KEMARAU panjang 1963, ketika jutaan petani di Jawa gagal panen padi, Presiden Sukarno menerima surat dari seorang pensiunan. Kepada "Paduka Yang Mulia", pensiunan ini—ia bekas pejabat tinggi negara—mengeluhkan beban hidup rakyat yang makin berat, jurang kaya-miskin yang belum pernah terjadi, dan munculnya elite kapitalis baru yang tak tahu diri. Sebagai penutup, pengirim layang itu juga membeberkan hidupnya yang kapiran: tiga perempat uang pensiunnya habis untuk membayar tagihan listrik.
Paceklik sedang mencekik seluruh negeri. Kesulitan hidup sudah menjadi penganan sehari-hari. Di tengah kegetiran seperti itu, mestinya tak ada yang istimewa dari keluhan tersebut, kecuali satu hal: surat itu datang dari sebuah rumah di Jalan Diponegoro, kawasan paling mentereng di Jakarta, dari seorang bernama Mohammad Hatta, pen-siunan wakil presiden dan Perdana Menteri Republik Indonesia.
Tak lama setelah mundur dari pemerintahan, 1957, Hatta mulai merasakan sulitnya hidup orang biasa. Ia bukan cuma keteter membayar tagihan listrik, gas, dan air minum, juga tak mampu melunasi pajak mobil yang dibelinya dengan subsidi pemerintah. Hatta bahkan tak sanggup mengangsur tagihan jaminan telepon untuk vilanya di Megamendung karena jumlahnya berkali lipat dari uang pensiunnya. "Terserahlah kalau (telepon) mau dicabut," kata Hatta melalui surat kepada Dirjen Pos, Telegraf, dan Telepon.
Sebagai pensiunan, Hatta menerima "sumbangan lauk-pauk" Rp 1.000 sebulan. "Apakah ini bukan suatu penghinaan kepada RI?" katanya kepada Menteri Urusan Anggaran Negara, "Makanan kucing saya saja tidak akan kurang dari sebegitu sebulan."
Bagi Hatta, tak ada perkara lain yang menjadi biang kesulitan hidup kecuali kegagalan pemerintahan Sukarno menjalankan paham sosialisme. "Kita selalu berkaok-kaok tentang sosialisme," katanya kepada seorang menteri di awal tahun 1960-an, "tapi tindakan pemerintah kebalikan dari itu." Harga bensin, misalnya, dinaikkan sekaligus 62 kali lipat, tarif gas dan listrik melambung 20 kali, serta harga beras melompat-lompat tak terbeli. Bagi Hatta, cita-cita sosialisme bisa dirumuskan dengan sederhana: bagaimana memurahkan ongkos hidup rakyat.
Sebagai cita-cita, sosialisme seperti yang diimpikan Hatta agaknya tak bakal mati. Hari-hari ini, ketika beban rakyat jelata kembali meruncing hingga ke batas leher, harapan untuk hidup bersama yang "adil dan makmur" bertiup kembali seperti bisikan yang sayup-sayup. Celakanya, liberalisasi pasar sudah telanjur merangsek ke seluruh sendi perekonomian. Selain itu, godaan untuk mengutamakan kepentingan golongan telah menyurutkan semangat kebersamaan. Akibatnya, cita-cita "memurahkan ongkos hidup" kehilangan daya ikhtiarnya. Mimpi sosialisme Hatta akhirnya tergelincir menjadi jargon yang kosong.
Di zaman ketika modal menaklukkan penghargaan terhadap kekayaan alam dan manusia, apakah cita-cita sosialisme masih punya daya juang?
Pemikiran sosialis sebenarnya merupakan gugatan terhadap perekonomian liberal yang dianggap sebagai wajah kapitalisme. Dengan semangat kapitalis, upah atas modal jauh melampaui upah atas tanah dan tenaga. Akibatnya, terjadi pengisapan kekayaan sumber alam dan ketimpangan kemakmuran. Dalam struktur seperti itu, kata Hatta, "Tak mungkin seseorang dengan tenaganya sendiri bisa maju ke atas."
Ketidakadilan ini, menurut Hatta, bisa dibendung dengan tiga jurus: penguasaan aset oleh negara, kontrol terhadap usaha swasta, dan tumbuhnya perekonomian rakyat yang mandiri. Yang terakhir ini digalang melalui kooperasi (yang kelak populer sebagai koperasi). Ia yakin, koperasi akan menjadi motor perekonomian yang membebaskan ketergantungan pada kapital. Koperasi adalah persekutuan orang, bukan kumpulan setoran modal seperti perusahaan. Keputusan bisnis, bahkan pembagian keuntungan, dihitung berdasarkan suara anggota, bukan dari besar-kecilnya saham.
Sementara itu, penguasaan negara atas aset nasional bukan hanya berarti monopoli pemerintah atas produksi listrik, telepon, air minum, dan kereta api, tapi juga kekuasaan atas industri pokok seperti pertambangan, kehutanan, bahkan juga perbankan. Pendeknya, tak ada cabang produksi "yang menguasai hajat hidup orang banyak" yang terlepas dari genggaman negara.
Untuk memberi modal hajat raksasa ini, negara bisa memanfaatkan pinjaman luar negeri dan tenaga ahli asing. Syaratnya, utang itu harus bisa diangsur dari kelebihan produksi sehingga tak mengurangi pendapatan negara dari pajak. Selain itu, secara bertahap harus ada pengalihan keterampilan pengelolaan perusahaan dari ahli asing ke-pada tenaga lokal.
Swasta tetap diberi ruang, kata Hatta seperti dikutip Deliar Noer dalam buku Biografi Mohammad Hatta, "tapi tidak mendapat tempat sentral yang menentukan." Inisiatif partikelir hanya diperbolehkan bermain di wilayah yang tidak dikuasai pemerintah atau dikelola koperasi—itu pun dengan kontrol yang ketat. Agar bisa diawasi, kredit untuk usaha swasta harus diberikan oleh (bank) pemerintah. Tapi, "Jika usaha itu sebagian besar diongkosi pemerintah," demikian menurut Hatta, "lebih baik dibangun sebagai usaha pemerintah saja."
Pilihan Hatta atas ketiga resep itu bukan tanpa alasan. Republik masih muda, tingkat pembangunannya masih sangat terbatas, publik belum memiliki tabungan (national savings) yang memadai. Terlebih lagi, tenaga terdidik (sebagai profesional ataupun pengusaha) belum tersedia. Inisiatif swasta, kalau pun ada, pasti akan terbentur pada keterbatasan modal, akses terhadap pasar, tenaga ahli, dan keterampilan wirausaha. Kemampuan Bank Industri Negara sebagai sumber pembiayaan pun tak sebanding dengan permintaan kredit. Karena itu, tak ada pilihan lain, pemerintah harus mengambil peran sebagai lokomotif perekonomian.
Dengan modal kekayaan alam yang melimpah, jumlah penduduk (sebagai sumber tenaga ataupun potensi pasar) yang besar, dan kultur tolong-menolong yang telah berakar, Hatta yakin bahwa paham sosialisme akan menjadi resep yang tepat dan manjur. Dengan ketiga strategi itu, pemerintah merangsang produksi barang-barang kebutuhan pokok rakyat (makanan, pakaian, perumahan, kesehatan), yang akhirnya mendongkrak daya beli. Jika daya beli rakyat sudah berkembang, akan muncul akumulasi kapital nasional melalui tabungan.
Tiga jurus "Hattanomics" inilah yang menjiwai landasan perekonomian negara seperti dimuat dalam UUD 1945. Resep ini pula yang dijadikan patokan The Brain Trust (Panitia Pemikir Siasat Ekonomi) dalam menyusun politik perekonomian. Bisa dikatakan, Hattanomics diterapkan selama 10 tahun pertama pemerintahan Sukarno, meskipun tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Sejarah mencatat, perekonomian di era Sukarno amburadul. Hattanomics, yang alergi terhadap kapital swasta, benar-benar menuai hasilnya: Indonesia dijauhi kaum pemodal. Selama dasawarsa pertama Republik berdiri, hampir tak ada investasi baru yang berarti. Pabrik-pabrik tidak muncul. Kalaupun ada yang harus dicatat (dan Hatta mencatatnya berkali-kali sebagai contoh sukses), itu adalah pendirian Pabrik Semen Gresik, yang diberi dana dan dikelola (selama dua tahun pertama) oleh ahli-ahli Amerika Serikat.
Tapi Semen Gresik "saja" tidak mampu mengimbangi ledakan uang gara-gara politik bujet yang over-ekspansif. Pencetakan uang dilipatkan, tapi produksi barang terbatas. Akibatnya, banjir uang mengerek harga barang melambung tak terkendali. Momok inflasi bergentayangan sepanjang pemerintahan Sukarno, merampok habis daya beli rakyat. Dua kali upaya pemerintah mengerem inflasi dengan menggunting jumlah uang beredar (sekali di antaranya digelar di zaman Hatta) bukannya memperbaiki kedaan, malah makin menyengsarakan rakyat kebanyakan.
Situasi makin sulit karena keguncangan politik tak kunjung reda. Pemerintah sibuk menjaga kesatuan Republik dan memadamkan pemberiontakan daerah. Pos belanja tersedot biaya operasional tanpa tersedia cukup sisa untuk membangun prasarana produksi. Gagasan pembangunan pembangkit listrik Asahan dan pelabuhan ekspor Dumai, misalnya, terbengkalai. Padahal, pabrik-pabrik mustahil bisa bangun jika setrum yang menjalankannya tak tersedia.
Perihal koperasi, pertumbuhannya memang mencengangkan, setidaknya dalam hal jumlah. Tapi kontribusinya kepada akumulasi modal nasional belum berarti. Titik lemah koperasi justru berpusat pada kelebihannya: pengingkarannya kepada ketamakan kapital. Koperasi gagal menarik para pemodal besar. Dan kalau mereka harus tumbuh dari pinjaman bank, misalnya, koperasi akan terganjal persyaratan kolateral (jaminan kredit).
Selain itu, menurut pengamat perekonomian Indonesia, Ann Booth, kegagalan koperasi justru disebabkan oleh karakternya yang bertolak belakang dengan kepribadian Jawa. Pengusaha Jawa, kata Ann, terlalu indivisualistis untuk bergabung dalam usaha yang bersifat tolong-menolong seperti koperasi. Analisis ini membalikkan keyakinan Hatta bahwa kegotong-royongan telah berakar dalam-dalam pada adat istiadat Indonesia asli.
Pengamat politik Lambert Giebels melihat kegagalan Hattanomics dalam memperbaiki daya beli rakyat bukan terletak pada kesalahan konsep, melainkan pada kesempatan yang terlalu singkat. "Kabinet Hatta terlalu pendek untuk membangun perekonomian nasional," kata penulis biografi Bung Karno ini kepada Gita Widya Laksmini dari TEMPO.
Giebels mungkin saja benar. Tapi penerus kebijakan Hattanomics, yaitu Menteri Perekonomian Iskaq Tjokroadisurja dan Menteri Keuangan Soemitro Djojohadikusmo, ternyata juga gagal mewujudkan cita-cita perekonomian nasional yang mandiri.
Tentu saja ambruknya perekonomian di zaman Sukarno tak menjadi tanggung jawab Hatta seorang. Penerapan Hattanomics yang tidak 100 persen ikut pula memberi andil. Bahkan pada tahun-tahun pertama Republik berdiri, semangat liberalisasi pasar dan pemihakan pada kelompok tertentu sudah tumbuh dengan suburnya. Di zaman kabinet Ali Sastroamidjojo I, misalnya, Hatta mengecam lahirnya pengusaha "Ali Baba" (aliansi antara elite politik kabinet Ali dan konco-konco "babah-babah" pengusaha keturunan).
Para pengusaha "Ali Baba", yang cuma beberapa gelintir itu, kata Hatta, "Menjadi kaya raya tanpa bekerja." Berbekal tameng atas nama pribumi, mereka menjual lisensi sebagai importir. Mereka menikmati rente ekonomi yang luar biasa empuk hanya karena mereka punya akses dan lobi kepada Menteri Perekonomian. Dalam Konferensi Ekonomi Seluruh Sumatra, akhir 1954, Hatta mengecam dengan keras. "Berpuluh juta," katanya, "Ya, barangkali beratus juta rupiah uang negara, yang diperoleh dari pajak rakyat, sudah dikorbankan untuk kepentingan satu golongan kecil orang atas nama nasional."
Mudah dipahami, inilah penyakit kronis yang bakal menghalangi cita-cita sosialisme sepanjang hayat: suburnya nepotisme dan korupsi. Sesungguhnya perekonomian liberal yang mengagungkan efisiensi pun bakal jebol jika digerogoti virus korupsi. Namun, sosialisme, yang mengutamakan kemakmuran merata, menghadapi ancaman berlipat dari nepotisme. Semangat "perkoncoan" akan melahirkan sekelompok kecil orang yang hidup di atas langit kemakmuran meninggalkan sekelompok besar yang kesrakat di bawah tanah.
Kendati ada penyelewengan dalam penerapan Hattanomics, agaknya Hatta sulit membantah kenyataan bahwa penolakannya terhadap kekuatan kapital ikut mengerem laju perekonomian. Dan kelambanan itu memberi kontribusi terbesar terhadap ambruknya daya beli. Di masa tuanya, Hatta sendiri terkesan mulai membuka diri terhadap terjangan gelombang modal. Menjelang tahun 1980, pejuang antikapitalis ini akhirnya menyetujui masuknya modal swasta ke industri besar, "Jika pemerintah tak bisa melakukannya sendiri." Itu pun harus dengan syarat "tetap menjaga kesuburan dan kelestarian alam Indonesia" dan "memberi upah yang layak". Hatta agaknya tak punya pilihan: potensi modal yang menganggur itu akan menjadi sumber daya mubazir jika tak dimanfaatkan.
Zaman Orde Baru boleh dibilang 180 derajat bertolak belakang dengan kebijakan ekonomi Hatta. Sebagian besar prinsip Hattanomics digusur ke gudang barang bekas. Pemerintahan Soeharto menggelontorkan berton-ton uang untuk menyetrum produksi. Semua gerbang ke sumber kapital dibuka selebar-lebarnya. Modal asing, yang semula dicurgai, kini dirayu, bahkan dipersilakan memasuki wilayah terlarang seperti tambang (dengan PT Freeport Indonesia sebagai contoh legendaris), perkebunan, dan kehutanan (sejumlah perusahaan Korea, Malaysia, dan Jepang ramai-ramai menyerbu bisnis basah ini).
Seperti belum cukup dengan serbuan modal asing, pemerintah masih pula melengkapinya dengan menggenjot pembangunan prasarana produksi (pembangkit listrik, jalan raya, pelabuhan, irigasi)—dengan mengandalkan pinjaman luar negeri. Selain itu, pemerintah juga membangun pabrik-pabrik yang memproduksi kebutuhan primer seperti sandang, semen, pupuk, dan obat-obatan. Swasta nasional tidak lupa diberi insentif seluas-luasnya, baik dalam bentuk kredit raksasa berbunga murah maupun keringanan pajak.
Dengan gerak cepat seperti itu, produksi barang melambung, pasokan bahan kebutuhan rakyat melimpah, dan distribusi lancar. Hasilnya: perekonomian melaju cepat, momok inflasi lenyap, daya beli rakyat meroket—meskipun, harus diakui, dengan distribusi pendapatan yang tidak merata.
Ketimpangan ini mulai membuat Hatta cemas. Bagi Hatta, Orde Baru tidak cuma menanggalkan konsep perekonomian Hattanomics, bahkan melenceng jauh dari cita-cita sosialisme. Kekayaan negara diobral, jurang pendapatan tidak masuk akal, dan rakyat terancam dieksploitasi untuk kepentingan negara. "Kehidupan rakyat jelata," katanya, "justru mundur dibandingkan dengan keadaan mereka di zaman Hindia-Belanda."
Hatta punya contoh: nasibnya sendiri. Kepada Frans Seda, Menteri Keuangan pertama Orde Baru, ia menyampaikan keluhannya tentang tagihan listrik dan gas—tidak termasuk rekening air—yang jumlahnya sudah melebihi uang pensiunannya. "Permulaankah ini dari kolonialisme ekonomi?" tanyanya dengan waswas.
Boleh jadi, konsep Hattanomics, yang memberi peran terlalu sentral bagi negara untuk mengatur sekaligus bermain di lapangan perekonomian, sudah tidak laku lagi. Efisiensi pasar menuntut hapusnya distorsi yang biasanya tumbuh dari regulasi pemerintah. Tapi ikhtiar untuk menomorsatukan kepentingan publik mestinya tak boleh surut.
Hingga hari ini, di antara desakan ekonomi pasar bebas dan merajanya kepentingan golongan, kita masih bisa melihat bagaimana serpihan mimpi "adil dan makmur" berserakan di penjuru bumi. Di Eropa Barat, tempat keperkasaan kapital menemukan mahkotanya, semangat pemerataan kesejahteraan muncul dalam bentuk jaminan sosial. Dan di negeri ini, tempat elite politik sibuk berebut dan berbagi kekuasaan, cita-cita sosialisme itu setidaknya masih bersisa dalam pasal-pasal konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini