Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pada Sebuah Putaran Matahari

Tiga putri Bung Hatta dibesarkan oleh seorang ayah dengan alam pikiran modern yang menyerahkan sepenuhnya pilihan hidup kepada mereka.

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HALIDA NURIAH berusia 24 tahun tatkala ia mengiringi jenazah ayahnya ke Pemakaman Umum Tanah Kusir di Jakarta Selatan. Halida—anak bungsu dari tiga bersaudara—lahir di kala Bung Hatta telah berumur 54 tahun. Toh, kesenjangan waktu setengah abad lebih antara ayah dan anak itu tidak terasa dalam tahun-tahun pertumbuhan Halida. Hubungan keduanya terjalin erat sebagai kawan ataupun guru dan murid—di luar pertalian mereka sebagai ayah dan anak. Melalui mata ayahnya, Halida belajar banyak hal: dari memotong daging dengan posisi siku yang benar di atas meja makan, memadu-padankan warna dasi dan kemeja, sampai memahami pikiran pemikir besar Prancis Monstesquieu tentang ide-ide Trias Politica dalam bukunya yang terkenal, L'Esprit des Lois. Maka, ketika hidup Bung Hatta berlalu di suatu pengujung senja hari pada 14 Maret 1980, Halida tak hanya menangis karena hilangnya seorang ayah. Ia menangis untuk sebuah kehilangan yang lebih besar: seorang manusia yang meletakkan dasar-dasar yang kokoh mengenai makna kehidupan bagi dirinya serta "Kak Meutia dan Kak Gemala"—begitulah sebutan Halida bagi kedua saudaranya. Dalam buku yang diterbitkan pada 1980 untuk mengenang proklamator itu—Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan—Halida melukiskan peristiwa tersebut dengan perasaan mendalam. "…Seakan diatur oleh tangan yang lebih kuasa, masa hidupnya bagaikan satu kali putaran matahari. Ayah dilahirkan menjelang fajar menyingsing di kala panggilan sembahyang subuh sedang berkumandang di surau-surau Kota Bukittinggi, dan wafat setelah tenggelamnya matahari, menjelang berakhirnya waktu magrib...." Tulisan Halida hanyalah satu dari ratusan, ribuan detail kehidupan Mohammad Hatta—atau Bung Hatta—yang bisa dibaca. Sebuah kehidupan yang mudah menerbitkan rasa hormat dari kawan ataupun lawan. Selalu ada benang merah yang sama saban kali orang membicarakan pribadi Hatta. Pria yang lahir di sebuah rumah kayu bertingkat dua di Aur Tajungkang Mandianin, Bukittinggi, pada 12 Agustus 1902 itu adalah sosok yang hidup dengan kecintaan mendalam pada keluarga, cita-cita yang keras akan sebuah bangsa yang merdeka, serta rasa hormat yang tinggi pada dunia buku dan ilmu pengetahuan. Keluarga dan orang-orang di sekitarnya menyaksikan dari dekat bagaimana Hatta hidup dengan kesederhanaan dan disiplin yang mencengangkan. Gemala, anak Hatta nomor dua, mencatat sifat ayahnya yang betul-betul tepat waktu. Selama puluhan tahun, ia menyaksikan ayahnya bangun tidur tepat pada pukul 04.30 WIB pagi, lalu bersembahyang subuh dan berolahraga selama satu jam. Sesudah mandi dan berpakaian selama 15 menit, ia akan sarapan pada pukul 06.30 sembari mendengarkan radio. Bung Hatta akan masuk ke kamar kerja tepat pada pukul 07.30 pagi. Setengah jam kemudian, Wangsa Widjaja, sekretaris pribadi Bung Hatta, akan masuk ke ruang kerja dan mulai membacakan agenda hari itu. Andono, pelayan Bung Hatta, menuturkan kepada TEMPO betapa majikannya selalu datang ke meja makan pukul tujuh tepat—selama 20 tahun pengalamannya meladeni Bung Hatta. "Jadi, 15 menit se-belumnya, saya sudah menyiapkan menu sarapan roti tawar, telor, teh manis, dan air jeruk," tutur Andono kepada TEMPO. Se-orang kerabat dekatnya yang pernah 10 menit datang terlambat dalam sebuah pertemuan memilih melambatkan jarum jamnya karena "ngeri" berhadapan dengan Bung Hatta. Penghargaan Hatta kepada waktu juga terlihat betul dalam ia menanggapi rencana hidup anak-anaknya. Semasa Gemala Rabi'ah—anak nomor dua—belajar medical record (jurusan pencatatan medis—Red) di Sydney, Australia, Bung Hatta menulis dalam salah satu suratnya, "Karir Gemala harus bermula jika Gemala berumur 25 tahun. Janganlah terlalu banyak waktu terbuang di Sydney." Pada bagian lain, ia menambahkan, "Demikianlah nasihat dan pendapat Ayah tentang pelajaran Gemala di Sydney. Pendek kata, cukup tiga tahun sebagai dasar. Sesudah itu, bangunlah karir itu di Indonesia sendiri, karena ini akan jauh lebih bermanfaaat...." Satu hal yang tampaknya amat terpatri dalam ingatan si sulung Meutia Farida, Gemala, dan Halida adalah kemerdekaan memilih jalan hidup, yang diberikan Bung Hatta kepada mereka. Kepada Meutia, Bung Hatta memberikan banyak saran berharga tentang buku-buku yang dia perlukan untuk studi antropologinya. Bahkan, Bung Hatta, yang amat mencintai setiap bukunya, rela memberikan dua jilid The History of Java (karangan Thomas Stamford Raffles, terbit 1817), jilid I dan II, kepada Meutia. Bicara soal buku, Nyonya Lembaq Tuah—kakak Bung Hatta—melukiskan bahwa kedekatan sang Adik dengan buku sudah tumbuh sejak ia kanak-kanak: setiap lembar kertas dari bukunya, menurut Nyonya Lembaq, selalu dibukanya secara hati-hati dan dibacanya secara cermat. Melalui buku pula, ayah tiga putri itu mendukung cita-cita hidup ketiga putrinya. Suatu ketika, pada 1975, Halida harus membuat karangan ilmiahnya yang per-tama. Saat itu ia duduk di tingkat dua Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia (FIS UI, kini Fakultas Ilmu Sosial dan Politik). Bung Hatta menganjurkan agar ia menuliskan perbandingan pelaksanaan Trias Politica di Amerika Serikat, Belanda, dan Indonesia. Sepulangnya dari kampus, ia mendapatkan ayahnya telah siap dengan tiga helai kertas berisi kerangka pemikiran Trias Politica: "Halida, mulailah menulis berdasarkan kerangka ini dan baca juga buku-buku ini," ujar Hatta kepada putrinya. Dan Halida melongo karena Bung Hatta juga menyodorkan buku-buku berbahasa Prancis, yang belum dia kuasai. Akhirnya, Halida membaca terlebih dahulu sejumlah paham dasar dalam bahasa Indonesia sebelum membaca L'Esprit des Lois dari Montesquieu sambil menerka-nerka artinya. Halida pernah mendapat tambahan "kuliah ekstra" dari ayahnya setiap Rabu petang—dari pukul 16.30 sampai 17.15—mengenai sejarah dan ilmu politik. "Jauh dari dugaan banyak orang, ayahku memerdekakan anak-anaknya untuk berpendapat atau menentukan arahnya, terutama yang berkaitan dengan cita-cita," Halida menuturkan tentang masa-masa itu. Dan kebebasan ini, menurut Meutia, mereka peroleh dari urusan cita-cita sampai tata rambut dan mode baju. Sisi lain yang amat dikenang Meutia adalah cara ayahnya memperlakukan ibunya. Bung Hatta bukan orang yang pandai menunjukkan perasaannya secara terbuka. "Tapi, setiap kali mereka bepergian bersama dengan mobil, ayah akan memperhatikan arah matahari, lalu berkata: 'Yuke (nama kecil Rahmi Hatta) duduk di sebelah sini saja.' Itu ayah lakukan agar Ibu terhindar dari panas," tutur Meutia kepada TEMPO. Semasa hidupnya, Rahmi melukiskan suaminya sebagai manusia yang "keteguhan prinsipnya tak bisa dipatahkan oleh orang-orang terdekatnya sekalipun". Banyak orang tercengang menyaksikan pasangan itu menikah—pada 18 November 1945—karena perbedaan usia 24 tahun. Raharty Subijakto—adik Rahmi—bahkan meminta kakaknya menolak pinangan itu ketika Bung Karno datang melamarkan Rahmi bagi Hatta. Sebab, ia merasa bahwa Rahmi, yang baru 19 tahun, akan menikahi "seorang tua". Tapi Rahmi menerima lamaran itu. Di sebuah vila kecil di Megamendung, dalam balutan baju kuning muda bertaburkan palet dan kain prada antik, Rahmi mengucapkan sumpahnya sebagai istri. "Yuke terlihat amat cantik, bagaikan peri hutan...," Raharty melukiskan saat-saat pernikahan itu. Dan Rahmi membuktikan diri menjadi pengantin yang cemerlang. Ia melahirkan tiga putri yang berhasil dalam hidup dan pendidikan mereka. Selama 35 tahun mendampingi suaminya, Rahmi praktis menjalani hidup berumah tangga yang jauh dari kemewahan. "Ayah seorang penabung ulung," tutur Gemala. Tapi, dengan pensiun kecil sebagai wakil presiden, keluarga itu nyaris selalu kekurangan uang. Gemala pernah dilanda kesedihan mendalam setelah menyampaikan kepada orang tuanya akan belajar ke Australia, setelah berhasil mendapatkan beasiswa dari Colombo Plan. Dalam catatan kenangan untuk ayahandanya, Disiplin yang Ditanamkan dalam Rumah Tangga, ia menulis, "Ayah yang manis budi itu mengatakan: 'Bilamana Gemala perlu tambahan biaya, kabarilah Ayah, nanti Ayah akan mengusahakan kekurangannya'." Kesedihan gadis itu tumbuh dari pengetahuannya tentang kondisi ekonomi keluarga mereka, yang jauh dari kecukupan. Bukan rahasia lagi bahwa Bung Hatta harus terengah-engah membayar tagihan listrik rumah di Jalan Diponegoro 57, yang terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Rumah itu masih ada di sana, sampai sekarang. Halida dan keluarganya menempati lantai atas. Di lantai bawah, orang bisa melihat ruang tamu dengan isi yang sama seperti dulu: kursi-kursi tamu tua, lukisan Basuki Abdullah, sebuah piano berwarna hitam. "Semua perabot Bung Hatta tetap kami jaga," ujar Halida. Dari jendela rumah tua itu, orang seperti bisa menyaksikan kembali seorang lelaki tua berkacamata yang tak pernah lelah mengajarkan kepada siapa pun bahwa hidup akan menemukan artinya bila ada rasa hormat yang patut kepada manusia, kepada buku, dan ilmu pengetahuan. Hatta hidup cukup lama untuk menyaksikan ketiga putrinya hidup dengan cara yang ia ajarkan itu. Dan ia mati dengan cara yang sama berbahagianya: alam telah membingkai 78 tahun usianya menjadi sebuah hari yang utuh. Seperti yang dilukiskan Halida, "Hidup ayahku bagaikan satu kali putaran matahari...."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus