Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mati dan Hidup pada Citra Bantal

Pematung Awan P. Simatupang berpameran tunggal untuk ketiga kalinya. Gagasannya segar dan orisinal, bertolak dari citra bantal. Mengabadikan pertanyaan tentang hidup dan mati.

21 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di balai pajang MD Art Space, Wisma Mulia, sebuah gedung megah di kawasan Kuningan, Jakarta, sesuatu yang kontras dihadirkan di hadapan kita. Hampir seluruh kenangan pahit, kecemasan, dan mungkin sia-sianya hidup—dalam arti yang berawal akan berakhir dan yang tumbuh dengan sendirinya akan luruh—dibangkit-bangkitkan dari situ lewat seni patung. Bantal-bantal itu dihadirkan selaku tamsil sebuah jeda, serupa inte­rupsi pada kita yang tak pernah berhenti bergerak dan berbuat.

Pameran sejak 8 hingga 18 Desember 2009 ini terasa menyimpan cerita tak sedap didengar, karena berujung pada sesuatu antonyms dari hidup yang hampir roboh tapi masih terus dipertahankan untuk tegak kembali. Seperti cerita horor yang membangkitkan rasa takut, kita selalu dihadapkan pada sikap mendua, menolak dan menerimanya. Menolak, karena ia mengusik rasa aman dalam diri kita. Dan menerima, karena realitas itu nyata adanya dalam hidup. Bukankah mati adalah horor terbesar yang membayang-bayangi mereka yang hidup. Ia akan terus mengganggu dan baru puas apabila kita telah tiba pada sebuah ruang tanpa cahaya di dalamnya.

Memikirkan mati barangkali diam-diam telah dimulai ketika pertama kali manusia sadar bahwa dirinya hidup. Para filsuf dan ilmuwan telah menyelidikinya berdasarkan data obyektif. Pembicaraan hidup dan mati di masa kini telah menjadi umum, seperti pembicaraan banyak hal lainnya. Tapi pengalaman Awan P. Simatupang, yang diungkapkan lewat kar­ya-karyanya, menjadi istimewa dan me­nge­jutkan. Ia mendekati bayang-ba­yang hidup dan mati dari jurusan personal, tatkala melihat sosok ibunya terbaring sakit tak berdaya sekitar sembilan tahun, kemudian meninggal. Pengalaman personal ini bergerak lamat-lamat memasuki ruang estetis, terutama ketika matanya tertumbuk pada sebuah bantal yang meninggalkan jejak, seperti mengatakan banyak hal tanpa suara. Dari pemicu ini, Awan mulai menggarap patung-patungnya yang semua terbuat dari lembaran stainless steel, sejenis baja berkualitas tinggi, serentang tahun 2009.

Pemilihan bahan baja, agaknya, bukan sekadar untuk menimbulkan efek dramatis, melainkan karena Awan dengan karya-karya lain sebelum ini memang akrab dengan bahan itu. Ia selalu menghindari kecenderungan artifisial dalam penggunaan bahan, semisal memakai serat gelas yang dilapisi logam. Di balik gagasan rupa, ia ingin memberi ruang pada bahan untuk menyatakan diri semaksimal yang dapat dikatakannya. Berangkat dari situ pula kita melihat bagaimana citra bantal dengan bahan logam itu tampil mengejutkan. Sesuatu yang kontras kita dapatkan dari pemandangan itu.

Lihat, misalnya, patung tunggal Pratama, berukuran 42 x 30 x 11 sentimeter. Sesuatu yang minimalis dan penuh intensitas kita rasakan di situ. Awan memaksimalkan jelajah pada sifat bahan. Ia menggosok permukaan stainless steel sehingga mendapat efek kilap pada satu bagian patung bantal yang berbentuk cekung. Lalu ia mengontraskannya dengan buram pada bentuk lain yang cembung. Efek kilap memungkinkan pengunjung becermin, melihat diri sendiri melalui patung itu dan seperti ditarik masuk ke dalam pusaran cekungan. Sayang, rumbai-rumbai dekoratif di sekelilingnya—menggambarkan bantal itu bersarung—terasa berlebihan. Ia agak mengganggu gagasan rupa yang telah dibangun dengan cukup baik.

Contoh lain yang menarik adalah patung tunggal Night Watch, berukuran 60 x 42 x 10 sentimeter, menggambarkan sebuah bantal yang di permukaannya samar-samar tampak citra wajah. Di situ bantal mulai memasuki olah rupa yang berselit-belit. Bantal dikesankan bukan lagi obyek pasif, melainkan aktif dan hidup. Hal yang kurang-lebih sama muncul pula pada patung tunggal Tangisan, berukuran 60 x 42 x 12 sentimeter. Patung ini menggambarkan sebuah bantal yang sekelilingnya dipenuhi citra bunga dan ­citra wajah tengah meneteskan air mata, menandai sebuah perpisahan dari satu kehidupan.

Kecenderungan menangkap inti sari subject matter dan memainkan karakter bahan seperti di atas tampak dikembangkan pula pada instalasi video The Other Life, berukuran 200 x 80 x 75 sentimeter. Sebuah peti (mati) ditutup kain putih disorong ke balai pajang dan lamat-lamat dari dalamnya, lewat rekayasa perangkat lunak, muncul citra bantal yang berganti-ganti rupa detik demi detik. Karya yang memikul beban pesan yang berat ini tampak sederhana. Namun di situlah justru inti sarinya.

Sebaliknya pada instalasi patung 7 Night, berukuran 70 x 200 x 50 sentimeter, yang menggambarkan tujuh buah bantal tergantung dengan ketinggian dan rupa yang berbeda. Selaku karya, patung ini agak terasa ringan. Ia hanya berhenti sebagai sebuah komposisi dan irama. Hal serupa tampak pada instalasi patung Nyaman, berukuran 69 x 60 x 114 sentimeter, yang menggambarkan sebuah sofa dengan empat buah bantal dalam posisi berjajar di atasnya. Pemandangan ini tak ubahnya sebuah sudut interior rumah.

Selebihnya Awan tampak kerepotan memindai gagasan-gagasannya ke dalam media trimatra. Karya-karya yang semula terkesan tenang dan padat renungan mulai bergeser pada kecenderungan simbolistis, verbal, dan terasa ramai. Lihat, misalnya, patung tunggal The Secret, berukuran 60 x 41 x 16 sentimeter, yang menggambarkan sebuah bantal dengan tera citra reranting kering dan jeruji yang terkunci oleh gembok. Lihat juga Killing the Dream, berukuran 60 x 42 x 35 sentimeter, berupa sebuah bantal dengan sebilah belati menancap di atasnya. Atau pada Bling-bling, berukuran 61 x 51 x 14 sentimeter, sebuah bantal yang di bawahnya terselip sepucuk pistol. Dan Primavera, berukuran 62 x 42 x 20 sentimeter, sebuah bantal dengan kuntum tulip di atasnya.

Menyederhanakan sesuatu yang dalam, terutama karena terbebani keinginan bercerita yang terlalu banyak, memang persoalan besar karya-karya seni rupa masa kini. Barangkali perlu negosiasi lebih mendalam antara sang perupa dan dirinya sendiri. Sebab, tak mudah baginya berhenti ketika dorongan mengubah terus meluap-luap dalam dirinya. Dan 14 patung yang terpajang dalam pameran ini, yang dibuat tak genap setahun, memang mengesankan sebuah tenaga yang meluap-luap.

Asikin Hasan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus