Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Imam B. Prasodjo
Hampir setiap minggu selama dua bulan belakangan ini, Posko Indonesia Peduli di Bantul, Yogyakarta, selalu kedatang-an relawan. Dengan mengen-darai truk bak terbuka, ratusan warga dari berbagai kabupaten sekitar Yogyakarta berdatangan. Mereka hadir tanpa bendera, tanpa spanduk. Atas inisiatif sendiri, mereka singgah di pos komando untuk berkoordinasi, meminta informasi lokasi korban gempa yang membutuhkan bantuan. De-ngan bekal peralatan sederhana—cangkul dan linggis—para relawan ini siap ikhlas membantu membersihkan puing-puing bangunan akibat gempa.
Mereka tak merepotkan. Tiap relawan telah membekali diri dengan sebungkus makanan untuk seharian bekerja. Warga Bantul menyambut hangat, penuh keharuan. Charma, relawan asal Banjarnegara, mengatakan bahwa rumahnya di kampung juga sudah lapuk dimakan usia. Tapi ia merasa masih lebih beruntung dibandingkan dengan anak-anak dan orang tua korban gempa yang kini harus tinggal di tenda darurat dalam keadaan luka, trauma, dan duka. Charma, pedagang kecil itu, seharusnya membuat kita sadar: agar tidak hanya pandai ”melihat ke atas,” namun juga ”ke bawah”.
Tatkala melihat semua ini, kita pun terbayang impian para pendiri Repu-blik, saat awal sekali negeri ini diba-ngun. Bung Karno saat itu sering berbicara soal rasa kebangsaan dengan membangkitkan sentimen nasionalis-me kemanusiaan. Nasionalisme yang digerakkan melalui itikad dan keinsaf-an rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu nasib, satu bangsa. Para pemimpin memiliki kesadar-an penuh bahwa keberadaan suatu bangsa akan terjadi bila ia memiliki satu nyawa, satu asas-akal, satu roh ber-sama yang tumbuh dalam jiwa untuk hidup menjadi satu, saling membantu, saling menolong. Karena itu, para pendiri negeri ini berbicara tentang pentingnya nation building. Sebuah proyek besar yang harus dilakukan bersama secara terus-menerus, tanpa henti.
Tatkala Bung Karno berpidato ber-gelora memberi aba-aba kepada rak-yat ”holopis kuntul baris”, di hadap-an-nya telah berjejer barisan rakyat yang siap bergerak bahu-membahu, bergotong-royong membangun kampung mereka. Itulah modal sosial Indonesia. Modal sosial yang dalam wujud nyata saat ini ditunjukkan para relawan yang tanpa pamrih membantu para korban bencana. Para pemimpin saat itu menangkap semangat rakyat. Kemudian mereka pun mendorong semangat itu, dan memberi ruang untuk berkembang, demi meraih ”the Indonesian Dream”—angan-angan tentang ”kampung halaman Indonesia” yang damai, bebas dari merebaknya penyakit, dan cukup sandang-pangan, walaupun tak harus berlimpah dengan kemewahan.
Mereka hanya menginginkan agar di kampungnya tersedia sekolah yang layak untuk anak-anak mereka. Sekolah yang tidak harus gratis, tapi tersedia guru yang berdedikasi dan meng-ajar dengan tenang di gedung yang kukuh, tidak reot, tidak bocor. Mereka berharap agar sungai-sungai yang melewati kampung mereka mengalir lancar, jernih tak tercemar. Hutan-hutan di sekeliling mereka hijau terpelihara, tidak digunduli, tidak dibakari. Mereka sekadar mengidamkan kehi-dupan yang tak rumit-rumit. Tidak ada intrik politik, tidak ada gontok-gontokan.
Apa yang terjadi setelah 61 tahun Indonesia merdeka? Ternyata situasi yang berkembang di Indonesia banyak dirasakan semakin jauh dari impian. Ratusan kelompok etnis yang m-enjadi komponen rakyat Indonesia, yang semula diyakini dapat ditransformasikan menjadi kesatuan warga negara multikultural (multicultural citizenship), ternyata banyak yang menjelma menjadi kelompok-kelompok segmental kesukuan dan kedaerahan. Nasionalisme etnis merebak di mana-mana, sementara nasionalisme kewargaan (civic nationalism), yang didasarkan pada cita-cita luhur kebangsaan, semakin terabaikan. Demokrasi Indonesia semakin terancam oleh kuatnya politik identitas yang mengedepankan loyalitas asal-usul, daripada loyalitas pada gagasan luhur universal. Kini, peradaban Indonesia terkontaminasi oleh semangat primi-tif akibat tumbuhnya neo-tribalisme baru, yakni semangat kelompok yang mau menang sendiri. Bukankah kini kita melihat bahwa partai-partai politik, yang seharusnya menjadi bagian organisasi modern, penyerap dan penyalur aspirasi rakyat dalam mekanisme demokrasi, tak lebih hanya sebagai wadah ”kepala-kepala suku primitif baru” yang lebih banyak ribut karena berebut kekuasaan? Eksperimen mewujudkan Indonesia yang modern dan beradab kini benar-benar terancam.
Siapa yang berani mengatakan bahwa the Indonesian Dream di bidang sosial-ekonomi telah dapat kita capai? Setelah 61 tahun merdeka, Indonesia- terus menghadapi tingginya angka pengangguran. Jumlah angkatan kerja Indonesia yang terus membengkak ternyata tidak diikuti dengan pe-ningkatan kualitas pendidikan dan kete-rampilan. Tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, yang mayoritas pembantu rumah tangga, menjadi cermin bobroknya sumber daya manusia Indonesia. Akibatnya, dalam sekejap Indonesia dikenal sebagai ”bangsa pembantu rumah tangga”, atau ”bangsa kuli”. Ini semua terjadi akibat perpaduan gagalnya bangsa ini mendorong terciptanya lapangan kerja baru bagi rakyat banyak dan gagalnya memajukan pendidikan.
Di saat terjadinya keterpurukan sumber daya manusia, sumber daya alam yang selama ini dibanggakan ternyata juga disia-siakan. Pohon-pohon yang tumbuh di hutan jutaan hektare luasnya dibiarkan diteba-ngi secara membabi buta, dan bahkan banyak yang dijual murah dalam bentuk kayu-kayu gelondongan, tanpa pengolahan, tanpa nilai tambah (added value).
Hingga kini, kita seperti tak juga mengambil pelajaran dari negara-ne-gara tetangga kita—Thailand, Malaysia, Singapura, dan bahkan kini Vietnam. Mereka terlihat lebih kreatif dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan ekonomi mereka tampak terfokus pada upaya proses produksi barang agar memiliki nilai tambah. Bahkan kini, me-reka pun melangkah lebih jauh, mulai mengamankan pasar, menjamin agar produk-produk mereka terjual di pa-sar internasional. Di supermarket Indonesia, kita pun menyaksikan buah-buah kaleng dengan kemasan menarik dari Thailand dan Malaysia. Elektronik Malaysia, Taiwan, dan Singapura juga mulai mendominasi di tiap toko. Sementara itu, Indonesia, sebuah negeri dengan 200 juta penduduk, semakin nyata berperan sekadar menjadi pasar besar, yang penduduknya terus dibina sekadar menjadi konsumen yang konsumeristis, menjadi target iklan dan multi-level marketing. Rakyatnya terus-menerus dipelihara agar mandul, tak produktif, tak kreatif, tak inovatif. Semua ini sinkron dengan kenyataan bahwa sumber daya manusia Indonesia semakin hari semakin terpuruk, akibat fasilitas pendidikan yang ambruk dan sistem pengelolaan yang korup. Pendeknya, Indonesia kini benar-benar mengala-mi krisis multidimensional—krisis keteladanan, krisis gagasan, dan krisis efektivitas birokrasi di semua lini. Defisit modal sosial terjadi, menghancurkan kemandirian dan keyakinan dalam melangsungkan kehidupan berbangsa. Sungguh mahal harga yang harus dibayar manakala sebuah bangsa mengalami ”kedunguan kolektif”.
Lalu, bagaimana kita harus memulai perbaikan? Bagaimana kita harus menghidupkan the Indonesian Dream yang telah lama terkubur? Mengurai benang kusut memang tidak mudah. Tapi, mungkin kita harus melangkah dari hal-hal mudah dan sederhana. Dengan belajar ilmu hikmah dari orang-orang biasa seperti Charma dari Banjarnegara, modal sosial bisa ditumbuhkan. Mereka telah memberi contoh, betapa di tengah kemiskin-an yang mereka derita, mereka masih sanggup bergerak menghimpun teman-teman warga desanya untuk melakukan aksi kemanusiaan, memberikan pertolongan kepada sesama tanpa pamrih. Inilah bentuk kepemimpinan yang sebenarnya. Dengan meniru gerak orang-orang sederhana ini, kita berkeyakinan, kita dapat melangkah kembali, membangun modal sosial yang kini tengah mengalami defisit terus-menerus.
Bencana yang beruntun terjadi, sejak gempa di Nabire, tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, gempa di Yogya dan Jawa Tengah dan musibah lumpur Sidoarjo, haruslah menjadi ruang untuk membangkitkan kembali solidari-tas emosional kebangsaan. The art of loving harus dikembangkan untuk menumbuhkan rasa ”ke-kita-an” dan ”kebersamaan” sebagai satu keluarga, sa-tu bangsa. Namun, pada saat yang sa-ma, perubahan struktural (perubahan sistem) tetap harus dilakukan. Selama ini, kita telah cukup mendapatkan pelajaran betapa sistem birokrasi yang berbelit dan korup telah menjebak kita ke dalam ”kedunguan kolektif”.
Upaya perbaikan yang serius dalam penanganan bencana memiliki posi-si strategis karena dapat menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk membuktikan keseriusan menolong rak-yat di lapisan bawah yang kini sa-ngat menderita. Untuk itu, diperlukan ketegasan untuk keluar dari cara-cara birokratis, yang sebenarnya kini telah secara terang-benderang membuktikan ketidak-efektifan dan kekacauan. Ibarat memotong kayu, sudah sewajar-nya kita gunakan gergaji tajam, bukan martil atau palu yang tumpul, betapapun palu itu kita pukulkan sekuat tenaga. Karena itu, perangkat kerja penanggulangan bencana sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 perlu revisi total. Sistem yang tidak tepat tidak saja akan menyebabkan pemborosan uang negara, tapi juga akan membawa masalah baru, konflik baru, korban-korban baru, yang akhirnya akan ikut menyumbang pada runtuhnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah.
Kini, terserah bagaimana kita menentukan pilihan—melakukan per-ubah-an, atau tetap bergeming berkubang pada lumpur kedunguan. Namun, apa pun yang terjadi, kita masih berkeyakinan, ribuan dan bahkan jutaan rakyat seperti Charma masih tetap loyal, menjaga keutuhan Indonesia sebagai satu bangsa, satu impian menuju kehidupan lebih baik. Hanya, bila ”kedunguan kolektif” tetap dipertahan-kan, sampai kapan kesabaran orang-orang sederhana ini akan bertahan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo