Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
L.T. Handoko*
Buku The Grand Design karya Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow mengundang polemik dan mencuri perhatian publik global. Ini perhatian yang langka diperoleh fisikawan—bahkan di Indonesia, perhatian semacam ini harus ditebus dengan penggelontoran dana publik puluhan miliar setiap tahun untuk mengadakan aneka olimpiade fisika di semua level.
Buku itu populer bukan semata karena nama penulisnya, melainkan juga karena klaim kontroversialnya. Meski ditulis dengan rapi dan memakai argumentasi teori terkait dengan penciptaan alam semesta berbasis astrofisika, secara substansi buku itu tidak memberikan kontribusi apa pun pada ranah ilmiah fisika.
Teori-M yang banyak disinggung dalam buku itu sebenarnya bukanlah teori dalam arti deskripsi matematis yang sudah baku. Sebab, sampai saat ini, belum ada pemodelan yang sukses secara matematis untuk mendeskripsikannya. Apalagi yang telah dibuktikan dengan eksperimen, prasyarat sebuah deskripsi pemodelan matematis agar bisa diakui sebagai teori fisika baku.
Teori-M pada hakikatnya merupakan istilah fisikawan untuk merujuk pada teori ideal yang mampu mengintegrasikan empat gaya di alam semesta, yaitu gravitasi, elektromagnetik, lemah, dan kuat. Teori terintegrasi ini biasa disebut sebagai Teori Segala Hal (Theory of Everything, ToE), yang merupakan penyempurnaan dari Teori Penyatuan Agung (Grand Unified Theory, GUT). GUT baru mampu menyatukan ketiga gaya selain gravitasi, dan kesahihannya baru akan diuji melalui eksperimen di Large Hadron Collider (LHC) atau akselerator partikel berenergi mahatinggi di CERN, Swiss, selama dekade mendatang.
Mengapa integrasi keempat gaya itu penting? Manusia dikaruniai akal budi untuk mengolah informasi dan mencari tahu mekanisme aneka fenomena alam di sekitarnya. Dengan memiliki pemahaman mendasar dan terintegrasi atas fenomena alam, para ilmuwan mampu membuat aneka terobosan yang bermanfaat bagi kehidupan.
Sejarah membuktikan hukum mekanika klasik yang ditemukan Newton pada abad ke-16 memicu industrialisasi tiga abad kemudian. Demikian juga dengan integrasi gaya magnet dan listrik menjadi teori elektromagnetik, dengan partikel elektron dan foton, oleh Maxwell di abad ke-19, yang menjadi landasan peradaban modern berbasis elektronika sampai saat ini.
Dengan pemahaman dasar yang terintegrasi, manusia tidak perlu memiliki banyak teori—teori untuk meja, teori untuk kursi, dan sebagainya. Itu sebabnya, kajian teori harus dilakukan di level elementer. Berbeda dengan benda makro yang bisa jutaan jenis, pada skala elementer dengan ukuran 10-18 meter hanya ada 16 partikel. Sebagai perbandingan, bahkan di skala materi nuklir (10-15 meter) saja ada ratusan jenis materi seperti proton, neutron, dan sebagainya. Memang, untuk itu diperlukan aneka jenis akselerator (mesin pemercepat partikel elementer) raksasa seperti LHC agar bisa ”melihat” interaksi dan sifat partikel secara artifisial, karena di alam semua partikel ini ada dalam bentuk materi nuklir.
Berbeda dengan GUT yang mencakup partikel elementer di skala maha-mikro, gravitasi yang mengikuti teori relativitas Einstein hanya bekerja pada skala makro. Inilah yang menyebabkan kesulitan pengembangan GUT menjadi ToE. Kesulitan yang sama sejatinya juga dialami di skala nano (10-9 meter), yang dewasa ini menjadi tren baru dalam bentuk nanoteknologi.
Sebagai ilustrasi, melakukan simulasi fenomena materi berukuran 1 nanometer akan melibatkan komputasi yang terdiri atas 1 miliar partikel elementer. Padahal perhitungan teori di fisika partikel hanya ditujukan untuk sistem dengan 3-4 partikel. Di sinilah peranan komputasi berkinerja tinggi dengan komputer super dan lain-lain menjadi penting. Kesulitan akan berlipat jutaan kali saat melakukan simulasi untuk dinamika alam semesta dengan benda-benda angkasa yang satuan ukurannya adalah radius matahari!
Dari ilustrasi di atas jelas bahwa ToE atau Teori-M berusaha menyatukan dua ekstrem, yaitu fisika di skala maha-mikro yang diintegrasikan dalam GUT dan skala maha-makro yang mengikuti teori relativitas Einstein. Melihat perkembangan saat ini, penyempurnaan GUT menjadi ToE masih jauh. GUT sekalipun memiliki beberapa versi dan konfirmasi final masih harus menunggu hasil eksperimen di LHC yang baru berjalan beberapa bulan dan memerlukan setidaknya 5-10 tahun untuk mendapatkan hasil yang definitif.
Di manakah letak ”aspek ketuhanan” dalam Teori-M seperti diklaim Hawking dan Mlodinow? Jawabannya: tidak ada! Tidak ada di sini bisa saja diinterpretasikan sebagai sains tidak memerlukan Tuhan seperti diklaim dalam buku mereka. Tapi pemahaman yang benar adalah komponen ketuhanan tidak bisa dimasukkan dalam ranah kajian sains. Sebab, perilaku, kaidah, dan prinsip dasar sains adalah kemampuannya untuk diuji kembali oleh siapa pun, sehingga untuk kondisi yang sama pasti diperoleh hasil yang sama.
Inilah poin utama perbedaan sains dengan metasains (pseudosains) atau fisika dengan metafisika. Ini juga alasan mengapa ekonofisika ataupun sosiofisika hakikatnya bukan fisika, melainkan sekadar ekonometri atau sosiometri, yakni deskripsi ekonomi atau sosial dengan perangkat fisika.
Secara personal, penulis lebih percaya Hawking memiliki persepsi yang sama seperti di atas. Sebab, klaim kontroversial seperti di bukunya tidaklah mencerminkan perilaku ilmuwan, serta tentu tidak ilmiah. Tapi tampaknya kebutuhan ”strategi pemasaran” telah mendorong pelesetan yang sebenarnya sama sekali tidak lucu dan tidak benar secara ilmiah serta tidak mendidik untuk jangka panjang. Memang, tujuan jangka pendek tercapai, dan karena itu buku tersebut layak dipelesetkan sebagai The Grand Design ”for Business”.
*) Peneliti fisika partikel elementer teori di Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo