Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak salah kalau orang menyebut cinta itu buta. Maret la-lu, Suharman tiba-tiba mengirim- se-pucuk surat cinta kepada Ana. Su-rat itu penuh rayuan. Padahal-, se-mua orang di kampung tahu Ana sudah resmi menjadi Nyonya Mamang. Warga Desa Padang, Kabupaten Bulu-kumba, Sulawesi Selatan, pun geger men-dengar keberanian lelaki itu.
Si suami, Mamang, yang tentu saja mur-ka melapor kepada Kepala Desa. Akhirnya, para sesepuh desa menggelar rapat darurat, menentukan nasib- Su-harman. Vonisnya: ia terbukti melanggar Peraturan Desa Nomor 5 Tahun 2006 tentang perbuatan tidak me-nye-nangkan. Lelaki paruh usia itu pun dicambuk 40 kali. Perkara ini pun beres. Polisi tak perlu repot-repot turun- tangan.
Tak cuma Suharman, dua orang lagi di desa itu juga dicambuk pada Maret- itu. Nasir dipecut lima kali lantaran ringan tangan membogem seorang siswa- sekolah dasar. Arifin, warga Desa Pa-dang juga, disabet lima kali karena melayangkan tangan ke wajah seorang warga.
Hukum cambuk di Desa Padang merupakan bagian dari pemberlakuan peraturan yang bernuansa syariat Islam di Kabupaten Bulukumba. Sejak 2002, daerah ini menerbitkan peraturan yang mengacu pada kaidah Islam, di antaranya Peraturan Daerah Nomor 3/2002 tentang Larangan Penjualan Minuman Alkohol dan Peraturan Daerah Nomor 2/2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq, dan Sadaqah. Ada lagi perda tentang berpakaian muslim dan perda mengenai wajib pandai baca Al-Quran. Aturan yang terakhir ini khusus untuk siswa dan calon pengantin.
Sejak 2003, 12 desa di Kabupaten- Bulukumba ditetapkan sebagai kawa-san percontohan penerapan peratur-an daerah. Desa-desa itu disebut Desa Muslim. Desa Padang merupa-kan salah satu percontohan. Di sana, Badan Pemasyarakatan Desa yang berjumlah 11 tokoh warga membuat aturan pelaksana berupa peraturan desa yang bernuansa syariat Islam.
Menurut aturan di Desa Padang, bentuk hukuman pada si pelanggar tergantung besar kecilnya kesalahan. Laki-laki dan perempuan yang ber-zinah dipecut 100 kali. Yang ketahuan berjudi, mabuk-mabukan, atau menjual minuman keras dicambuk 40 kali. Satuan tugas di masing-masing dusun bertindak sebagai penghukum. Alat yang digunakan mencambuk adalah bambu yang dibelah menjadi empat.
Cari di mana pun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Anda -tidak akan menemukan hukuman cambuk model Bulukumba. Petinggi- desa di sana senang dengan hukuman itu, sebab setelah peraturan diberlakukan, Desa Padang kian tente-ram. ”Angka kriminalitas menurun drastis,” kata Rukman Jabbar, Kepala Desa Padang.
Menurut Bupati Bulukumba, Andi M. Sukri Sappewali, yang diadili apa-rat desa cuma perkara-perkara kecil yang mengganggu ketertiban masya-rakat. ”Hukuman cambuk pun dila-kukan di ruang tertutup, cuma diha-diri tersangka, penuntut, dan peting-gi de-sa. Pukulannya tidak keras-ke-ras,” ka-ta-nya. Jadi, tidak seperti di Aceh yang hukumannya dilakukan di -ruang terbuka.
Toh, hukuman cambuk ala Desa Pa-dang tetap menuai protes. Sang bupati kemudian memanggil Kepala Desa Padang. Ia meminta agar hukuman itu dihentikan saja. Kalau ada perkara kecil, diselesaikan secara damai saja. Sejak saat itu hukum cambuk tidak pernah terjadi lagi di Desa Padang.
Peraturan yang bernuansa syariat- Islam selalu mengundang kontroversi. Ada yang mendukung, ada pula yang menolak. Lihatlah yang terjadi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, 6 Juli lalu. Saat itu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Ge-rakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah. Di Cianjur, ge-rakan ini lebih masyhur dengan nama singkatannya: Gerbang Marhamah.
Ketika anggota Dewan mengesahkan peraturan itu, di luar gedung ratusan massa bersorak-sorai memberi dukungan. Berasal dari 13 organisasi Islam, mereka meminta anggota DPRD tidak terpengaruh protes kaum penentang.
Yang menentang pemberlakuan per-aturan daerah bernuansa syariat- Islam memang tidak sedikit. Bukan cuma kaum sekuler, tapi juga sejumlah organisasi agama. Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia, secara tegas menolak peraturan yang bernuansa syariat itu. Dalam pertemuan di Sukolilo, Jawa Timur, akhir Juli lalu, para ulama organisasi itu sepakat menolak formalisasi syariat Islam di sejumlah daerah.
”Untuk apa bikin syariat Islam? Wong sudah ada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” kata Hasyim Muzadi, Ketua Umum Nahdlatul Ulama. Menurut dia, negeri ini memiliki beragam suku dan kepercayaan. Itu sebabnya harus dicari metode ber-agama yang bebas tanpa merusak keberagaman.
Sejumlah pemerintah daerah membantah kalau peraturan yang mereka terbitkan mengacu kepada syariat Islam. ”Peraturan yang kami terbitkan bukan syariat Islam, tapi peraturan umum,” kata Wahidin Halim, Wali Kota Tangerang.
Daerah yang menempel dengan Jakarta itu memang telah menerbitkan dua aturan, yakni Perda No. 7/2005 tentang Minuman Keras dan Perda No. 8/2005 tentang Pelacuran. Soal imbauan Nahdlatul Ulama, Wahidin menyatakan, ”Saya juga orang NU, tapi saya belum mau berkomentar apa-apa. Harus musyawarah dengan NU Kota Tangerang.”
Aturan itu juga ditentang keras oleh warganya sendiri. Awal April lalu, para penentang mengajukan judicial review atas dua perda itu ke Mahkamah Agung.
Menurut Hermawanto, dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, perda itu melanggar kaidah hukum, terutama asas praduga tidak bersalah. Ambil contoh Perda No. 8/2005. Seseorang bisa ditangkap hanya karena dicurigai. Sejak peraturan ini berlaku, sudah terjadi 30 kasus salah tangkap di Tangerang.
Perda tersebut juga dianggap mere-pot-kan buruh-buruh perempuan di Ta-ngerang. Umumnya mereka bekerja sampai larut malam. Kalau kerja ma-lam sering dianggap pelacur, lalu di-tangkap, ”Peraturan itu bisa memis-kin-kan buruh,” kata Lilis Mahmuda, salah seorang warga yang mengajukan judicial review.
Itu sebabnya Bupati Kabupaten Ta-ngerang Ismet Iskandar berpikir dua kali untuk mengikuti jejak Kota Ta-ngerang. ”Sepertinya peraturan seru-pa sulit diberlakukan di Kabupa-ten Tangerang,” katanya. Kabupaten ini ju-ga merupakan wilayah industri yang hidup 24 jam.
Di Depok, Jawa Barat, rancang-an per-atur-an daerah yang mengatur mi-numan keras dan pelacuran juga me-nuai kontroversi. Peraturan itu muncul atas inisiatif anggota DPRD Depok. Walau ditentang banyak orang, ran-cangan itu akan terus dibahas oleh anggota Dewan. Soalnya, ”Ba-nyak pula warga yang mendesak agar per-aturan itu segera disahkan,” kata Kuat Sukardiono, anggota DPRD Depok, salah seorang pengusul.
Menurut Kuat, dua rancangan perda itu tidak ada hubungannya de-ngan syariat Islam. Sanksi untuk para pe-lang-gar juga tetap merujuk pada hukum positif. ”Kami tidak akan memberi sanksi bagi yang melanggar -undang-undang,” katanya.
Sejumlah peraturan yang bernuan-sa syariat Islam juga terbit di se-jumlah daerah lain seperti di Padang (Su-matera Barat) dan Pandeglang (Jawa Ba-rat). Nasibnya sama: ada yang setuju, ada yang menentang. Dua bulan lalu, Menteri Dalam Nege-ri M. Ma’ruf menyatakan bakal mengum-pulkan perda berbau syariat Islam. De-par-temen ini juga akan mengevaluasi apakah peraturan itu masih dalam batas konsensus nasional seperti Pancasi-la dan UUD 1945. ”Perda yang bertentan-gan akan kita batalkan—ten-tu ada proses-nya,’’ kata Ma’ruf.
Hingga kini evaluasi yang dijanji-kan belum ada hasilnya. Juru bicara De-partemen Dalam Negeri, Andreas Tar-wanto, mengatakan, langkah itu masih dalam proses. ”Mungkin masih dikumpulkan bahannya, sebab perdaperda berada di daerah, bukan di sini,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo