Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKAN Susno Duadji namanya kalau tak pandai merangkai kata. Kamis pekan lalu, dia berkali kali mengundang tawa hadirin saat menjadi pembicara seminar bertajuk ”Susno Disayang, Susno Ditendang” yang diadakan Forum Umat Islam di gedung YTKI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Tepuk tangan makin riuh ketika mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI itu bercerita dengan perumpamaan menggelitik. ”Kapolri itu ibarat layang layang. Yang mengendalikan ada di bawah,” katanya.
Pernyataan Susno itu muncul ketika seorang peserta diskusi bertanya soal kebenaran isu ada cukong cukong yang siap mensponsori perwira berbintang untuk naik ke pucuk pimpinan polisi. ”Kepada intel intel yang hadir di sini, tolong sampaikan ini ke Mabes Polri, ya,” katanya.
”Perang” antara Susno dan Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri memang makin panas. Bisa jadi, itu salah satu alasan Susno kini memilih tiarap. Sepanjang pekan lalu, dia tak lagi banyak muncul di media massa. Beruntung tim Tempo sempat mewawancarai jenderal bintang tiga ini Selasa dua pekan lalu. Dalam wawancara itu Susno menjawab semua tudingan miring ke arahnya.
Anda dituduh melanggar kode etik Polri karena membuka kasus Gayus ke publik, bukannya lebih dulu melapor ke Kepala Polri....
Masak saya tidak boleh berbicara kepada wartawan? Saya kan punya hak hak sipil di negara demokrasi ini. Semua orang boleh bicara dengan wartawan dan masyarakat punya hak untuk memperoleh informasi.Saya juga melaporkan kasus Gayus ke Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Satgas ini dibentuk dengan keputusan presiden dan masyarakat diimbau untuk melapor. Masak seorang polisi tidak boleh melapor? Di mana aturan yang menyebutkan bahwa polisi harus lapor ke atasannya dulu?
Anda memperhitungkan risiko tindakan Anda?
Sudah saya hitung semua risiko. Katanya saya mau ditangkap, ya silakan ditangkap. Itu artinya, mereka main kekuasaan.
Apa saja reaksi Mabes Polri yang Anda rasakan?
Saya diteror dengan berbagai isu. Katanya, saya merekayasa ancaman kepada diri saya sendiri. Padahal, kalau benar begitu, tangkap saja saya. Saya juga dituduh punya banyak rumah. Itu tidak benar. Sebagian rumah saya sudah saya jual sejak 2006.
Jadi betul Anda punya 16 rumah?
Saya dapatkan (semuanya) sebelum jadi polisi. Saya kan punya ”warung”. Sejak pangkat letnan, saya sudah punya usaha, karena gaji tidak cukup. Tapi usaha saya tidak pernah berhubungan dengan polisi. Saya juga bayar pajak, bayar zakat, bahkan bayar pungli. Sekarang, sebagian perusahaan dijalankan oleh menantu saya. Dari situlah saya hidup.
Apa saja usaha Anda?
Usaha saya serabutan: ada mesin penggilingan padi di kampung, tempat cuci mobil, dan bengkel. Lama lama semua usaha itu jadi besar. Rumah rumah saya itu juga termasuk usaha saya: jual beli rumah.
Apa nama perusahaan Anda?
Janganlah... nanti dicari dan ditutup polisi. Mereka kan sekarang lagi mencari cari.
Apakah sebagian kekayaan Anda diberi orang?
Tidak boleh. Itu namanya gratifikasi. Lagi pula, siapa yang mau memberikan rumah dan tanah ke saya?
Ada maksud tertentu di balik pengungkapan ”dosa dosa” Anda?
Jelas. Saya bisa mencium motifnya. Jelek jelek saya kan sudah berpuluh tahun jadi polisi. Pengungkapan kasus kasus ini untuk memecah konsentrasi dan membuat saya stres. Setelah itu, kasus saya akan digiring ke arah pelanggaran disiplin dan kode etik profesi. Ini artinya saya akan dipecat, lalu kasus saya digiring ke pengadilan pidana.
Apa masih ada anak buah di kepolisian yang mendukung Anda?
Sekitar 80 persen polisi masih setia kepada saya. Tidak usah saya sebutkan namanya. Kalau disebut, mereka bisa dilibas.
Berapa banyak polisi yang anti Susno?
Yang melawan saya ini tidak satu dua orang. Mereka ini suatu gerombolan, mulai bos sampai ke bawah. Mereka punya intelijen, punya satuan tugas, punya segala galanya. Kalau saya, ya berdua saja (Susno menunjuk pengacaranya, Husni Maderi—Red.).
Anda sakit hati karena dicopot dari posisi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri?
Siapa yang kecewa? Saya tidak kecewa. Kalau mau dicopot, ya silakan. Sejak diberhentikan, saya diam. Saya baru marah ketika ada perwira Mabes Polri yang mengancam akan memecat saya setelah bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk perkara Antasari Azhar.
Anda mengincar posisi Kepala Polri?
Jangan salah persepsi: saya tidak ingin jabatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo