BIOSKOP Rivoli di Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta -- yang dibuka tahun 1967 -- adalah istana film nehi-nehi. Dahulu kapasitasnya 1.000 kursi, tetapi sejak distribusi film dikelola satu tangan, separuh kursinya rontok. Toh bioskop ber-AC yang kursinya lumayan empuk itu tak pernah melompong. Dengan tiket Rp 2.500-3.500 -- anggota ABRI malah gratis -- sehari Rivoli bisa menjaring 100 penonton. Jadi, setidaknya, dengan sewa film Rp 200 ribu sehari, sang pemilik, H. Shahlani, bisa mengantungi Rp 6 juta sebulan. Tapi itu belum dipotong ongkos listrik Rp 2 juta dan honor 26 pegawai. "Kalau tak rugi saja sudah bagus," ujar Shahlani. Film India memang komplet, seperti nasi goreng. Tak heran jika Hasanah, 29 tahun, tergila-gila. "Habis, ceritanya enak. Lurus. Ada persoalan keluarga, percintaan, seperti pengalaman diri sendiri saja. Aktornya juga gagah dan goyangan tariannya aduhai," komentar janda pengagum Aktor Mithun Chakraborty itu, kenes. Bioskop Soboharsono yang terletak di pojok alun-alun Yogyakarta mencatat pengalaman: film India lebih laris daripada film Indonesia, apalagi film Barat. Padahal, karcis film Indonesia lebih murah Rp 200 dari film India yang Rp 900 di malam hari. Soalnya, penonton sering kecewa dengan film Indonesia. Seperti film Tombak Pamungkas, sudah bintangnya tak dikenal, penggarapannya asal jadi. Akibatnya, penonton berteriak-teriak, sampai merusak kursi segala. Kalau film India, "menyuguhkan tarian dan musik yang menghibur," kata Sutadi, sopir bus luar kota, pengagum artis Amithabachan dan Sashi Kapoor itu, membandingkan. Seorang penonton lain juga sependapat, "Goyangan tarian India menghilangkan stres," ujar bekas mahasiswa itu kepada wartawan TEMPO M. Farid Cahyono. "Film India memang kelasnya di bawah," kata Djiwat, Dirut PT Bola Dunia Film (BDF), salah satu anggota asosiasi importir film Asia non-Mandarin. Djiwat tidak khawatir tak kebagian penonton. Di Jakarta saja, kira-kira ada 50 bioskop kelas bawah yang kerap memutar film-film India. Sampai saat ini kuota film non-Mandarin ada 35, terdiri dari 50% film India. Tahun lalu BDF mengimpor 17 film, tahun ini baru empat. Tak seperti film India, film Mandarin ternyata mendapat tempat di bioskop kelas atas. Dari 10 layar di bioskop Empire 21, Bandung, yang dua pasti memutar film Mandarin. Memang tidak sampai full house, tetapi penontonnya lumayan banyak. "Setidaknya dua kali seminggu saya nonton. Salah satunya pasti film Cina," kata gadis berjilbab, Mira, kepada Achmad Novian dari TEMPO, usai menonton Mighty Gambler. Namun, di Bandung Theatre yang punya empat layar, film Mandarin sering anjlok. Apalag kalau disejajarkan dengan, misalnya, film legenda tanah Sunda, seperti Si Rawing. Ini berbeda dengan Bengkulu. Di Bengkulu Theatre, jika film Mandarin diputar, penonton film Indonesia merosot sampai 50%. Bila ditelusuri sejarahnya, film India ternyata sudah bercokol di Indonesia sejak tahun 1935. Bahkan, tokoh film Usmar Ismail pernah mengimpor film Sujatha. Djamaluddin Malik pernah pula mengimpor film Boot Polish. Kedua film itu mendapat kehormatan diputar di bioskop Menteng, bioskop paling bergengsi di Jakarta waktu itu. Kesuksesan itu pula yang membuat Djamaluddin membuat film Djandjiku, film Indonesia yang 100% bernapaskan India. Dan, hebatnya, laris betul. Sutradara Asrul Sani pernah mengatakan, dahulu saingan film Indonesia memang film India dan Mandarin. "Tapi sekarang tidak lagi," katanya. Semua film punya kelasnya masing-masing. Di kelas bawah, kalau mau laris, film India mesti bertema hiburan. Kalau film Mandarin, mesti yang action atau silat. Sedangkan film Indonesia, kalau bukan silat, ya ... yang mistik, banyolan, dan buka-bukaan. Maka, film-film drama, sejarah, atau jenis lain yang pakai mikir, silakan bersaing di kelas atas. Sri Pudyastuti R., Wahyu Muryadi, dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini