Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malaikat penolong itu bisa ditemui kapan saja di Mojoagung, sebuah kota kecamatan di belahan timur Kabupaten Jombang. Di sanalah Maksum, petani dari Desa Mojotrisno, empat kilometer dari Mojoagung, bertemu penolongnya pada suatu pagi, dua pekan lalu. Mereka berbaju serba putih, namun—berbeda dari gambaran klasik malaikat penolong di kartu-kartu Hallmark—tanpa sayap. Dengan sigap dan santun, mereka bergegas menolong orang sakit, termasuk warga desa yang datang dengan gugup dan cemas karena dompet hampa.
Ya, malaikat penolong yang dimaksud Maksum adalah paramedis dan dokter di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) Mojoagung. Ini satu dari 21 kecamatan di seluruh Jombang, Jawa Timur. Maksum datang ke puskesmas itu setiap dia atau keluarganya sakit. Puskesmas memberinya pelayanan medis cuma-cuma.
Kamis dua pekan lalu, Maksum kembali datang bersama mertuanya yang akan menjalani operasi katarak. Hatinya berdebar membayangkan ongkosnya. Baru kali itu dia berurusan dengan penyakit mata ini. ”Mbayar mboten nggih?” (bayar tidak ya?),” ujarnya kepada Tempo. Mereka berangkat pukul 07.00 dari desa, ”Agar dapat nomor urut depan,” kata Maksum.
Ternyata operasi katarak rutin di puskesmas Mojoagung itu juga gratis, seperti penyakit lain. Pasien hanya perlu menyodorkan kartu jaminan kesehatan masyarakat. ”Atau surat keterangan miskin,” kata Sriwulani Sumargo, dokter spesialis radiologi di puskesmas Mojoagung. Maksum tersenyum. Hatinya lega bukan main.
Puskesmas Mojoagung lebih mirip rumah sakit kecil ketimbang pusat kesehatan di pedesaan atau kota kecamatan. Ada unit gawat darurat, klinik kebidanan, klinik gigi, laboratorium, alat USG dan rontgen, serta ruang rawat inap. ”Dalam kondisi darurat, kami mampu melakukan bedah kandungan,” ujar Sriwulani.
Bahkan klinik akupunktur—sesuatu yang langka untuk level puskesmas—pun tersedia. Pelayanan klinik ini rupa-rupa. Dari pengobatan hingga urusan kecantikan. ”Lumayan laris, bisa 150-an pengunjung sebulan,” kata Sriwulani.
Survei kepuasan pasien oleh Dinas Kesehatan Jombang tahun lalu memberikan skor 80,28 untuk puskesmas Mojoagung, dari skor tertinggi 100. Puskesmas Plumbon juga mendapat skor di atas 80. Artinya, banyak pasien pus dengan pelayanan mereka.
Awal 2005, pemerintah daerah itu meluncurkan program ”Puskesmas Idaman-Idolaku” dan ”Rumah Sakit Cintaku”. Penggagasnya Suyanto, Bupati Jombang. Tujuannya, menggenjot kualitas puskesmas dan rumah sakit yang kondisinya serba butut dan ”payah dalam layanan”. Puskesmas Mojoagung termasuk program percontohan pertama.
Suyanto memulainya dengan merayu sejumlah dokter spesialis agar mau bekerja di rumah sakit daerah dan puskesmas. Di Mojoagung dan Cukir, bupati itu menyediakan sarana canggih seperti peralatan roentgen. ”Saya sempat diprotes dinas kesehatan provinsi, masak naruh dokter spesialis di puskesmas,” kata Suyanto. Penampilan rumah sakit daerah juga dia permak habis-habisan. Ruang perawatan VIP (very important person) dibangun.
Beres di urusan fasilitas dan dokter, Suyanto ”mengutak-atik” tarif berobat. Ia ingin biaya dibuat seringan mungkin, kalau perlu gratis. Untuk kepastian tarif, ia menerbitkan peraturan daerah tentang tarif Puskesmas dan mengharuskan daftarnya dipajang di loket pendaftaran. Alhasil, ongkos berobat terjun bebas. Biaya cek darah, urine, atau tinja Rp 2.000. Operasi kecil Rp 20.000. Rawat inap komplet dengan tiga kali makan sehari? Jangan kaget, juga Rp 20.000.
Suyanto menjadikan puskesmas ujung tombak pelayanan kesehatan. Hasilnya? Pasien rawat inap di puskesmas terus bertambah. Pada 2005, jumlah pasien rawat inap 14.669 orang, pada 2007 menjadi 24.535. Kini Jombang punya 13 puskesmas rawat inap. Puskesmas Mojoagung dan Cukir bahkan sudah mengantongi sertifikasi ISO 9001:2000.
Bukan berarti tak ada kritik. Syaiful, warga Diwek, mengeluhkan seringnya dokter puskesmas tak ada lantaran sibuk rapat. ”Saya datang siang sedikit saja, mereka sudah pergi,” ujar Syaiful. Suyanto tak menampik. ”Saya memang masih butuh banyak dokter,” ujarnya.
Mulai memimpin Jombang sejak 2003, Suyanto terpilih lagi untuk masa jabatan kedua pada Juli lalu. Kabupaten Jombang adalah wilayah yang sarat kaum santri. Ada empat pesantren besar: Tebuireng, Denanyar, Rejoso, dan Tambakberas. Sejumlah tarekat, antara lain Wahidiyah, juga berpusat di sana. Untuk memikat hati rakyatnya, Suyanto bersikap ”tahu diri” dan terbuka. ”Kalau memang tidak mampu, bilang terus terang. Para kiai itu sangat fair, kalau bagus pasti ditepuki, kalau jelek ya diomeli,” katanya.
Bupati yang ramah dan mudah tertawa berderai itu juga gampang ditemui. Di rumah dinasnya, dia biasa menerima tamu hingga sebelum subuh. ”Saya tidur cukup satu-dua jam sehari,” katanya. Jika tak ada di rumah, silakan mencari Suyanto di warung nasi kikil ”Abang Mojosongo”, yang buka selepas tengah malam. Di warung itu—dua kilometer dari rumahnya—Suyanto biasa membahas kebijakan dengan anak buahnya.
Suyanto juga banyak mengutamakan dialog. Misalnya dalam menertibkan pedagang kaki lima di alun-alun. Pemerintah Jombang bersepakat dengan paguyuban pedagang. Mereka boleh berjualan sampai pukul 23.00. Lewat jam itu, tak boleh satu gerobak pun—berikut sampah-sampahnya—ada di sana. Sejak itu, alun-alun bersih dan rapi.
Belanja Daerah Vs Pendapatan (Miliar Rupiah) | |||
---|---|---|---|
2005 | 2006 | 2007 | |
Pendapatan Asli Daerah | 66 | 79 | 88 |
Anggaran Belanja | 429 | 496 | 757 |
Pertumbuhan Ekonomi
SUYANTO
Tempat dan tanggal lahir: Jombang, 5 Januari 1965 | Pendidikan: - IKIP Surabaya (S-1, 1985) - Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (S-2, 2007) | Karier: - Guru (1986-1994) - Wiraswasta (1994-2000) - Wakil Bupati Jombang (2000-2003) - Bupati Jombang dua periode (2003-2013) | Penghargaan: - 22 buah, termasuk Adipura, Otonomi Award, PU Award, Departemen Pertanian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo