Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalau Anda merasa terganggu, mungkin bingung, melihat tumpukan kursi berbagai jenis dan kap lampu yang menjalar sampai ke lantai atas di ruang tunggu Grand Kemang Hotel, Jakarta, boleh jadi penciptanya, Uy Dharma Prayoga, senang. Ia berhasil mengusik Anda. Tapi betapapun bingung Anda, tentunya tak sampai memerlukan dokter jiwa, biarpun judul karya ini Psycho-Chairs, mengingatkan kita pada psycho-analysis, metode analisis kejiwaan yang dikembangkan oleh Sigmund Freud.
Itu hanya salah satu dari puluhan karya seni rupa 24 pencipta dengan beragam latar belakang: desain interior, seni lukis, seni patung fotografi, seni kriya. Puluhan karya tersebut seperti hendak membuktikan bahwa karya seni rupa bisa apa saja, dan ”seni” (keindahan, atau sesuatu yang memukau dan tak hanya menarik tapi juga menimbulkan empati) bisa ada pada apa pun. Postulat bahwa sesuatu menjadi karya seni rupa ketika sesuatu itu ditanggalkan fungsinya, di pameran ini dijungkirbalikkan. Di ruang restoran hotel ini, tujuh lampu di tujuh meja terasa membantu penerangan ruang ini. Tujuh lampu dan di tujuh meja itu tak seperti lazimnya—ketujuhnya mencang-mencong ”tanpa fungsi”. Segera kita menyadari bahwa lampu itu bagian dari pameran yang disebut ArTention Hot/el yang akan berlangsung hingga 15 Januari tahun depan. Lampu itu tetap berfungsi dan sekaligus menjadi ”karya seni”: inilah Dancing Table karya Indra Hardiansyah.
Jadilah kegiatan ini menjadi pameran yang menyajikan banyak segi. Misalnya, karya-karya yang dipamerkan bukan hanya dicarikan tempat yang cocok, melainkan memang karya yang merespons ruang tempat karya dipajang atau merespons hotel sebagai konsep. Maka Bubble Talk karya Anabelle Clarissa adalah seperangkat kursi dan meja dan dibayangkan di situlah tamu hotel ngrumpi apa saja yang tak penting tapi perlu. Di tembok yang sepenuhnya hitam di belakang seperangkat kursi dan meja itu Anabelle mencantumkan kata-kata dalam balon seperti pada cerita komik. Kata-kata itu kira-kira mencerminkan omong kosong di hotel: ”Uppps… they did it again”, ”... kiss me...”, ”... love me...” misalnya.
Atau, di sudut meja depan (front desk), tempat para tamu memesan kamar, dan biasanya koper ditaruh di lantai, di tempat itu ada juga sebiji koper. Kalau kemudian ada tamu yang kaget karena tiba-tiba koper itu bergetar, seperti mencoba berjalan, inilah salah satu karya Hardiman ”Koper” Radjab—perupa spesialis koper. Ia juga memarkir sebuah VW kuno di samping pintu masuk, dan belum sempat menurunkan dua koper di atap mobil. VW ini juga akan bergetar pada saat-saat tertentu, dua koper pun bergoyang-goyang. Lebih dari 10 koper dipajang di pameran ini, di antaranya yang memang disengaja menggambarkan hotel: koper berlubang-lubang persegi seolah hotel dilihat dari jauh, koper berisi dua makhluk sedang bercinta, koper berisi perempuan berderet memajang diri, dan lain-lain.
Lalu ikon-ikon informasi yang dipelesetkan oleh Harry Purwanto, batu-batu resin yang digantungkan di depan hotel oleh Yani Mariani, anyaman bambu tiga dimensi berbentuk telur di atas hotel oleh Hadisis, lukisan batik cetak digital bermotif figur karya Ayang Kalake, patung-patung Awan Simatupang, patung yang dimutilasi oleh Tegoh Ostenrik, instalasi ruang spiritual berbau Buddhisme karya Krishna, instalasi Kama(r) Sutra Permanasari Herawaningsih, kupu-kupu Neneng Ferrier, mural perselingkuhan Gatotkaca dengan Wonder Woman karya Itjuk Rahayu, kolase Diana Nazir menyajikan pelayan hotel membawa pesanan makanan dan di nampi itu ada patung perempuan dan laki-laki telanjang selain seekor ayam (pada hari-hari pertama kolase tangan dan nampan belum dipasang). Juga instalasi sudut imigrasi di bandara oleh Iswanto Hartono, instalasi kursi Arian Kuntari, juga instalasi Save the Earth karya Keni Aryani (dan Khrisna), dan sejumlah lukisan karya Chandra Johan, Yoes Rizal, Hanafi, Tatang Ramadhan Bouqie, Tiarma Sirait, Irawan Karseno.
Tampaknya, sebagaimana ditulis oleh dua ”kurator” (Seno Joko Suyono dan Chandra Johan) dalam buku program, pameran ini hasil sebuah dialog di antara para peserta: niat menyuguhkan karya yang meruntuhkan batas karya desain interior dan karya seni rupa (lukisan, patung, instalasi, foto, dan sebagainya) dengan fokus merespons ruang dan konsep hotel. Wujud pameran ArTention ini segera mengingatkan kita pada pameran 17 tahun yang lalu di Jakarta Design Centre. Jim Supangkat sebagai kurator ketika itu menyuguhkan berbagai karya seni rupa yang diniatkan untuk menunjukkan bahwa seni rupa sebenarnya satu, membedakan yang lazim dinamakan ”seni murni” dengan ”seni pakai” hanyalah sia-sia dan mempersempit dunia penciptaan yang bebas. Inilah pameran dari lukisan sampai mebel, dari fotografi sampai patung, dari kriya sampai karya instalasi. Judul pameran Jakarta Art & Design Expo 1992 (Jadex ’92).
Yang membedakan Jadex ’92 dengan ArTention, yang tersebut terakhir itu tidak memberikan penekanan pada karya, melainkan pada suasana atau mood yang terbangun dari interaksi atau ”dialog” antara karya dan ruang. Ruang karya dipajang tak lagi difungsikan hanya sebagai tempat. Ruang itu, seperti sudah disebutkan, bukan hanya menunjuk pada ruang nyata, melainkan juga konsep (hotel) keseluruhan. Maka, langsung atau tak langsung, pameran ini menggarisbawahi kenisbian dan kesementaraan karya dalam makna yang luas. Bukan saja tiap orang mempunyai persepsi dan pendapat berbeda-beda, juga sebuah karya menjadi beda karena lingkungan. Patung Teguh Ostenrik jelas akan beda bila ditenggelamkan di kolam renang (ini urung karena pihak hotel keberatan) dan bila kemudian patung itu dimutilasi dan ”disebarkan” di pinggir kolam. Dan tidakkah pada akhirnya semua ini tak luput dari semesta akan juga hilang pada akhirnya?
Menurut saya, pameran ini tak mungkin diulang tanpa menjadi mapan bahkan klise. Kesegaran yang diterbitkan dari hotel ini tak lagi segar pada pameran keduanya seandainya ada, karena kejutan tak bisa diulang dengan cara yang sama. Misalkan bakal ada ArTention seri dua, dibutuhkan gagasan baru yang tidak cukup hanya merespons ruang tempat pameran, melainkan mesti lebih luas, entah apa.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo