?

Sudah saya bagikan ke anak saya, biar mereka tak berantem. Sewaktu memberikan hibah, orang tua saya juga berpesan, kalau anak bungsu saya sudah 18 tahun, harta saya harus dihi bahkan ke anak-anak. Karena itu, pada 1999, sebagian harta saya hibahkan.

Tapi sertifikatnya masih atas nama istri Anda?

Enggak apa-apa. Yang penting faktualnya sudah saya hibahkan. Ada suratnya dari saya ke anak saya.

Mengapa tidak langsung dibalik nama?

Ini kan soal taktik, soal cara saja. Nanti pasti akan dibuat aktanya.

Kami bisa melihat akta hibah itu?

Ya, nanti sajalah. Tidak saya bawa.

Kami juga menemukan tanah di Sawang an atas nama istri Anda....

Itu juga sudah saya hibahkan ke anak saya. Pokoknya, dari uang hibah saya, ada gambaran alirannya: jual berapa, dibelikan apa.

Anda juga punya gedung buat sarang walet di Lampung….

Silakan lihat ke sana. Ada tidak waletnya? Anak-anak mau bisnis ke sana. Ternyata bagusnya di tanah saja. Waletnya belum datang.

Mengapa gedung walet tidak dimasukkan daftar?

Tidak ada apa-apanya. Mau diambil (KPK), silakan.

Keluarga Anda punya Hotel Lovina di Singaraja, Bali?

Itu punya Fitra Paloh (menantu Hadi Poernomo Red.). Kalau Fitra bukan dari saya. Anak saya sebagian besar dari hibah saya. Itu sesuai notaris.

Hotel Respati di Bali juga punya Anda?

Itu anak-anak dengan teman-temannya. Itu losmen, bukan hotel berbintang. Anak-anak saya suka dengan Bali. Sabtu-Minggu mereka keliling di Bali, pindah-pindah hotel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus