Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=2 color=#FF3300>HERRY ZUDIANTO</font>, <font size=2 color=#7E7E7E>WALI KOTA YOGYAKARTA</font><br />Menata dari yang Sederhana

Dia menjalankan pemerintahan dengan transparan, partisipatif, egaliter, dan akuntabel. Yogyakarta tumbuh kian urban.

22 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEINGINAN Herry Zudianto setelah terpilih menjadi Wali Kota Yogyakarta pada 2001 sederhana saja: jalanan terang pada malam hari. Sebagai akuntan dan pengusaha—ia pemilik Wisma Batik Margaria—Herry masygul melihat tagihan setrum Rp 5 miliar tiap tahun tapi kota gelap selepas magrib.

Ternyata itu karena pembayaran listrik dipukul rata. Herry lalu memasang meteran di tiap tiang, sehingga setrum dibayar menurut pemakaian, tagihan pun bisa dipangkas hingga separuhnya. Herry memakai sisa duit untuk membeli lampu dan membuat tiang baru. Kini muncul anekdot: batas kota Yogya adalah lampu terakhir di pinggir jalan.

Yogya pun terang, ramai, hidup hingga ke kampung-kampung—tak hanya di Malioboro. Ekonomi menggeliat. Apalagi setelah Herry mendirikan Dinas Perizinan dengan sistem online yang canggih. Ini satu-satunya dinas perizinan di Indonesia. Nilai investasi naik tiap tahun. Tapi kota kampus ini jadi sesak oleh mobil dan sepeda motor. Polusi dan pendatang tak terbendung. Pada siang hari yang berkelimun di Yogya 1,2 juta orang—dua kali jumlah di malam hari.

Herry, 53 tahun, lalu membuat program Sego Segawe atau naik sepeda ke sekolah dan tempat kerja, plus mewajibkan kantor-kantor menyediakan 10 persen lahan untuk taman dan pohon. Ia agresif membeli tanah untuk dijadikan taman dan ruang publik. Pada 2009, ia membuat jalur khusus sepeda yang melintasi kampung-kampung.

Ia sendiri memberi contoh. Pukul 05.30, tanpa ajudan dan pengawal, ia meluncur dengan sepeda berkeliling kampung, baru kemudian ke kantor. Mobil Suzuki APV pelat merah hanya dipakai saat acara tertentu saja. Mercedes E320 dan Toyota Alphard, tunggangannya sebelum jadi wali kota, sudah lama ngejogrog di garasi rumahnya yang megah di Umbulharjo. Sejak menjadi wali kota, Herry menanggalkan hobi main golf dan menonton balapan Grand Prix. ”Mengejar materi sudah selesai,” kata kader Partai Amanat Nasional ini. ”Sekarang tinggal kepuasan batin.”

Herry seorang yang yakin demokrasi bisa menyelesaikan banyak soal. ”Keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas adalah kuncinya,” tulisnya dalam buku Kekuasaan Sebagai Wakaf Politik (2008). Seperti perusahaan publik, ia mengumumkan laporan keuangan di koran plus hasil audit tahun sebelumnya. Masyarakat, dengan begitu, bisa mengontrol anggaran dan mengetahui ke mana saja duit itu dibelanjakan.

Semua saluran komunikasi juga dibuka. Telepon seluler Herry tak henti bergetar menerima keluhan warga, surat elektronik kantornya kebanjiran 200 surat tiap hari, blog pribadinya dipenuhi puluhan pesan. Dari sana Herry tahu apa masalah paling krusial dan dari mana memulai solusinya. ”Ia wali kota paling responsif,” kata Idham Ibty, Manajer Regional Kemitraan Yogyakarta. Pendidikan, kesehatan, dan permukiman adalah problem utama kota urban ini.

Di pinggir Kali Code kini berdiri lima unit rumah susun empat lantai yang rapi dan resik. Sejak 2006, anggaran pendidikan sudah di atas 20 persen. Herry mengimbanginya dengan kebijakan yang melarang pungutan dan uang gedung dibicarakan sebelum ujian masuk. Cara ini ampuh mencegah sogok orang tua siswa, dan sekolah favorit tak hanya diisi anak orang kaya.

Juga kesehatan. Ada Rumah Gizi di tiap kelurahan dengan jasa konsultasi ibu hamil gratis. Sebanyak 10 persen anggaran disediakan untuk jaminan kesehatan, subsidi obat, santunan kematian, ambulans gratis. Kas Yogya mengucurkan Rp 5 juta per kecamatan guna menangani anak telantar.

Untuk urusan publik begitu banyak ini, apa boleh buat, anggaran Yogya defisit Rp 71 miliar. Apalagi belanja pegawai menghabiskan separuh pendapatan yang baru Rp 679 miliar. ”Birokrasi ini masalah paling berat,” kata Bambang Purwoko, dosen Ilmu Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada. Herry harus menghela birokrasi yang gemuk itu untuk mengikuti ritme kerjanya yang tangkas. Ia masygul melihat anak buahnya memperlakukan jabatan sebagai simbol status.

Herry mengubahnya. Ia menanamkan sikap egaliter. Semua keputusan digodok bersama: anak buah diwajibkan menyampaikan ide, saran, dan pendapat. Herry tak sungkan berbagi rokok dengan stafnya. ”Di bawah dia, kami enjoy bekerja,” kata Emiliani Yulianti, pegawai Badan Informasi Daerah. Tapi ada juga yang bilang Herry terlalu serius jadi wali kota.

Meski defisit, Herry selalu ingin membuat terobosan dengan tetap mempertahankan Yogya sebagai kota pendidikan, wisata, dan budaya. Ia pun membuat Taman Pintar di tenggara Malioboro atau depan gedung Bank Indonesia. Wahana permainan anak-anak ini dibuat modern untuk mengenalkan ilmu dan teknologi dan digratiskan untuk anak-anak miskin. Pekan lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikannya.

Lokasinya di bekas Shopping Center Sasana Triguna, pasar buku bekas dan tempat mangkal pedagang sayuran yang semrawut. Dua wali kota sebelumnya tak sanggup memindahkan 300 pedagang dari sana. Dengan dialog yang panjang dan alot, Herry bisa menggeser mereka ke gedung tiga lantai di sebelahnya. Rapi, bersih, nyaman.

Dengan semua pencapaian itu, selama tujuh tahun memimpin Yogyakarta, Herry menggondol tak kurang dari 30 penghargaan untuk banyak bidang: dari sanitasi sampai transparansi, dari edukasi sampai investasi. Karena itu, ketika pemilihan langsung wali kota pada 2006, Herry kembali terpilih. ”Saya pilih dia karena kerjanya jelas: bikin Yogya ramai,” kata Supriyanto, 52 tahun, pedagang angkringan di Jalan Solo.

  • Luas: 32,5 kilometer persegi
  • Penduduk: 526.971 jiwa (2007)
  • Keluarga Miskin: 26.685 keluarga (89.818 jiwa) dari total 107.686 keluarga (2007)
  • Desa: 45
  • Potensi Ekonomi: Pariwisata

    Belanja Daerah Vs Pendapatan (Miliar Rupiah)
    200620072008
    Pendapatan Asli Daerah96,4114,1119,3
    Anggaran Belanja496,8569,1750,9

    Pertumbuhan Ekonomi

  • 2005: 4,87%
  • 2006: 4,13%
  • 2007: 5,12%

    HERRY ZUDIANTO
    Tempat dan tanggal lahir: Yogyakarta, 31 Maret 1955 | Pendidikan: - Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada (1974, tak selesai) - Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1981) - Magister Manajemen Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1997) | Karier: Auditor Internal PT Kusumohadi (Batik Danar Hadi), Solo (1980-1981) - pendiri Wisma Batik Margaria, Yogyakarta (1981) - Wali Kota Yogyakarta dua periode (2001-2011) | Penghargaan: 30 penghargaan di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, e-government, otonomi, transparansi, dan pemerintahan bersih.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus