Perkawinan pelukis Belgia Le Mayeur dengan Ni Pollok di Bali dianggap ideal. Kini banyak pernikahan campuran antara bule dan orang Bali dituduh bermotivasi bisnis. Bule yang menikahi orang Bali yang mendambakan izin kerja dan tinggal. Orang Bali mengawini orang asing untuk tiket ke luar negeri dan menjaring modal. Aspek hukum perkawinan itu sering terlupakan. GEMURUH pesawat semakin mendekati bumi. Pramugari telah meminta penumpang mengikatkan sabuk pengaman. Saat itu, barangkali degup jantung lelaki bule itu semakin kencang. Bukan karena ia khawatir akan keselamatannya bila roda pesawat menjejak aspal Bandar Udara Ngurah Rai. Bukan, sama sekali bukan -- ia sudah terbiasa bepergian dengan pesawat terbang. Tetapi karena sebentar lagi ia menginjak Pulau Dewata. Ya, Bali yang beberapa tahun lalu menjadi tempat ia tinggal. Bali tanah leluhur seorang wanita yang dahulu amat dikasihi dan sempat memberinya dua anak. Di pulau itu pula, wanita dan dua anaknya kini berdiam. Ah, sudah seberapa besar Ni Wayan Ratna Folle dan Made Folle, anaknya? Tentu mereka sedang lucu-lucunya. Pesawat sudah mendarat. Lelaki tadi bergegas antre pada pemeriksaan imigrasi. Paspor Jerman Barat bernomor E 9508938 segera disodorkannya pada petugas. Walter Folle, lahir tanggal 17 Maret 1939 di Beyvillage. Tapi, Folle ....Folle, ah celaka, nama itu tertera dalam daftar hitam. Kedatangannya di Bali, bahkan di seluruh Indonesia, harus ditangkal. Walter Folle tak dibenarkan memasuki Pulau Kayangan. Maka, tanggal 13 November 1985 yang silam, petugas pun memaksa Folle terbang meninggalkan Indonesia dengan Garuda-898 menuju Sydney. Kejahatan macam apa yang telah diperbuat Folle? Tak ada -- ia hanya melanggar hukum. Ia tak punya IKTA -- Izin Kerja Tenaga Asing. Tetapi ia bekerja di sini, menjadi manajer La Taverna Hotel and Bar di Sanur. Ia juga mengawini Ni Made Lunas, yang menurut tudingan banyak orang semata agar bisa tetap bekerja di Indonesia. Perkawinan itu kemudian pecah. Dan perkara mereka pun beberapa tahun menjadi urusan Pengadilan Negeri Gianyar. Lain Lunas, lain pula Ketut -- ini bukan nama sebenarnya. Tahun 1980, gadis ini masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana, semester ke-6. Suatu malam pergilah Ketut ke diskotek. Dalam ingar entakan disko, ia berkenalan dengan Robert, warga negara Italia. Lalu keterusan: kawin, dan berbulan madu di Italia. Kemudian mereka berdua mendirikan perusahaan pakaian jadi di Denpasar, dan menjualnya ke Italia. Usaha yang tentu saja diatasnamakan Ketut itu maju pesat. Suaminya mondar-mandir antara Bali dan Italia. Dari hasil usaha itu, Ketut membeli rumah, juga mobil. Pokoknya, ia bisa hidup mewah. Ia juga dipercaya oleh bank untuk memperoleh kredit. Tetapi tahun 1985, terjadilah tragedi. Sementara suaminya berada di Italia, Ketut mengirimkan berkoli-koli pakaian jadi ke sana. Tapi apa yang terjadi, jangankan uang hasil penjualan barang, segores berita pun tak terdengar dari sana. Robert lenyap bagaikan air jatuh ke pasir. Tinggallah Ketut di Bali, dililit utang bank. Usahanya sama sekali ambruk dan kekayaannya pun habis amblas. Untunglah, ia masih punya uang sisa, yang kemudian dibelikan sebidang tanah di desanya, daerah Kediri -- Tabanan. Ini sebuah contoh kasus buruk pernikahan campuran, yang muncul di permukaan. Perkawinan dari pasangan yang berbeda kewarganegaraan kini makin banyak terlihat di Bali. Mungkin bisa disebut menggejala. Seakan bagian dari proses kesadaran masyarakat setempat yang makin merasa menjadi bagian penduduk dunia -- kendati punya warna tersendiri. Mereka merasa bukan orang-orang yang lain dan berbeda dari warga dunia. Kasus Lunas dan Ketut sempat mencuat menjadi bahan pergunjingan karena banyak sudah orang Bali yang sempat pontang-panting lantaran kawin dengan orang asing. Akibatnya, pernikahan campuran mulai diamati. Banyak orang bertanya-tanya: apakah pernikahan itu benar-benar didorong oleh keinginan untuk membentuk keluarga atau semata demi bisnis? Pertanyaan itu bagi I Ketut Mandra dan Putu Sudarma Sumadi -- keduanya dosen Universitas Udayana, Denpasar -- bukan pertanyaan penting. Biarpun begitu, mereka tertarik juga mengurusi soal kawin campuran. Mereka bikin penelitian. Karena mereka dari fakultas hukum, yang diteliti tentu aspek hukumnya. Yakni mengenai status kewarganegaraan orang yang kawin campuran. "Mengingat tingginya frekuensi perkawinan campuran di Bali," tulis mereka, penelitian itu diharap dapat membantu memberi "kepastian hukum". Profesor Ny. Soegiah Hardjono, dosen dan Ketua Laboratorium Perilaku -- Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, melihat kecenderungan kawin campuran pada orang Bali meningkat sejak tahun 1980-an. Kenaikan itu sejalan dengan makin terbukanya Bali bagi arus wisatawan. "Terutama setelah Garuda (pesawat) terbang langsung ke sini," katanya. Sejak itu sering terjadi perkawinan orang Bali dengan Australia, Amerika, Eropa, maupun Jepang. Sebelumnya, kawin campuran yang banyak terjadi hanyalah dengan orang-orang Cina yang, meskipun lahir dan besar di Bali, masih berkewarganegaraan asing. Bahwa kini banyak orang Bali berbisnis setelah menikah dengan orang asing, Ny. Soegiah adik almarhum Jenderal Soeparman ini -- menuturkan sebabnya. "Orang Bali," katanya, "memang tertutup pada rumah, keluarga, dan juga lingkungan sosialnya. Tetapi pada dasarnya mereka ulet berusaha. Apalagi wanitanya saya kira orang Jawa kalah." Nah bila mendapat rangsangan -- entah modal atau pasar -- karena kawin dengan orang asing, mereka lalu memanfaatkan kesempatan itu. Dalam kenyataannya, kini memang semakin banyak pasangan bule -- sawo matang, yang membuka usaha bersama di Bali. Sebutlah misal Warung Made di Kuta, CV Diana, atau UD Laish. Apakah itu berarti motivasi utama pernikahan campuran benar-benar dagang? Masih perlu dibuktikan. Psikolog Dewi G. Lubis, yang tinggal dua tahun di Bali, sempat mengomentari cinta pasangan yang beda bendera ini. Menurut hasil observasinya, sikap masyarakat setempat dalam urusan kawin macam itu, "baik cowok maupun cewek Bali, mempunyai derajat permissiveness yang tinggi untuk menikah dengan orang di luar agama, suku, dan kewarganegaraan." Sikap tadi dipermudah dengan semakin terbukanya provinsi itu lantaran pariwisata, yang membuat mereka lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang yang beda suku, agama, atau bangsa. Seperti penilaian banyak orang lain, menurut Dewi, akhir-akhir ini, motivasi kawin campuran di Bali makin rendah kadar cintanya. Sekarang motivasi orang setempat yang menikahi orang asing beda dengan yang terjadi pada masa lampau. "Pada zaman Ni Pollok dan istri pelukis Blanco serta lain-lainnya, mereka kawin karena memang menemukan kecocokan. Kini motivasi ekonomilah yang lebih nampak," katanya. Buktinya: umumnya orang-orang itu menikahi, atau dinikahi, para pengusaha. Entah pengusaha rumah makan, toko, pakaian jadi, hotel, atau apalah yang pokoknya berhubungan dengan dunia pariwisata. Pada perkawinan "bisnis" itu, hubungan suami-istri amat rasional dan cenderung menepikan perasaan. "Sejak semula mereka sudah tahu mana harta atas nama istri, mana atas nama suami, perlu punya anak atau tidak, dan banyak hal lain," kata Dewi. Bisakah perkawinan antara dua budaya dengan motivasi bisnis bertahan? "Biasanya, sih perkawinan yang cuma berdasarkan materi sangat rapuh. Mudah cerai," jawab Dewi. Tetapi kalau memang pernikahan semacam itu bisa bertahan selama 10 tahun bisa dikatakan insya Allah mantap. Sampai batas tertentu, penilaian Dewi bisa diterima budayawan I Made Bandem. "Memang ada perubahan. Dan pergeseran ini wajar sesuai dengan perkembangan zaman," kata Bandem. Sikap orang Bali longgar untuk menerima pasangan dari etnis atau budaya yang berbeda, menurut Bandem, malah merupakan hal yang baik. Bukankah perkawinan tertutup, antara sesama anggota klan, banyak menimbulkan ketidakbaikan. Misalnya menyebabkan mandul, cacat, atau debil. Ia menunjuk yang terjadi di Tenganan -- Bali Age, atau yang juga disebut Bali Asli. Apa pun cacat fenomena yang kini gencar di Pulau Kayangan ini, Bandem tak hendak melupakan kehadiran segi positifnya. Sejumlah nama disebutnya sebagai contoh, untuk tidak menimbulkan kesan bahwa kawin campuran selalu melahirkan ekor tak enak macam kasus Lunas atau Ketut. Ia sebut, misalnya, nama Dankter. Dankter adalah musikolog asal Swiss. Awal periode 1980-an, ia tertarik untuk melakukan penelitian di daerah Tenganan dan Bokasa, Bali. Selama penelitian itu, seorang gadis Karangasem telah berjasa mengantarnya ke sana-kemari. Ini menumbuhkan cinta. Beberapa tahun, lalu mereka pun menikah. Dankter beralih menjadi pemeluk Hindu, dan mengganti namanya menjadi Nyoman Budiasa kendati masih menjadi warga negara Swiss. Rumah tangganya sampai sekarang baik-baik saja. Perkara semacam Dankter terjadi pada Pino Contessa, 35 tahun. Pino adalah seniman Comedia de Lante -- topeng Italia. Keahliannya itu dimanfaatkan untuk menjadi pengajar di STSI yang dahulu bernama ASTI, di Denpasar. Telah tinggal bertahun-tahun di Bali mendekatkannya pada seorang mahasiswa Universitas Udayana yang, singkat cerita, lalu menjadi pasangannya. Bahkan Pino, biarpun masih berkewarganegaraan Italia, tercatat sebagai anggota warga Pulasari, Singaraja, dan terlibat penuh dalam upacara-upacara. Ada lagi yang bernama Desak Suarti. Penari dan pelukis asal Pengosekan, Peliatan, Gianyar, itu pada tahun 1977, menikah dengan seorang guru musik di Amerika Serikat. Mereka bermukim di sana, bahkan Desak juga memboyong orangtua dan saudaranya ke Amerika. Di sana Desak menerbitkan buku Balinese Story yang berisi cerita-cerita rakyat Bali dan dihiasi dengan lukisannya. Ternyata, buku yang diterbitkan Oxford itu top. Laku keras. "Contoh itu menunjukkan bahwa masih ada kawin campuran yang berdasarkan spiritual kebudayaan. Tidak semata material saja," kata Bandem, yang doktor itu. Ternyata, menurut Bandem, tak semua perkawinan macam begitu menyedot kebudayaan pasangan pihak Bali untuk lebur dalam budaya Barat. Banyak juga yang sebaliknya: orang-orang asing itu menjadi sangat berkebudayaan Bali, setelah menikah dengan orang Bali. Malah ada manfaat yang bisa dipetik dari perkawinan campuran. "Dengan figur seperti Desak, Pino, Dankter inilah saya rasa perkawinan campuran menguntungkan bagi perkembangan kebudayaan Bali," kata Bandem lebih lanjut. Mereka bukan saja mempertahankan kebaliannya. Mereka bahkan mengenalkan dan menenarkan Bali ke dunia luar. Dankter malah bikin lembaga sponsor dan pengembangan budaya Bali di negaranya, Swiss. Pino mengajak orang Bali untuk menampilkan budayanya di Italia. Sedang Desak, selain menerbitkan buku, juga mengajarkan tari dan lukis di Amerika. Perkawinan-perkawinan itu ternyata juga langgeng. Bahkan berafiliasi pada kehidupan dan budaya orang Bali. Mungkin benar anggapan bahwa sekarang makin banyak orang Bali dan orang asing menikah karena motif ekonomi. Si bule membutuhkan suami atau istri Bali agar leluasa berbisnis di sana. Dan si Bali memerlukan pasangan orang asing untuk memudahkan jalur bisnisnya ke mancanegara. Kalaupun anggapan itu benar, haruskah mereka -- para pelakunya -- dituding telah menodai Bali? Tak mudah menuding demikian. Sebab, di daerah mana pun (bukan hanya di Bali) menimbang untung-rugi dalam berkeluarga adalah hal yang biasa terjadi sejak dahulu. Selalu ada orang yang menjadikan materi sebagai pertimbangan utama dalam pernikahan walaupun mungkin tidak seterus terang sekarang. Lalu apa anehnya bila kini sejumlah orang sawo matang dan bule kawin, antara lain untuk menghidupkan bisnis. Lagi pula, seperti kata Bandem, "Mereka yang kawin dengan orang asing bermotifkan material memang mereka yang sudah terlalu jauh dengan etika dan moral orang Bali -- misalnya free sex." Yang malah merupakan persoalan, menurut banyak pengamat, adalah aspek hukumnya. Ni Made Lunas, misalnya, tampaknya terlalu menganggap remeh hal itu. Maka, ia oleh pengadilan dinyatakan bukan lagi WNI. Kedua anaknya pun dinyatakan sebagai WNA. Padahal, ia asli, tinggal di, dan benar-benar berkeinginan tetap menjadi, Bali. Tetapi, sesuai dengan hukum yang berlaku di sini, pengadilan sudah memutuskan demikian. Ia perlu upaya lagi untuk bisa menjadi WNI kembali. Itulah sebabnya Ny. Soegiah memberi saran agar mereka yang hendak menikah dengan orang asing mempelajari aspek hukumnya terlebih dahulu. "Mereka harus tahu bagaimana status anak dan bagaimana harta perolehan." Namun, umumnya mereka yang melangkah demikian sudah sebegitu mempertimbangkan semuanya. Yang penting, bagi mereka, kan cinta dan bisa hidup berkecukupan. Bali pun makin mendunia.Zaim Uchrowi, I Nengah Wedja, Joko Daryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini