Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VIRNIE Ismail identik dengan kecantikan dan kecentilan. Perempuan 28 tahun itu dikenal dengan suaranya yang renyah, senyumnya yang merekah, dan kulit kuning semringah. Penggemar acara komedi Extravaganza mengaribi Virnie sebagai pemain yang tampil genit dan menggemaskan.
Untuk menjadi Virnie yang jelita, pasti perlu usaha. Dengarkan kisahnya. Virnie mulai memperhatikan kecantikan kulitnya sejak SMA. Setiap pekan dia membalur tubuhnya dengan lulur putih atau kunyit. ”Sejak itu, merawat kulit dengan lulur sudah menjadi kebutuhan,” kata Virnie. ”Kalau nggak begitu, kulit rasanya tidak bersih.”
Kebutuhan Virnie merawat tubuh meningkat menjadi keharusan ketika dia mulai masuk ke dunia hiburan. Syuting berlama-lama di bawah sinar matahari membuat kualitas penampilannya menurun. Maka, tak puaslah dia sekadar merawat diri dengan cara sederhana ala rumahan. Virnie mulai rajin datang ke tempat-tempat perawatan kecantikan, salon-salon tradisional dan modern.
Kebetulan, berbagai fasilitas spa mulai tumbuh menjamur. Menurut Manajer Umum Tamansari Royal Heritage Spa, I Made Tangkas, spa di Indonesia mulai berkembang sejak akhir 1990-an. Karena fasilitas dan dana tersedia, Virnie pun rajin berburu tempat spa bahkan sampai ke luar kota. ”Biasanya tak sengaja ketemu waktu jalan-jalan,” kata Virnie, yang mengaku sudah mencicipi hampir semua tempat spa di Jakarta dan Bandung.
”Kalau ada waktu luang, saya memilih pergi ke spa,” kata Virnie. ”Anggap saja rekreasi.” Seperti di akhir Juni, ketika dia datang ke Dura Skin Center di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Selama enam jam Virnie tenggelam dalam kemanjaan dan kenyamanan paket perawatan mulai dari pijatan, lulur, aromaterapi, dan seterusnya. Hari itu Virnie memilih kopi sebagai lulur—konon, itu untuk merontokkan sel-sel mati. Maskernya cokelat, karena kulitnya cenderung kering.
”Tujuan perawatan ini adalah memberikan kesegaran pada tubuh, melancarkan peredaran darah, menjadikan kulit sehat, bersih, cerah dan lembut, serta mengurangi kepenatan,” kata Virnie lancar. Hanya satu jenis spa saja yang belum dia coba, yaitu spa vagina atau V-spa. ”Aku merasa jenis perawatan sampai ke situ belum perlu,” katanya.
Menurut Virnie, dia baru akan butuh V-spa jika sudah menikah. Tapi, yang pasti, tujuan utamanya adalah membuka usaha spa sendiri. Mimpi lainnya: dia ingin punya rumah dengan ruangan khusus untuk spa. ”Jadi, kalau nanti berantem dengan suami, masuk saja ke situ,” katanya sembari tergelak.
Cerita Virnie dengan ”petualangan” spanya sedikit banyak mencerminkan bagaimana masyarakat modern kota memilih cara tetirah singkat (get away) dari rutinitas sehari-hari. Meskipun tidak ada data yang pasti, bisa diperkirakan jumlah orang yang kecanduan spa, cukup rutin datang atau sekadar sekali-kali coba-coba berbagai perawatan spa, makin besar. Itu terbukti dengan makin banyaknya tempat spa atau yang hanya berlabel spa.
Berbagai macam perawatan spa pun bermunculan. Menurut Made, pada mulanya, awal 1980-an, yang disebut spa terbatas pada steam, jacuzzi, dan sauna. Namun, sejak akhir 1990-an berkembanglah berbagai macam perawatan. Kini, mungkin hampir semua organ tubuh ada perawatan spanya: rambut, wajah, gigi, kaki, payudara.… ”Lihat saja di pasar, apa jenis treatment yang belum ada, pasti kemudian muncul,” kata Made, yang berkecimpung dalam bisnis spa sejak jasa layanan itu dikenal di Indonesia ketika dibuka kompleks Nusa Dua di Bali pada awal 1980-an.
Apalagi untuk orang yang hidup di kota besar seperti Jakarta, ”Cepat tua dan nambah dosa karena sering marah-marah,” kata Virnie. Dengan ber-spa-ria, dalam waktu 1,5 jam saja—ini paket tersingkat perawatan dalam spa—orang bisa kembali segar dan merasa rileks. Kalau mau lebih afdol, ambil perawatan lebih dari dua jam dengan paket lengkap dari ujung kaki hingga kepala.
Untuk itulah, menurut Made, pengelola spa harus kreatif mengembangkan perawatan gabungan. Tamansari, misalnya, selain menawarkan paket perawatan gabungan dengan judul-judul menarik, seperti Ratus Javanese Royal Experience, Swarga Raras, juga memberi layanan a la carte atau satuan seperti spa kaki, spa rambut, spa tangan, dan spa vag—- itu tadi.
Spa gigi, misalnya, apa yang bisa dibayangkan? Rupanya, menurut Melly Wundari pemilik Mell’s Dental Spa, tujuan mendirikan spa gigi sejak 1,5 tahun lalu adalah untuk membuat orang tidak takut datang ke klinik gigi. Intinya, Mell’s menawarkan semua jenis perawatan dan pengobatan gigi, mulai dari membersihkan karang gigi hingga operasi. Nah, unsur spanya terletak pada ruangan, aromaterapi, musik, juga perawatan seperti spa tangan dan kaki, setelah urusan gigi beres.
Untuk perawatan gigi di atas Rp 2 juta pelanggan dapat bonus pijat. Lumayan, kan, habis operasi gigi teraduh-aduh, berikutnya adalah spa santai dan nyaman. ”Ini sebenarnya cara saja agar orang tidak takut ke dokter gigi,” kata Melly, yang juga dokter gigi namun mengaku memiliki gigi tidak bagus dan takut pergi ke dokter gigi.
Bagaimana pula dengan spa ”yang satu” tadi itu? Menurut Made sama saja: spa ini muncul karena pasar memang menghendaki, yaitu sejak dua-tiga tahun lalu. Lellidewi, pendiri Lellidewi House of Beauty & Wellness, tempat yang punya spesialisasi totok, membuka totok sintal alias totok vagina sejak dua tahun silam, juga karena permintaan pelanggan. ”Saya menerima keluhan dari ibu-ibu yang suaminya sering komplain,” katanya.
Memang, perawatan khusus organ intim perempuan ini dipercaya meningkatkan kualitas dan kesehatan sang organ. Caranya mulai dari dibasuh, dipijat di area tubuh lain namun yang berdampak baik pada organ tadi, diasapi dengan aroma tertentu, serta diberi jamu. Meskipun masih ada kontroversi apakah perawatan ini benar-benar higienis atau tidak, V-spa termasuk jenis spa yang paling banyak menyedot peminat.
Menurut Made, spa modern adalah tempat yang mampu menstimulasi lima indra. Pemandangan dan suasana tempat untuk mata, wewangian aromaterapi untuk indra penciuman, musik untuk telinga, minuman, jamu atau hidangan untuk indra perasa, pijitan, totok untuk indra sentuhan. Dan apa pun jenis perawatannya, spa selalu bermuara pada ”kata-kata ajaib” seperti rileks, bugar, peredaran darah lancar, tubuh bersih dari racun-racun polusi, lebih bervitalitas dan bergairah, cantik, kelihatan muda, dan seterusnya.
Beberapa perawatan spa bahkan ada yang mengklaim mampu menyembuhkan sakit kepala seperti migrain. ”Tapi, itulah yang membuat orang kemudian kecanduan spa,” kata artis dan produser film Christine Hakim, yang sudah menganggap spa sebagai kebutuhan, bukan lagi ”sekadar” gaya hidup.
Mengapa sampai menjadi kebutuhan? Konon, karena orang yang datang merasakan langsung hasilnya pada tubuh. Christine, misalnya, mengaku mulai menikmati spa ketika tinggal di Jepang selama setahun untuk syuting film pada 1993-1994. Kota kecil tempatnya tinggal sangat terkenal dengan onseng atau mata air panas. Ketika Christine mencoba kebiasaan orang Jepang berendam di onseng, dia langsung merasakan faedahnya. ”Karena onseng mengandung belerang, dia punya kemampuan menyembuhkan,” katanya.
Setelah itu, spa—atau perawatan lain untuk relaksasi—menjadi sesuatu yang wajib dalam kehidupan Christine. ”Bagaimana lagi? Aktivitas saya begitu tinggi,” kata artis multipenghargaan ini. Pada akhirnya, Christine pun membangun beberapa fasilitas spa di rumahnya di kawasan Cibubur, Jakarta Timur. Ritualnya adalah pijat tradisional, berendam dalam kolam riak (whirpool) yang sudah ditaburi garam khusus, dilengkapi dengan wewangian aromaterapi lavender atau kayu putih. ”Enaknya spa di rumah adalah bisa langsung melompat ke tempat tidur, lalu tidur seperti bayi.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo