Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mandi

9 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jaya Suprana

  • Budayawan & Jamuwan

    AIR merupakan unsur vital kehidupan. Dapat dikatakan: tanpa air tiada kehi-dupan. Bagian terbesar tubuh manusia terdiri dari air, mulai air mata, air liur, air seni, air mani, keringat, sampai darah. Tanpa air tiada jenis satwa yang disebut ikan sampai amfibi. Bahkan mamalia seperti paus atau dolfin kerap keliru dianggap ikan karena hidup di air. Kebutuhan manusia atas air yang paling dasar dipenuhi dengan cara minum, namun—melalui peradaban dan kebudayaan—kemudian juga untuk mandi. Bukan berarti mandi monopoli manusia, sebab burung, kuda nil, gajah, pakibara, juga asyik memanfaatkan air untuk mandi. Kucing benci mandi, namun senang menjilati diri dengan air liur.

    Tujuan utama mandi adalah kebersihan, kemudian dikembangkan oleh manusia untuk kesehatan, bahkan merambah ke perilaku ritual sosial dan keagamaan. Kaum Nasrani di Israel dibaptis lewat upacara mandi di Sungai Yordan. Mandi merupakan bagian upacara pernikahan kebudayaan masyarakat Jawa. Pemanfaatan air untuk mandi dengan tujuan kesehatan berkembang di kawasan sumber air panas, yang kemudian dilengkapi dengan lumpur sampai rempah-rempah—atau mandi uap. Ternyata, mandi air panas juga bukan monopoli manusia, sebab para monyet di Jepang kerap berendam di kolam sumber air panas terdekat, terutama di musim dingin.

    Mandi uap merupakan kegemaran masyarakat Skandinavia. Kini, sumber air panas tempat manusia asyik dan gemar berkubang populer dengan sebutan spa. Kata ini berasal dari nama Kota Spa di bagian timur Provinsi Liege, Belgia, yang ramai dikunjungi publik untuk mandi di sumber air panas setempat yang kaya kandungan mineral. Beberapa bangsa memang eksplisit gemar mandi bukan hanya untuk tujuan higienis namun juga kultural maupun sosial, seperti bangsa Romawi di masa lalu atau Turki, Finlandia, dan Jepang sampai masa kini. Kunjungan ke Istanbul, ibu kota Turki, belum lengkap jika para turis belum berbasah-basah kuyup di Turkish-Bath.

    Di samping telepon seluler, mandi uap juga membuat Finlandia terkenal di dunia. Di Jepang, mandi bersama merupakan perilaku sosial penting. Kesepakatan bisnis sampai politis biasanya mudah tercapai setelah mandi bersama secara akrab. Laskar Romawi yang menjajah tanah Inggris sejak diajak Julius Caesar menyeberang ke sana mewariskan perilaku mandi air hangat kepada bangsa Inggris, yang dilestarikan sampai kini dalam nama sebuah kota, Bath. Kota kecil dekat perbatasan England-Wales itu kini menjadi salah satu tujuan wisata utama Inggris, yang setiap tahun dikunjungi jutaan wisatawan dari segenap pelosok dunia. Dan sesuai dengan namanya, kini Bath memang termasuk daftar World Heritage-nya UNESCO berkat permandian air panas warisan budaya mandi kaum Romawi.

    Berdasarkan legenda, Kota Bath didirikan Bladud, ayah Raja Lear, yang pada 863 disembuhkan berbagai jenis penyakitnya setelah mandi air panas di rawa-rawa setempat. Kemudian orang-orang Romawi mendirikan spa di sana, yang secara pasang-surut dilestarikan bangsa Inggris sampai ke zaman modern. Tanpa spa tiada Kota Bath. Industri spa dalam berbagai bentuk kemudian berkembang merambah ke seluruh penjuru dunia, sampai masa kini seperti di Aachen, Jerman yang menggunakan air panas kaya kandungan belerang seperti juga di Baden (bahasa Jerman yang berarti ”mandi”) di Austria. Bahkan ada kota di Jerman yang tidak puas cuma sekali bernama ”mandi”, maka bernama Baden-Baden, yang terkenal dengan air panas mengandung garam karbonat, sama dengan Saratoga Spring, New York, USA. Bahkan sebuah hotel di mana pun kurang layak menyandang bintang, apalagi sampai lima, jika tidak mempersembahkan pelayanan spa.

    Di Indonesia sumber air panas alami dapat kita jumpai di berbagai lokasi tradisional seperti di Maribaya, Ciater, Dieng, Guci, Ciawi-Garut, Cikotok, Ungaran, dan lain-lain. Mulai akhir abad ke-20 tradisi spa juga berkembang di Indonesia menjadi industri modern yang lukratif. Salah satu ciri spa khas Indonesia yang membedakan dengan spa di negara lain adalah penggunaan rempah-rempah dan tanaman berkhasiat yang diramu dalam bentuk lulur, untuk melengkapi peran utama yang tentu tetap dipegang oleh air. Cara memakai lulur adalah melumurkannya ke sekujur tubuh, kemudian dibiarkan melekat di kulit sampai waktu tertentu sebelum dibilas dengan air. Dalam tradisi perawatan kecantikan paham kebudayaan Jawa kuno, lulur merupakan pasangan eksternal jamu yang diseduh dengan air untuk diminum. Namun, sebenarnya, tradisi mandi keraton Jawa dan Bali lebih mengenal mandi air biasa ketimbang mandi air panas. Mandi air hangat di sumber-sumber alami lebih dikenal sebagai upaya merawat kesehatan sampai ke rakyat jelata. Adapun mandi rendam air biasa bahkan merambah ke dunia mistik, karena dianggap merupakan bagian dari bertapa sampai memperoleh kesaktian atau daya linuwih.

    Di dalam mitologi Wayang Purwa, jabang bayi Tetuko dimandikan bukan cuma di air biasa atau air panas, tetapi di lumpur panas kawah Candradimuka. Sayang, lumpur panas yang menggenangi kawasan Sidoardjo abad ke-21 tidak bisa didayagunakan untuk spa, sebab beracun. Alih-alih spa di Lusi ( Lumpur Sidoardjo) menjadi sehat dan bugar, malah jatuh sakit bahkan binasa! Di lembaga fitness-centre atau pusat kebugaran, setelah para pelanggan memubazirkan energi ragawi mereka, kerap pula tersedia spa dengan berbagai pelayanan mulai dari mandi air hangat, mandi uap, sampai massage alias pijat. Pijat pun beraneka ragam jenis, mulai dari yang tradisional, Swedish, shiat-su, sampai ke yang paripurna entah bagaimana saja. Para pengusaha spa Indonesia bukan saja merajalela di negeri sendiri, namun merambah sampai ke Tokyo, London, dan Los Angeles. Akibat bangsa Jepang terkenal gila spa, maka perusahaan jamu tertua Jamu Jago bahkan membuka spa di Pulau Bali dengan sasaran konsumen utama bukan pribumi, namun para turis khusus dari Jepang!

    Memang spa potensial menjadi daya tarik industri wisata luar bisa atraktif seperti telah terbukti nyata di Bath, Baden, Baden-Baden, Saratoga Spring, dan tentu saja Kota Spa itu sendiri! Kini spa tersebar luas di berbagai pelosok Nusantara, baik yang memenuhi syarat maupun tidak. Sayang, di balik gemerlap memang selalu ada yang kusam. Akibat perawatan spa memang dilakukan terhadap tubuh telanjang, maka muncul berbagai prasangka tidak terlalu positif terhadap citra spa itu sendiri. Mengenai apakah kenyataan sesuai kecurigaan, sulit dibuktikan kecuali apabila semua yang terjadi di spa direkam. Namun, jika sistem kontrol itu diterapkan, jelas para konsumen enggan berkunjung ke spa akibat hak privasi mereka terancam. Maka, seyogianya eksistensi spa diterima dengan hati jernih berasas praduga tak berdosa. Suka tak suka, mau tak mau, memang kebutuhan mandi manusia di masa kini telah berkembang menjadi sekadar keinginan terhadap produk-produk bersifat trendy plus life-style seperti health-centre yang pada prinsipnya sebenarnya tak beda jauh dari snobisme, gengsi-gengsian pematri status sosial semu yang secara komersial dan industrial asyik dieksploitasi oleh lembaga-lembaga spa di segenap pelosok marcapada ini, termasuk Nusantara.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus