Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Film indonesia ketinggalan kereta

Para insan film datang ke dpr memprotes praktek monopoli peredaran film asing yang dilakukan su- bentra grup. sudwikatmono menyangkal. film indone- sia punya tempat di kelas menengah ke bawah.

13 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sudwikatmono menyangkal praktek monopoli. Film Indonesia sudah punya tempat di kelas menengah bawah. Perlukah film bermutu dimasyarakatkan? DENGAN sikap tenang, berbaju putih, dan berdasi biru bercorak garis-garis, Sudwikatmono, 57 tahun, muncul di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis pekan lalu. Meski ia berkibar sebagai pengusaha terigu, semen, pasar swalayan, dan bank, kali ini kehadirannya untuk urusan film dan bioskop. Ketua Asosiasi Importir Film Mandarin (AIFM) ini diundang oleh Komisi IX DPR -- yang antara lain membawahkan bidang kebudayaan -- sebagai bos PT Subentra dan PT Suptan. Status undangan ini sempat diprotes Dwi -- demikian ia biasanya dipanggil -- karena menurut dia undangan dengar pendapat masalah peredaran film itu seharusnya ditujukan pada MEPI (Masyarakat Ekonomi Perfilman Indonesia). Anggota MEPI terdiri dari para pengusaha bioskop, produser, pengedar film Indonesia, dan pengimpor film asing. Namun, Komisi IX DPR memang maunya mengundang Subentra Group karena perusahaan inilah yang dituding menguasai peredaran film asing yang membuat film nasional terjepit. Praktek tata edar yang tidak beres itu tercium oleh kalangan perfilman nasional sejak sekitar dua tahun lalu. Dan belakangan kalangan film ini makin panik setelah bulan lalu anggota asosiasi eksportir film Amerika (MPEAA) merangkul Subentra untuk mengalirkan film-film Hollywood ke Indonesia (TEMPO, 29 Juni 1991). Buntutnya, para artis dan pekerja film ramai-ramai datang ke DPR. Dijurubicarai Eros Djarot, rombongan orang film ini menyampaikan unek-uneknya ke Fraksi Karya Pembangunan, Kamis dua pekan lalu. Mereka mendesak praktek monopoli dalam peredaran film dan perbioskopan di Indonesia dihapuskan. "Kami meminta segala bentuk peraturan (de jure) dan praktek lapangan (de facto) yang bersifat merugikan laju pertumbuhan film nasional dikoreksi dan diperbaiki secara menyeluruh," ujar Eros. FKP, yang diwakili Krissantono, sependapat bahwa praktek monopoli merugikan. Hanya saja ia ingin bersikap adil dengan cara meminta keterangan dari pihak yang dituding, yakni kelompok Subentra itu. Eros pun cepat menangkap kesempatan. la minta rombongannya diperbolehkan ikut mendengar jawaban dari pihak Dwi dan kawan-kawan. Setelah diterima FKP, lima hari kemudian delegasi perfilman melaporkan keluhan yang sama ke Fraksi ABRI. Selain itu, juru bicara Eros Djarot minta DPR bisa menyatu-mejakan kelompok mereka dengan pihak yang, katanya, pandangannya berbeda. "Kami ingin dikonfrontir dengan Departemen Penerangan," kata Eros. Alasannya, "Tidak jelasnya keberpihakan Deppen dalam pembangunan film nasional." Selama ini, katanya lagi, kelompok penentang monopoli dan Deppen hanya bisa berdebat mulut ala pokrol bambu di media massa. Padahal, kalau mereka dipertemukan, masalahnya bisa selesai seperti dialog antara bapak dan anak. Tapi sampai pekan ini, belum terdengar rencana mempertemukan kalangan film ini dengan Deppen. Yang baru dilakukan, ya, pertemuan Komisi IX DPR dengan Dwi dan kawan-kawan tadi yang mengatasnamakan MEPI. Di ruang rapat yang penuh sesak itulah Dwi tampil sebagai bintang. Sejumlah wartawan media cetak, TVRI, RCTI, dan TPI meliputnya. Dwi didampingi Zoraya Perucha dan Turino Djunaedi dari PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia) dan Johan Tjasmadi dari GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) membacakan makalah "Sekilas Perfilman di Indonesia". Setengah jam setelah acara dimulai, ada sedikit kegaduhan. Eros dan kawan-kawan -- sekitar 55 orang -- berbondong-bondong masuk ke ruangan itu. Mereka datang terlambat. Beberapa anggota DPR di ruangan itu sempat memperingatkan bahwa status rombongan ini hanya sebagai pendengar pasif. Maksudnya supaya tidak ada adu mulut di gedung wakil rakyat itu. Slamet Rahardjo menjawab, "Saya hanya menggunakan hak saya sebagai warga negara untuk ikut mendengarkan." Nyatanya, memang aman-aman saja. Dengan santai Dwi menyatakan "Tidak benar ada monopoli." Asosiasi importir film yang ada sekarang ini justru fungsinya positif, membantu Pemerintah membeli, mengimpor, dan mengedarkan film impor. Padahal, sebelumnya, "Sampai tahun 1980, kondisi peredaran film impor dapat dikatakan semrawut." Peredaran film Indonesia, kata Dwi, sudah dijamin oleh anggota MEPI, yaitu PT Perfin (Peredaran Film Indonesia). Perfin setiap triwulan mengatur jadwal pemutaran film nasional di berbagai tingkat bioskop. "Usaha itu agar film Indonesia mendapat penonton sebanyak-banyaknya," kata Dwi. Soal perkembangan gedung bioskop belakangan ini, kata Dwi lagi, justru untuk memenuhi kebutuhan penonton. Sebab, hanya dalam tempo empat tahun, jumlah gedung itu sudah meningkat hampir dua kali lipat, dari 1.640 pada 1986 menjadi 3.080 sampai tahun lalu. Mengambil ukuran UNESCO, rasio gedung bioskop dan penduduk adalah 1 : 50 ribu. Dengan raso ini di Indonesia yang penduduknya 180 juta dibutuhkan 300 bioskop. "Jadi, masih kurang 520 gedung atau layar saja," katanya. Soal menjamurnya sinepleks belakangan ini, Dwi -- penggemar Charles Bronson dan Meriam Bellina itu -- mengatakan bahwa tujuannya untuk melayani keinginan masyarakat pada sarana hiburan yang up to date. "Coba, kalau Bapak-Bapak disuruh milih bioskop yang tidak pakai AC dan banyak kutu busuknya atau bioskop 21, pilih mana?" tantang Dwi. Anggota DPR hanya tertawa. Selepas ia menguraikan pendapatnya, suasana menghangat. Anggota DPR melontarkan pertanyaan dengan gencar. Yang banyak ditanyakan adalah praktek monopoli yang mematikan film nasional. Tapi Dwi dengan tangkas menjawab, "Di daerah, penonton film nasional sangat banyak." Dan, katanya lagi, kalau film nasional tidak diputar, itu bukan karena monopoli. Pengedar film di daerah tidak mau membeli film nasional karena kekurangan modal. Hanya saja, mereka suka membawa-bawa nama Sudwikatmono untuk berlindung. Umpamanya kalau pengedar ini ditegur Pemda karena tak memutar film nasional, sering menjawab: ini perintah dari pusat, dari Pak Dwi. "Padahal, tidak," ujar Dwi. Yang menarik adalah ucapan Sekretaris Umum GPBSI Johan Tjasmadi. "Bila dikatakan film Indonesia susah masuk bioskop, itu omong kosong," katanya dengan suara serak. Film Indonesia, katanya, sudah lama masuk ke bioskop menengah ke bawah. Ia menyebut perbandingan film Indonesia dan film impor tahun lalu. Dari 112 stok film dalam negeri dan 160 jumlah film impor, penonton film Indonesia ada 191,4 juta sedangkan penonton film impor 138,6 juta. Meski secara angka sudah menang, ada persoalan yang lebih besar di baliknya. "Saya sendiri kurang puas, Mas Eros kurang puas, Christine Hakim juga tidak puas, karena kita kepingin film Indonesia duduk di kelas yang sama dengan film impor di bioskop kelas I," kata Johan. "Tapi mampukah kita membuat film sebagus film impor untuk duduk bersama-sama?" kata Johan menantang. (Padahal, banyak film impor yang tak bermutu juga diputar di bioskop-bioskop kelas I). Agaknya sulit. Nasib film nasional tengah busuk. Produser film berteriak tak mendapat pasar yang layak. Harga dibanting seenaknya oleh distributor yang diam-diam telah terbentuk sehagai mandor pasar film di daerah. Lebih kurang itulah keluhan pemilik Virgo Film Ferry Anggriawan dan Ketua Karyawan Film dan Televisi Sophan Sophiaan. Anehnya, distributor film terbesar di Jawa Tengah dan Yogyakarta, Sanggar Film, ikut sesambatan. Sanggar itu mengaku 30 film nasional yang dibeli flat tertahan di gudangnya. Antara lain Sumpah Pocong Ismail Subardjo dan Max Havelaar. Mereka tak berdaya menandingi film-film Barat macam Ghost. Bambang Pitojo, Kepala Divisi Produksi Sanggar Film, membantah bahwa film nasional hanya menjadi pelengkap film impor. Buktinya, bioskop-bioskop yang khusus diproklamasikan sebagai bioskop film nasional, seperti Gajah Mada Theater, di Semarang, kini memble. Padahal, dahulu setiap bulan bisa menelan pemasukan kotor Rp 20 juta. "Sebabnya juga karena tidak ada film yang kuat," kata Bambang kepada Dwi S. Irawanto dari TEMPO. Film kuat itu seperti apa? Menurut selera pasar tahun terakhir, dari tawaran 81 judul film, yang paling disukai adalah Saur Sepuh Ill. Film itu meraup sekitar 1,2 juta penonton. Disusul Sabar Dulu Dong dan Mana Bisa Tahan, masing-masing mengumpulkan 821 ribu dan 665 ribu penonton. Kecenderungan ini tidak bergeser dari tahun sebelumnya yang dijajah Saur Sepuh II, Si Kabayan Saba Kota, dan Malu-Malu Mau. Artinya, film Indonesia yang disukai adalah jenis silat berdasarkan legenda dan komedi konyol. Menurut Budiati Abiyoga, produser masuk ke kelas menengah bawah -- 60% dari pasar film Indonesia -- lewat celah selera penonton pada film bertema sederhana yang mudah dimengerti. "Film-film yang menggambarkan baik buruk secara hitam-putih dalam bungkus keseharian mereka," ujar bos Prasidi Teta Film itu. Parkit Film ahli memainkan peluang itu. Perusahaan ini bagaikan pabrik. Kedelapan seri film banyolan Warung Kopi, sampai serial Kanan Kiri Oke I - III (dibintangi Kadir, Doyok, Nurul Arifin) adalah miliknya. Tak ada yang tidak dinobatkan box office, dan Parkit mampu bertahan 18 tahun. "Tema film kami sederhana, ingin menghibur masyarakat," kata Raam Punjabi, Direktur Utama Parkit. Film ini ternyata juga laku di bioskop kelompok 21 yang karcisnya Rp 5 ribu sampai 10 ribu. "Kami realistis saja. Film seperti itu mendatangkan penonton," kata Yasman Yazis, sutradara Kanan-Kiri Oke. "Film-film Warkop saya meledak di pasaran. Ini kan bukti bahwa film saya menurut penonton sudah cukup baik," ujar Arizal kepada Sri Raharti Hadiningrum dari TEMPO. Untuk laku, selain memasang bintang Rp 30 jutaan, Parkit mengeluarkan biaya iklan Rp 50 juta per film. Ini belum seberapa dibanding Kanta Indah Film penghasil Saur Sepuh. Biaya produksi serial Saur Sepuh, rata-rata Rp 500-Rp 600 juta per film. "Biaya iklannya hampir sama dengan ongkos produksi," kata Herman Dial, produser pelaksana Saur Sepuh, kepada Sandra Hamid dari TEMPO. Namun, sukses Saur Sepuh, menurut dia, karena kepopulerannya sebagai sandiwara radio. Jakob Sumardjo, kritikus sastra, melihat bahwa genre film silat adalah kelanjutan tradisi tontonan rakyat. Adegan-adegan ajaib, kepala terpenggal, silat terbang, manusia menghilang, sudah hadir sejak tahun 1890 di zaman sandiwara Stamboel sampai Dardanella. Jadi, kalau Saur Sepuh digemari, itu karena "Penonton terbiasa dibesarkan lewat cerita-cerita babad di daerah masing-masing," kata Jakob. Yang tidak adil, bila produksi film nasional hanya melayani penonton berbudaya daerah semacam itu. Namun, dalam menciptakan seniman film profesional untuk melahirkan film semacam itu, pemerintah dan swasta mesti campur tangan. "Orang dagang jangan hanya menjadi binatang ekonomi, tapi juga harus mengerti corporate culture," kata Eros Diarot, lulusan jurusan sinematografi International Film School di London. Sebab, film-film bermutu membutuhkan biaya tak sedikit. Baru merencanakan skenario saja, ruang gerak penulisnya sudah dibatasi. "Kita dipaksa menjauhi cerita kehidupan sehari-hari," kata Eros lagi. Sebab, umpamanya ingin membuat film yang tokohnya gubernur korup, polisi menyeleweng, "belum apa-apa sudah kena sensor." Akhirnya, film semacam Kembang Kertas terpaksa mengambil setting "antah berantah". Yang lahir akhirnya, film yang lari dari kenyataan, film dengan budaya plastis. "Saur Sepuh dan Catatan si Boy itu jauh dari realita," kata Eros. Sementara itu, sutradara Nasri Cheppy menyatakan, dalam impitan ekonomi sekarang ini, masyarakat membutuhkan film-film "mimpi", seperti Catatan si Boy yang disutradarainya. "Karena kebanyakan masyarakat cuma bisa bermimpi," katanya. Teguh Karya tidak melihat ada jalur yang berlawanan antara film artistik dan film laris. "Film artistik pun bisa laku," katanya pada Iwan Qadar dari TEMPO. Dua-duanya bisa sejalan dengan satu syarat: film itu komunikatif. Ia mencontohkan antara lain Badai Pasti Berlalu dan Kejarlah Daku Kau Kutangkap. Menurut Teguh, film bermutu yang tidak laku sekarang ini sebabnya bisa jadi karena gagasan yang ditawarkan tak sesuai dengan zaman. Itu pengalaman Teguh sendiri dalam Ibunda, yang dimahkotai Citra tetapi pucat di pasar. Budiati Abiyoga, insinyur teknik penyehatan ITB, kini tengah melakukan sur vei untuk membuat film "yang lebih punya nilai kesenian, tapi masuk dalam toleransi intelektual kalangan menengah bawah". Film-film berbiaya murah tapi tidak murahan ini, katanya, untuk menyaingi gencarnya film impor. Ia telah mulai dengan film Cas-Cis-Cus. Tetapi masalahnya bukan hanya membuat film murah yang bermutu saja, tetapi bagaimana mengedarkannya. Lihatlah Slamet Rahardjo yang pahit oleh nasib Langitku Rumahku. Di tengah kelangkaan film anak-anak, PT Perfin menurunkan Langitku dari peredaran bioskop kelas I di Jakarta. Padahal, baru sehari main di sebelas gedung kelompok 21, setelah mengumpulkan sekitar 17 ribu penonton dalam lima belas hari putar di Djakarta Theater. Alasan Perfin, jumlah penonton di bawah batas angka minimal. Sebuah film dengan sederet penghargaan di dalam dan di luar negeri memang terasa tragis diperlakukan seperti itu. Siswo Sumarto, 74 tahun -- pemilik lima bioskop di Jawa Tengah dan Yogya -- melihat film nasional jadi film kelas II karena muncul sistem distributor tunggal di daerah. Bioskop tak punya pilihan ketika raja pengedar menetapkan persentase keuntungan pemutaran untuk film nasional atau film impor sama saja, 50% - 50%. Padahal, tiga tahun lalu, pembagian dari film nasional lebih besar. Antara 1950 dan 1970, tatkala perusahaannya, NV Perfebi, punya 17 bioskop di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogya, persatuan bioskop dapat memboikot film butut yang disodorkan distributor. "Sekarang tidak. Jangankan memilih judul, sering film yang sama ditawarkan dua kali," kata anggota DPRD DIY tahun 1956/1966 itu. Bunga Surawijaya, Sitti Nurbaiti, Leila S. Chudori, Wahyu Muryadi, Indrawan, Biro Yogya, Palembang`

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus