Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Soal Lama, Ketegangan Baru

Pro dan kontra muncul di antara khalayak mengenai berbagai soal, termasuk aturan bernuansa syariat Islam. Upaya mencari jati diri.

14 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM puluh satu tahun silam, keinginan itu dikemas dalam Piagam Jakarta. Isinya mengenai butir-butir Pancasila, tapi sila pertama berbeda dengan yang berlaku sekarang. Ada anak kalimat yang terdiri dari tujuh kata: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Dalam sidang Panitia Persiapan Ke-merdekaan Indonesia pada awal Agustus 1945, tujuh kata itu akhirnya dicoret setelah mendapat tentangan keras dari kalangan nasionalis. Demi menjaga persatuan, kubu Islam pun me-ngalah.

Ternyata keinginan memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan bernegara tak pernah mati. Dalam sidang Konstituante hasil pemilu 1955, aspirasi itu mencuat lagi. Begitu pula dalam sidang tahunan MPR 2000, keinginan serupa sempat nongol kembali-, se-kalipun tak diperjuangkan secara serius oleh partai-partai yang berasas Islam.

Kini pun aspirasi itu masih hidup. Tak lagi diusung oleh partai-partai besar, tapi dibawa kelompok-kelompok kecil yang bergerilya di daerah-daerah. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Forum Mudzkaroh Syariah Islam (Formasi) di Kota Depok, Jawa Barat, 30 Juli lalu. Dalam sebuah tablig akbar yang dihadirkan belasan organisasi berasaskan Islam, keinginan itu didengungkan lagi. "Cara berlindung teraman hanyalah dengan menjadikan syariat Islam menjadi hukum Indonesia," kata Abu Said, pimpinan Hizbut Tahrir Indonesia Depok.

Seusai acara, semua wakil dari ormas- yang hadir menandatangani su-rat dukungan terhadap pembentukan- Pe-r-aturan Daerah Anti-Maksiat. Surat itu langsung diserahkan kepada Kuat Sukardiyono, anggota Komisi A DPRD Kota Depok yang mengikuti ha-ja-tan itu. Si anggota Dewan berjanji- me-nyampaikan sokongan itu dalam pem-bahasan rancangan peraturan da-e-rah.

Mungkin itulah cara baru menerap-kan syariat Islam dalam kehidupan negara. Peraturan serupa diberlakukan di berbagai daerah seperti Kabupaten Padang Pariaman, Gresik, Pamekasan, Jember, Garut, Bulukumba, dan Tangerang. Provinsi Sumatera Barat juga memiliki Peraturan Daerah tentang Pemberantasan dan Pencegah-an Maksiat.

Di Kota Tangerang, aturan antimaksiat pernah membawa korban yang diduga salah tangkap. Lilis Lindawati, seorang karyawan restoran di Cengkareng yang hendak pulang, ditangkap petugas. Dia dituduh sebagai pelacur, lalu ditahan selama empat hari. Gara-garanya, suaminya, Kustoyo, yang bekerja sebagai guru SD, tidak bisa membayar denda Rp 300 ribu. "Saya tidak terima dituduh sebagai pelacur. Ini perlakukan yang tidak manusiawi," kata Lilis.

Penolakan terhadap peraturan itu sempat muncul. Seniman, aktivis, dan praktisi hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) juga pernah berdemonstrasi di Peng-adilan Negeri Tangerang menuntut pembebasan Lilis. Tapi sampai sekarang peraturan itu masih diberlakukan di Kota Tangerang.

Ada lagi aturan lain yang juga me-rujuk kaidah agama Islam, misalnya tentang busana muslimah dan kewajiban membaca Al-Quran. Peraturan seperti ini diterapkan Pemerintah Kabupaten Solok, Pasaman Barat, Pa-dang, Enrekang, Gowa, Maros, Sinjai, Bulukumba, Takalar, dan Cianjur. Belakangan di Pandeglang ada aturan soal pemisahan murid laki-laki dan perempuan di sekolah.

Menurut Kuat Sukardiyono, aturan itu sebenarnya tidak ada kaitannya dengan syariat Islam seperti yang diributkan banyak orang. Soalnya, sanksi yang diberlakukan tetap merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. "Jadi rujukannya bukan Al-Quran," katanya.

Dia juga menjelaskan, peraturan daerah antimaksiat yang akan dite-rap-kan di Depok semata-mata untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. "Ini sebagai tindakan preventif dan kuratif terhadap penyakit masyarakat, yakni penyalahgunaan minuman keras dan pelacuran," kata Kuat.

Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra juga tidak melihat ada-nya penerapan syariat Islam. Menurut dia, peraturan itu muncul untuk meng-atasi kelemahan hukum nasional se-perti belum adanya undang-undang yang mengatur soal alkohol. "Bisa sa-ja peraturan daerah mengangkat kai-dah-kaidah hukum Islam dan hukum adat," kata mantan Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu.

Lain halnya sikap Wakil P-residen -Jusuf Kalla. Dia mengaku selalu- ter-singgung karena sering terjadi perdebatan me-ngenai perlu-tidaknya menjalankan sya-riat. Kalla kecewa jika ada daerah yang ingin melaksanakan syariat de-ngan menerbitkan peratur-an daerah, apalagi meminta bantuan hansip atau polisi untuk menegakkannya.

Pro dan kontra mengenai peratur-an daerah bernuansa syariat Islam bukan satu-satunya persoalan yang muncul di era reformasi. Sentimen kedaerahan- atau kesukuan belakang-an juga berkembang. Saat Formasi- menggelar tablig akbar di Depok, pa-da hari yang sama di Jakarta ribuan warga berpakaian hitam-hitam memenuhi lapangan Monas di Jakarta Pusat. Mereka adalah anggota Forum Betawi Rempug (FBR) dari Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tangerang yang menggelar ulang tahun organisasi ini yang kelima.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan Wali Kota Jakarta Pusat- Muhayat hadir di sana. Keduanya adalah pejabat pemerintah Jakarta yang berasal dari etnis Betawi. Dalam orasinya, Ketua Umum FBR Fadloli el Muhir menantang Partai Kebangkit-an Bangsa (PKB) dan PDI Perjuangan yang berniat membubarkan FBR.

Menurut Fadloli, hanya Allah dan Hari Kiamat yang bisa mematikan organisasinya. Katanya, anggota FBR bukanlah preman. "FBR adalah pembela rakyat Betawi," ujarnya, yang di-sambut tepuk tangan ribuan anggota-nya. Dia mengancam bakal menggemboskan suara PDI Perjuangan dan PKB di Tanah Betawi.

Organisasi seperti FBR tidak akan tumbuh besar pada era Orde Baru, ka-rena pemerintah meredam segala isu yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). "Namun, setelah pemerintahan Soeharto, terjadi arus balik. Etnik bermunculan dan menuntut diakui eksistensinya," kata Ignas Kleden.

Sosiolog lulusan Universitas Bielefeld, Jerman, itu juga melihat faktor global. Warga sedang mencari indentitas. "Identitas ini sebagai dasar untuk menghadapi penetrasi budaya global," ujarnya. Maka, muncullah tuntut-an dari kelompok-kelompok yang selama ini marginal. Ada tiga fenomena yang menyertainya: menguatnya politik identitas, semakin banyaknya kasus politisasi agama, dan nyaringnya tuntutan revitalisasi adat.

Sementara di Jakarta ada FBR dan Forkabi (Forum Komunikasi Anak Betawi), di daerah lain sepertik Lombok, Kalimantan, Jawa Barat, dan Banten juga muncul organisasi serupa. Begitu pula di Bali. Di sana kelompok yang mengklaim bisa menjaga keamanan Pulau Dewata bermunculan setelah terjadi ledakan bom pada 2002.

Pejabat pemerintah dan beberapa tokoh di sana pun memperkenalkan konsep Ajeg Bali. Konsep ini berupaya membakar emosi warga agar mempertahankan budaya Bali yang k-ukuh. Gerakan ini sering disalahguna-kan. Kerap kali terjadi sweeping dan pe-narikan uang terhadap kaum pendatang oleh para pecalang.

DPRD Bali pun memformalkan adat Hindu dalam tata tertib dewan. Zubaidah Yohana, anggota dewan yang beragama Islam dari PPP, pernah didesak mengucapkan salam dengan tata cara Hindu ketika menyampaikan pendapat fraksi.

Sosiolog Imam B. Prasodjo melihat- tarik-menarik yang terjadi di masya-rakat sebagai bentuk ketegangan antara ethno nationalism dan civic nationalism. Yang terakhir adalah konsep nasionalisme yang didasarkan pada konstitusi yang telah disepakati. "Seharusnya ini yang jadi pegangan kita berbangsa," kata Imam.

Ketegangan serupa dengan topik berbeda muncul dalam polemik me-ngenai Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi-. Mere-ka yang setuju beranggapan bahwa negara memang perlu menjaga mo-ral warganya lewat undang-undang. Adapun kelompok yang menolak berpendapat bahwa negara tidak usah memasuki urusan moral. Biarlah masyarakat yang menjaga moralnya sendiri.

Warga negeri ini rupanya masih te-rus mencari jati diri. Enam puluh satu tahun silam, para pendiri negera telah berdebat mengenai apa yang perlu diurus oleh negara, termasuk perlu-tidaknya syariat Islam masuk Pancasila. Kini perdebatan serupa, walau tak sama persis, masih terjadi masyarakat dan parlemen, juga di daerah seperti Depok, Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus