Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saya selalu dikambinghitamkan

Wawancara tempo dengan sudwikatmono tentang tudu- han monopoli pemasaran film impor dan persepsinya terhadap film indonesia.

13 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDWIKATMONO, pengusaha yang paling banyak disebut-sebut dalam urusan perfilman di Indonesia belakangan ini, sehari-hari berkantor di lantai 20 Wisma Indocement, Jakarta. Di sanalah wartawan TEMPO Leila S. Chudori dan Bunga Surawijaya menemui orang nomor satu Subentra Group ini untuk sebuah wawancara yang sangat panjang: dari pukul 9 pagi sampai pukul 3 siang, dengan jeda satu jam. Petikannya: Bagaimana komentar Anda tentang tuduhan monopoli itu? Sehagai importir film dan pengusaha film, saya selalu dikambinghitamkan. Sebenarnya, tidak ada monopoli. Saya selalu menjalankan tugas sesuai dengan aturan permainan dan garis-garis yang telah ditentukan oleh Deppen. Selama ini, apa saja usaha Anda untuk membantu film nasional? Pada tahun 1975/76, saya mengimbau kawan-kawan saya para importir, "Coba, sebagian keuntunganmu kumpulkan untuk bikin film nasional." Wah, waktu itu alot sekali, tapi toh jalan. Yang pertama diproduksi waktu itu adaiah Perkawinan dalam Semusim dan Kawin Lari. Jadi, itu Slamet Rahardjo dan Christine Hakim (yang membintangi film ini) sudah saya kenal sejak dulu. Lantas menyusul Badai Pastl Berlalu, dan Eros Djarot kan menangani musiknya. Itu semuanya dari Suptan, lo. Setelah Pak Sunarso menjadi Ketua Asosiasi Importir Film Eropa-Amerika, saya bilang, "Jangan sampai kita dituduh anti-film nasional, kita harus membikin film yang berbobot, yang seni. Kalau perlu, saya kasih bujet Rp 1 milyar. Coba bikin sekaligus lima film, tapi yang adil." Satu paket itu kemudian diserahkan pada Teguh Karya. Beberapa sutradara muda dilibatkan dalam produksi. Ternyata, yang berbobot hanya Ibunda, yang langsung ditangani Teguh Karya. Yang lain-lainnya picisan, tapi nggak apa-apa, yang penting anak-anak muda itu ada kerjaan. Kelimanya tidak mendatangkan untung. Padahal, film Ibunda mendapat sembilan Piala Citra, lo. Tapi keluhan distributor, dengan adanya jadwal film impor itu, mereka tidak leluasa lagi memutar film nasional. Misalnya, kalau film impor tidak diputar sesuai dengan yang dijadwalkan PT Suptan, maka tidak akan kebagian film impor. Tidak benar itu. Kan satu gedung biasanya ada empat layar. Makanya, sekarang dengan adanya MPEAA menunjuk PT Subentra, saya sudah menginstruksikan ahli pengedar, namanya Ridwan, agar nanti kita kontrol langsung pengedaran film impor. Distributor daerah otomatis akan mengedarkan film nasional. Memang mereka akan berteriak. Apa boleh buat, daripada saya dikambinghitamkan terus. Ini itikad baik, agar peredaran film nasional lancar. Apa definisi Anda tentang monopoli? Sebab, bagi banyak orang, PT Subentra dianggap memonopoli karena memiliki jaringan bioskop dan menguasai peredaran dan impor film. Monopoli jika menguasai keseluruhannya. Misalnya jika 3.300 bioskop dikuasai satu pihak. Lalu jika 160 judul dikuasai oleh satu tangan tanpa ada anggota lain, maka itulah yang disebut monopoli. Nah, kita lihat saja. Asosiasinya saja tiga: Importir Film Mandarin dengan enam anggota. Asosiasi Importir Non-Mandarin dengan lima anggota. Lalu Asosiasi Importir Film Amerika-Eropa dengan lima anggota. Tapi mengapa mereka di bawab satu manajemen dan satu kantor, yakni di PT Suptan? Begini. Menurut saya, sesuatu bisa berhasil jika ada saling pengertian dan kompak. Asosiasi kami sangat kompak. Bagaimana ceritanya bisa bekerja sama dengan MPEAA? MPEAA nggak bisa didikte, lo. Mereka menunjuk sendiri untuk bekerja sama dengan kami. MPEAA juga lihat sana-sini .... Benny Suherman ke Cannes dan ketemu para anggota MPEAA. Mereka berdialog. Di Cannes, mereka membentuk tim untuk meneliti di sini. Ternyata, kami dianggap nggak ada bandingan dalam soal profesionalisme, pengalaman, relasi, dan prasarana. Sudah dengar siapa importir yang ditunjuk oleh MPEAA selain yang di dalam asosiasi? Saya baru mendengar dari Deppen mereka menunjuk tiga nama. Tapi pemerintah Indonesia membolehkan menunjuk satu selain kami. Siapa pun importirnya, nantinya gabung dengan asosiasi. Nah, jadi importir yang ditunjuk nanti harus gabung dengan kami dong, kalau nggak ya namanya menyempal. Di negara-negara Barat, selain ada bioskop semacam sinepleks, mereka juga memiliki bioskop art yang khusus memutar film-film art yang memang penontonnya adalah kalangan tertentu. Apakah suatu hari Anda berminat membuat bioskop semacam itu? Inilah yang sudah saya usulkan kepada Pemerintah. Soalnya, satu importir wajib setor kalau nggak salah Rp 3 juta ke Deppen, setahu saya uangnya masih didepositokan. Ada banyak, lo, milyaran. Akan saya usulkan pada Pemerintah, mbok ya seniman-seniman berbobot itu, seperti Asrul Sani, Rosihan Anwar, Arifin C. Noer, Teguh Karya, dibantu. Kalau Eros Djarot sih banyak teman yang kaya, seperti Setiawan Djodi. Nah, kalau usul saya diterima, ya bagus. Apakah Anda merasa segalanya menjadi begitu mulus karena Anda masih bersaudara dengan Presiden? Terus terang, memang segalanya menjadi mulus. Itu biasa dan normal-normal saja. Tapi ingat, sebelum Pak Harto menjadi presiden, saya sudah dagang .... Waktu Pak Harto jadi presiden, kan saya memang kenal dengan menteri-menteri .... Itu saya akui, memang saya lebih gampang berkomunikasi. Misalnya, orang lain mau ketemu Harmoko harus sebulan, kalau saya sehari saja. Tapi itu tidak berarti gampang mendapatkan lisensi. Segalanya tetap melalui tender. Bagaimana sejarah Anda mulai tertarik pada bisnis film? Tahun 1970, saya sedang ekspor tengkawang, kopra, kopi. Dan rugi semua. Kebetulan saya bertemu dengan Benny Suherman dan adiknya, Bambang Sutrisno. Dua bulan mereka mengejar saya. Mereka masih pedagang film dan tekstil, masih kurus-kurus, dan datangnya pakai sekuter setiap hari .... Pertama-tama, mereka menawarkan menjadi sponsor pembuatan film Panji Tengkorak .... Saat itu saya masih hijau sekali dalam bidang film, tapi saya senang nonton sejak kecil .... Nah, tahun 1971, barulah kami berkecimpung di bidang impor film. Ya, PT Suptan itu. Su-nya itu kan Sudwikatmono. Apa Anda mempunyai gagasan untuk produksi film nasional? Untuk memajukan film nasional, harus ada sarana yang komplet. Saya lihat kekalahan film nasional dari film impor dalam soal teknis. Umpamanya soal pencucian film, dubbing, dan sound effect .... MPEAA berjanji akan membantu pemasarannya di luar negeri .... Kalau bisa, kita harus bikin film yang bermutu dan laku, dong. Tapi, katanya, selalu ada pertentangan antara kepentingan dagang dan cita-cita seniman film? Ya, memang nggak pernah klop. Memang Pemerintah melalui Deppen selalu mengatakan "Film bukan hanya tontonan tapi tuntunan". Tapi bagi kami, sebagai pengusaha, sebuah produksi film itu harus ada unsur komersialnya. Tanpa ada unsur komersialnya, lebih baik ditangani oleh Pemerintah, atau bujet Pemerintah diberikan pada seniman itu untuk ditonton bagi yang ingin menonton. Tapi film yang semata-mata menonjolkan idealismenya, segi kulturalnya, edukasinya, tanpa unsur komersial itu nonsens. Kami pengusaha, bikin film harus kembali modal. Meski Anda pedagang, bukankah lebih prestisius memproduksi film seperti Kawin Lari, Badai Pasti Berlalu, Ibunda, atau Pacar Ketinggalan Kereta daripada Catatan si Boy? Ya. Saya juga pernah punya gagasan, kita jangan membuat film yang komersial saja, tapi juga film yang betul-betul mempunyai rasa seni. Satu-satunya sutradara yang bisa menggarap serius, teliti, dan tidak terlalu komersial hanya Teguh Karya. Dari segi seni memang benar dipuji. Tapi dari segi komersial, kami perlu juga sutradara yang filmnya tidak begitu berbobot tapi bisa menyesuaikan selera penonton, seperti Nasry Cheppy. Ini dikombinasikan. Film Kawin Lari berbobot dan tidak terlalu merugikan dari segi komersial. Tapi yang paling saya akui Badai Pasti Berlalu. Film itu bagus dan kami untung. Itu pun sebetulnya pembuatannya atas advis saya. Saya tanya, novel mana yang paling laris, ternyata Badai Pasti Berlalu, lalu difilmkan. Hasilnya bagus sekali dan bermutu. Apa mimpi Anda dalam memajukan perfilman Indonesia? Yaaa, mimpi saya agar kita punya studio mini atau katakanlah Hollywood kecil, seperti yang di Los Angeles. Tapi kalau bisa studio outdoor yang background-nya memang gunung dan sungai sungguhan. Kami survei di Bogor, nggak cocok karena banyak debu semen. Sekarang yang kami utamakan adalah indoor studio dulu. Kami sudah dapat tanah di Bintaro seluas satu hektare. Sekarang karena ada tight money policy dan karena ribut-ribut ini, ya jadi agak terganggu. Investasinya sekitar Rp 250 milyar. Yang mahal adalah alat-alatnya. Berapa kali Anda nonton film dalam seminggu? Hampir setiap malam Minggu di 21. Di rumah juga ada layar mini. Tapi di rumah, malas .... Lebih senang lihat di bioskop, karena suaranya . . . wuaduh. Di rumah, biar pakai dolby, kalau nonton sendiri, ketawa sendiri, kayak orang gila. Film yang berkesan buat Anda? Saya senang film action atau film kungfu untuk rileks, nggak usah mikir. Kan saya stres terus .... Kalau film nasional yang bagus ... seperti Cinta dalam sepotong Roti itu, lantas yaaa Sepondok Dua Cinta. Saya juga lihat Langitku Rumahku. Menurut saya, secara obyektif, tekniknya bagus. Cuma soal kaya-miskinnya terlalu kontras. Mungkin yang ingin disampaikan bahwa orang kaya dan miskin itu memang bisa bersatu. Tapi saya ... bukan seniman, sih. Kalau Tjoet Nya' Dhien, terus terang ... wuah, yang main jadi Belanda persis betul. Adegan masalnya bagus. Make-up Christine Hakim bisa seperti orangtua. Aktingnya juga bagus. Dari semua perusahaan Anda, Subentra memberi penghasilan seberapa banyak? O, income Subentra paling kecil dibandingkan perusahaan holding saya yang lain. Dari segi keuntungan, Subentra duduk di peringkat terakhir. Indocement paling besar, kedua Bogasari, ketiga perusahaan real estate. Supermarket dan film itu income-nya kecil. Tapi ... bukan soal besar-kecilnya .... Kalau saya sudah terjun ke suatu bidang dan saya menyukainya, hobi saya, saya akan melakukannya. Aktor dan aktris yang Anda sukai? Aktor Barat saya senang Humphrey Bogart dan Charles Bronson. Aktor Indonesianya saya suka W.D. Mochtar, dia serius. Yang muda saya suka Rano Karno, orangnya cepat tanggap dan tidak kaku. Aktrisnya ... saya suka Meriam Bellina. Dia bisa menjiwai. Suatu hari Anda ingin bekerja sama dengan Eros Djarot dkk. membuat film? Belum ada angan-angan. Tapi secara prinsip bisa saja, sebagai produser kami tidak pernah mau cari musuh. Bisa saja kami rangkul mereka, tapi ya kalau saya dibikin sakit terus, ya, kill or to be killed. Saya nggak ada apa-apa dengan Eros dan Slamet. Saya ketawa aja baca kritik mereka. Logis. Mereka itu anak-anak muda, jiwanya bergetar. Menurut saya, mereka salah paham. Mulai pecahnya setelah Djarot merasa Tjoet Nya' Dhien diombang-ambingkan di daerah .... Itu orang yang menyalahgunakan nama saya, saya pecat, wong saya nggak pernah memerintah. Terus terang, saya bangga dengan film ini. Itu film nasional yang satu-satunya sesuai dengan gedung saya yang dolby system, sehingga film itu hidup betul .... Sampai saya mengundang Ibu Tien, "Bu, ini harus ditonton. Film kebanggaan, film nasional yang paling bagus." Kalau diminta main film, mau nggak? Wah, nggak ada tampang buat film ... ha-ha-ha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus