RHONDA seorang Australia. Dengan menggunakan visa turis, gadis berusia 32 tahun itu sering bolak-balik ke Bali. Daerah yang paling sering ia tuju adalah kawasan Kuta -- pusat penampungan bule-bule dari seluruh penjuru dunia. Tapi Rhonda bukan sekadar pelancong. Ia, seperti banyak turis lain yang datang ke Bali, juga menjalankan bisnis kecil-kecilan yang diharapan bisa menutup pengeluaran. "Ya, saya cuma beli batik, dan saya jual di Australia," kata Rhonda, yang ditemui TEMPO di Kuta. Bisnis begitu ternyata menyenangkan. Nyatanya, ia kerap terbang ke Pulau Dewata itu. Mau tinggal lama di Bali? Maunya sih begitu. Tapi mustahil. Visa turis yang digenggamnya hanya memungkinkan Rhonda berdiam di sana paling lama dua bulan. Narnun, pada akhirnya, suatu hari, bisnis batiknya membawa Rhonda pada kesempatan untuk tinggal lama di Indonesia dan bahkan untuk bersuamikan Melayu. Ceritanya bermula pada tahun 1982. Ketika itu Rhonda mengantar temannya untuk membeli batik. Eeee kebetulan. . . pedagang batiknya masih bujang dan lumayan tampan. Namanya Wawan. Mereka berkenalan. Ketika kawannya tak jadi membeli batik dari pemuda itu, Rhondalah yang malah memborongnya. Kisah itu tentu tak terlanjutkan bila tak ada kebetulan yang lain. Selang setahun kemudian, Rhonda balik ke Bali lagi. Ketika itu ia tengah menghilangkan -- atau malah mencari -- penat di antara ingar musik dan kebyar-kebyar lampu diskotek. Ternyata, ada Wawan di situ. Wawan memang sering gentayangan keluar-masuk diskotek untuk menawarkan barang dagangannya yang berupa jaket kulit. Mereka bertemu, dan langsung dilanjutkan dengan bergoyang ria di diskotek itu. Bukan main. Setelah itu Rhonda-Wawan jadi lengket. Mereka bukan saja saling tertarik, tapi juga saling menguntungkan dalam bisnis. Ketika bisnis Rhonda hancur total, tak laku, Wawanlah yang membantu. Sedang bila Wawan membawa produk baru, Rhondalah yang mencarikan celah-celah pasamya di Australia. Mereka lalu memutuskan untuk menikah, kendati orangtua Rhonda tak setuju. "Yang saya kawini kan Rhonda. Bukan orangtuanya," kata Wawan. Toh mereka nekat. Di tepi pantai Sydney, perkawinan itu dipestakan. "Rekan-rekan kami undang untuk urunan," kata Wawan, menceritakan sistem yang tak lazim dipakai di sana. Mereka memutuskan untuk menetap di Kuta, membuka toko di situ. Dan kini usahanya tumbuh baik, sehingga memiliki tiga toko dengan 30 karyawan, dan tengah membangun sebuah toko lagi di kawasan Legian. Umum boleh saja menilai, perkawinan macam Rhonda-Wawan itu demi bisnis. Tapi Wawan sendiri menampik keras. "Saya tak mengenal istilah itu," katanya. Kenyataannya, seluruh kekayaan mereka tetap atas nama Wawan. Dan Rhonda pun tak pernah mempersoalkan. Hingga punya anak, mereka tetap mempertahankan kewarganegaraan masing-masing: Rhonda Australia dan Wawan Indonesia. Untuk tinggal di Bali, Rhonda cukup menggunakan KIMS Kartu Izin Masuk Sementara, yang bisa diperbarui setiap tahun. Rhonda belum hendak pindah kewarganegaraan, sehingga ia leluasa untuk pergi ke Australia. Sedang jika suaminya hendak pergi ke Benua Kanguru, ia cukup menggunakan visa turis. Perjalanan hidup pasangan Rhonda-Wawan boleh dibilang mulus. Tapi tidak begitu halnya yang dijalani Wayan -- ini bukan nama asli. Pemilik toko kulit di daerah Legian ini sempat merasakan betapa susahnya untuk kawin dengan bule. "Kami mengurus surat nikah sejak September 1987. Sekarang belum juga selesai," kata Wayan. Maalahnya, Pengadilan Negeri Denpasar masih menunggu kejelaan status Betty -- maaf, lagi-lagi nama samaran -- dari Departemen Kehakiman Selandia Baru. Betty memang warga negara sana. Meskipun belum menikah, Betty pernah hamil dengan Wayan. Sayangnya, keguguran. Betty tinggal di Bali hanya dengan bermodalkan visa turis. Karena itulah, setiap dua bulan sekali ia harus pergi ke luar negeri, sering kali ke Singapura. Dari sana ia minta visa turis lagi untuk dua bulan berikutnya. Tidakkah Wayan hendak menikahi Betty karena keuntungan materi yang mungkin didapat? "Ah, itu kan omongan orang yang iri pada sukses orang lain," kata Wayan, tegas. Wayan mengaku memulai bisnis dari nol. Yakni dengan menjual pakaian jadi di Kuta. Setelah sukses ini -- bisa mempekerjakan 15 orang -- menurut dia, memang banyak yang usil. Diakuinya ia pernah tinggal di Selandia Baru selama enam bulan bersama tunangannya itu. Lalu dari mana ia dapat modal? "Maaf, itu sangat pribadi," jawabnya. Pada masyarakat yang kian terbuka macam Bali, pemukulrataan anggapan memang bia menyesatkan. Bukan tidak mungkin ada yang menikah dengan orang asing karena pertimbangan uang seperti juga banyak orang berupaya mendapat jodoh yang kaya. Tentu banyak pula yang meletakkan soal ekonomi bukan sebagai faktor utama. Yang pasti, makin banyak turis asing makin banyak pula kontak orang Bali dengan mereka. Dan seperti dikatakan Wayan, memang banyak temannya yang akrab dengan orang asing, lantaran pamrih keuntungan semata-mata. "Mereka," kata Wayan, "akrab dengan orang asing sekadar untuk bisa ke luar negeri." Tetapi orang macam itu, biasanya, tidak berpikir untuk menikah dengan orang asing pasangannya. "Paling-paling kumpul kebo." Ini dibenarkan oleh Nengah, pemandu wiata asal Tabanan. Nengah mengaku pemah hidup berama gadisgadis dari semua negara Eropa, Australia, dan Amerika Serikat. "Orang Australia paling gampangan," kata Nengah, enteng. "Orang Jerman dan Swiss, aya paling suka." Pernah juga -- diceritakan dengan penuh kebanggaan -- Nengah kumpul kebo enam bulan dengan seorang wanita Amerika Serikat. "Saya bahkan diberi uang Rp 2 juta, untuk menyusul ke sana dan diajak kawin di sana," katanya. Tapi Nengah menolak. Alasannya? Ia anak laki-laki tertua dalam keluarganya. Selain itu, ia juga punya bisnis pakaian dengan seorang lelaki Italia. Toh ia bisa menjalin bisnis dengan orang asing, tanpa harus berkeluarga atau kumpul kebo dengan mereka. Tentu saja sikap macam Nengah itu amat tak berkenan bagi orang Bali yang masih ketat memegang adat. Menurut Profesor I Gusti Ketut Sutha, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, pengaturan masalah seks antara wanita dan pria menurut agama Hindu sebenarra ketat. Ia menunjuk "Lokika Sanggraha" sebagai contoh delik adat dan juga agama. "Lokika Sanggraha", yang ditemukan di dalam lontar "Purwagama", misalnya menyebutkan bergurau bersama atau bahkan memberi hadiah pada seorang wanita saja sudah merupakan tindakan tercela. Bagi mereka yang setia pada adat, pasti sulit untuk menerima kawin campuran yang gampangan: ketemu satu menit lalu kawin, apalagi yang didorong motivasi bisnis. Kalangan tua Bali selalu cenderung untuk menunjuk perkawinan campuran Le Mayeur-Ni.Pollok sebagai contoh kawin campuran yang ideal. Kisah pertemuan dan lalu pernikahan Ni Pollok dan Le Mayeur -- pelukis asal Belgia itu kini memang telah menjadi bagian dari Bali. Yati Maryati Wiharja menuliskan penuturan wanita itu dalam Ni PoNok, Model dari Desa Kelandis. Ni Pollok adalah penari legong yahg tengah naik daun pada masa mudanya. Sedang Le Mayeur adalah pelukis yang tiba-tiba jatuh cinta pada Bali. Ketika itu Le Mayeur baru tiba di Kelandis banjar tempat tinggal Ni Pollok. Ia menyewa rumah di seberang Pura Dalem Prajurit, tempat Ni Pollok sehari-hari menari. "Aku tak pernah tahu bahwa, selama aku menari, sepasang mata yang biru menatapku selalu," kata Pollok. "Ketika tarian selesai, lelaki yang tidak muda lagi itu, berkulit putih, berambut merah, bemmata biru -- yang akhirnya kukenal dengan nama Tuan Le Mayeur -- mendekat dan menemuiku dengan sebuah kamus di tangan. Di depanku ia membuka-buka buku kecil itu, lalu bertanya, 'Siapa namamu, Nak?'" Perkenalan itu berlanjut. Le Mayeur menawarkan pada Ni Pollok untuk menjadi modelnya. Pollok setuju saja, asal tetap diizinkan menari. Sejak itu Ni Pollok selalu bersama Le Mayeur untuk diabadikan dalam kanvas. Upahnya serupiah sehari. Seharian penuh mereka menghabiskan waktu di balik bayang-bayang daun kelapa dan sorotan pantai Sanur. Le Mayeur melukis dan Ni Pollok menjadi model. Le Mayeur juga menjadi guru Ni Pollok. Pada pasir pantai, Le Mayeur menuliskan angka satu, dua, tiga, empat, dan seterusnya. Ni Pollok harus menirukannya dengan berpenakan ranting kecil. Ni Pollok diajari untuk kenal dengan huruf -- dari A hingga Z. Le Mayeur juga menolak belajar bahasa Bali. "Kalau aku belajar bahasa Bali, nanti kalian tidak mau belajar bahasa Indonesia" katanya. Tiga tahun berlalu. Hari-hari panjang di tengah alam, dan dialog tulus antara mereka telah membuahkan hasil: cinta. Mereka memutuskan untuk menikah, kendati usia berjarak hingga 37 tahun. Resmilah Ni Pollok menjadi Madame Adrien Jean Le Mayeur de Merpres -- pelukis dan bangawan tenar itu. Pernikahan Le Mayeur -- Ni Pollok itu kini kedengarannya seperti sebuah dongeng. Dalam tempo yang pendek, zaman telah banyak berubah. Bali dan orang Bali pun sudah tidak persis lagi seperti apa yang ditemui Le Mayeur dahulu. Kini telah muncul perkawinan campuran dengan berbagai wajah.Zaim Uchowi, I Nengah Wedja, Joko Daryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini