Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Matahari masih kuat menebar terik di bagian selatan Jakarta. Saya sudah ada janji dengan pemain film Edies Adelia untuk mengunjungi sebuah tempat di kawasan Senopati, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kami menuju sebuah bangunan besar berlantai dua dengan halaman parkir yang luas. Di depan terpampang papan nama: Salon and Beauty Korea. ”Ini loh tempat yang saya ceritakan itu. Pokoknya dijamin mendapatkan sensasi khusus yang tidak didapat di tempat lain,” kata Edies.
Di dalam, kedatangan kami langsung disambut hangat oleh dua orang wanita berpenampilan sederhana. Keduanya menyapa kami menggunakan bahasa gado-gado, Korea, Inggris, campur bahasa Indonesia. ”Selamat datang di salon dan tempat mandi Korea!” Di bagian depan, suasana salon mendominasi tempat itu. Ada banyak aneka aktivitas menata rambut, menggunting, mewarnai, sampai kegiatan perawatan serta merias wajah.
Tapi, suasananya langsung berubah begitu kami masuk ke dalam. Ada kafe mini yang sekaligus dipakai menjadi ruang tunggu atau bersantai. Lagu-lagu Korea lembut mengayun menemani para tamu yang sedang makan atau menunggu giliran. Di baliknya terdapat ruang ganti. Di ruangan ini ada dua kamar yang hanya dipisahkan selembar gorden. Kami harus menanggalkan seluruh pakaian kami dan berganti dengan kimono. Ruang mandi Korea ada di lantai bawah.
Pertama-tama, kami menikmati creambath. Sejumlah bahan krimbat seperti krim alpukat, ginseng, lidah buaya, dan kemiri diimpor langsung dari Korea Selatan. Saya mengikuti saran terapis memilih krim ginseng yang katanya bermanfaat buat menyuburkan rambut. Sementara Edies memilih krim alpukat. ”Buat melembabkan rambut saya yang cenderung kering,” kata perempuan 28 tahun itu. Selama 20 menit rambut kami dibalut krim sambil dipijat lembut.
Kemudian kami diminta ke kamar mandi untuk membasahi tubuh sekitar dua sampai lima menit. Ini adalah persiapan agar tubuh tak kaget menghadapi panas di ruang sauna. Ruang sauna yang berukuran sekitar 100 meter persegi itu tampak temaram. ”Rasanya seperti dalam kuburan ya,” kata Edies. Suasananya memang sedikit menyeramkan. Kami seperti berada di dalam gua yang gelap dengan hawa panas menyengat.
Dinding ruang sauna memberikan kesan alami karena terbuat dari tanah merah. Arang kayu berjajar rapi ditempatkan di bagian bawah dinding dan sesekali mengeluarkan asap. Lantai dan langit-langitnya terbuat dari bambu yang tersusun seperti rakit. Di antara gumpalan-gumpalan tanah merah di dinding, tersembul rumput-rumput liar yang lagi-lagi dibawa dari negeri asalnya. Panas di ruangan ini mencapai 95 derajat Celsius.
Dengan tubuh telanjang berbalut kimono, Edies secara leluasa bergerak ke sana kemari. Ketika panas sudah sangat menyengat, kami pun menanggalkan kimono. Menurut dia, di Korea tempat sauna begini dipenuhi wanita-wanita yang bertelanjang bulat. Siang itu, ada belasan wanita di dua ruang sauna di Salon and Beauty Korea. Mereka lalu-lalang, sesekali menggerakkan tangan, kaki, dan badan bergerak seperti orang yang sedang senam atau berolahraga. Sebagian lagi tidur telentang berbantal butiran kacang yang diletakkan di atas sebuah balok kayu besar untuk menopang kepala.
Saya sempat berbincang dengan Nyonya Wu, seorang pekerja pabrik garmen di Bekasi yang sepekan sekali datang ke sana. ”Di Korea, datang ke sauna sudah menjadi rutinitas; bukan hanya perempuan, tapi juga lelaki,” katanya. Tak terasa kami sudah 20-an menit berada di ruang sauna. Edies kemudian mengajak saya keluar menuju ruang pemandian air dingin.
Edies terlihat sangat menguasai tempat ini. Perempuan yang kini sibuk bermain sinetron Kiamat Sudah Dekat 3 ini biasanya dua kali sepekan ke salon tersebut. Biasanya, dia datang bersama teman-temannya seperti Cici Tegal dan Mediana Hutomo. ”Saya tahu tempat ini dari Cici,” kata perempuan yang sudah setahun ini rajin mengunjungi Salon and Beauty Korea. ”Untuk menjaga tubuh agar tidak gemuk,” katanya, tergelak.
Hampir 10 menit kami berkubang di ruang berupa bak pemandian air dingin berukuran 30 meter persegi. Sambil berendam, Edies berulang melakukan gerakan senam dan menceburkan kepala di bak, sementara saya mengikuti gerakannya sambil menggigil kedinginan. ”Kalau sudah biasa nggak akan merasa kedinginan lagi.” Kemudian ia mengajak saya naik dan masuk kembali ke ruang sauna.
Kami berdua melakukan hal yang sama sebanyak tiga kali. Menurut Edies, seperti yang didengarnya dari sang pemilik yang berasal dari Korea, sebaiknya perpindahan dari ruang sauna ke kolam dingin tidak lebih dari lima kali. Bahkan mereka yang mengidap jantung atau penyakit disarankan tidak lebih dari dua kali. ”Kalau kebanyakan malah bisa berakibat fatal,” kata Edies.
Kami kemudian melanjutkan ”perjalanan” ini ke ruang temiri atau ruang gosok pemijatan. Di ruangan berukuran 50 meter persegi ini terdapat dua tempat tidur dari besi seperti yang dipakai di rumah sakit. Di ruangan ini juga tersedia ember besar dan selang yang mengucurkan air dingin dan panas. Lagi-lagi, kami menanggalkan kimono dan menjalani perawatan ini dengan tubuh telanjang.
Pertama-tama kami disuruh tidur menelungkup. Dada dan punggung belakang kami disiram dengan air berulang kali sambil digosok waslap atau handuk kecil berulang kali. Waslap ini terbuat dari kain wol bahan dasar handuk bercampur busa atau spons. Alatnya dibawa langsung dari Korea, bukan waslap biasa yang dijual di supermarket. Saat proses penggosokan saya merasakan kotoran atau daki yang melekat di tubuh langsung ke luar.
Dari ujung kaki sampai ke tengkuk bagian belakang tubuh kami digosok. Tidak ada yang terlewat. Rasanya persis seperti bayi yang sedang dimandikan. Selesai tubuh bagian belakang, terapis menggosok tubuh bagian depan dengan posisi telentang. Saya menoleh ke dipan sebelah tempat Edies tergolek. Rupanya ia sangat menikmati perawatan ini. Matanya terpejam. Proses penggosokan ini berlangsung setengah jam.
Selesai proses penggosokan tubuh kami dikeringkan dengan handuk untuk melanjutkan perawatan pemijatan. Sebelumnya kami ditawarkan minyak yang akan dipakai. Ada minyak lavender, lotus, melati, mawar, dan zaitun asli dari Korea. Kami berdua memilih minyak zaitun yang katanya berkhasiat menghaluskan dan mengencangkan kulit. Kami menikmati proses pemijatan seluruh tubuh selama 20 menit. Setelah itu, kami dibiarkan sekitar 25 menit.
Selama setengah jam berikutnya, kami dilulur. Saya memilih scrub rumput laut yang bermanfaat untuk menghaluskan dan membuat kulit tampak muda, sedangkan Edies memilih alpukat untuk membantu melembabkan dan menghaluskan kulit. Perawatan dilanjutkan dengan membersihkan bagian wajah atau muka. Sambil menunggu scrub meresap di tubuh, wajah kami dibersihkan, baru kemudian diberi masker buah mentimun. Rambut pun dikeramas berulang kali.
Setelah scrub atau lulur yang meresap di tubuh kering, kembali dilakukan penggosokan seperti pada perawatan awal. Hal yang sama pun berlaku untuk bagian wajah. Setelah itu, tubuh kami disiram susu segar dan madu berulang kali, yang dibiarkan meresap. Katanya, pemberian kedua bahan ini untuk mengencangkan dan menghaluskan kulit setelah melalui serangkaian perawatan tadi. Selanjutnya, tubuh kembali disiram dan dibilas air hangat, baru kemudian dikeringkan. ”Selesai sudah,” kata Edies.
Secara keseluruhan proses perawatan itu memakan waktu hampir empat jam. Cukup melelahkan, tapi saya merasa berbeda. Tubuh terasa enteng dan segar. Hanya saja, saya tidak tahu berapa banyak berat badan saya berkurang. Edies mengakui, sore itu ia sudah kehilangan berat badan hampir sekilo. Lumayan untuk Rp 200 ribu sekali datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo