CINTA memang bukan satu-satunya alasan mengapa manusia kawin. Harta sering jadi pendorong kuat bagi seseorang untuk mengajukan atau menerima lamaran. Walhasil, perkawinan bisa dijadikan kedok untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Misalnya, demi kepentingan bisnis, untuk memperoleh kekayaan, merebut pangkat, atau yang senada dengan itu. Di Bali contohnya, Perkawinan dijadikan semacam jalan pintas untuk memperoleh status warga negara Indonesia (WNI). Sejumlah turis atau warga negara asing (WNA) yang sudah lama bermukim di sana berbondong-bondong menikah dengan penduduk pribumi atau WNI keturunan asing. Menurut penelitian I Ketut Mandra dan Putu Sudarma Sumadi, dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, antara 1981 dan 1986 terjadi 147 kasus. Lebih rinci lagi mereka menyebut 158 WNA yang menikah dengan WNI. Sebagian besar di antaranya, 148, wanita. Dan hanya 10 WNA pria. Sebaliknya, dari pihak WNI hanya 136 orang yang kawin dengan orang asing. Sebagian besar, 129, adalah pria. Tujuh sisanya wanita. Ini berarti, dari 147 kasus, ada 11 WNI yang menikah lebih dari sekali. Mengapa frekuensi itu begitu tinggi? Tujuan yang paling masuk akal adalah untuk cepat memperoleh kewarganegaraan. Terbukti 138 WNA segera pindah kewarganegaraan setelah menikah. Dan yang menakjubkan, 127 di antaranya warga negara Republik Rakyat Cina: 124 wanita, 3 pria. Alasannya memang macam-macam. Menurut catatan Putu Sudarma Sumadi, paling tidak ada empat alasan yang mendorong mereka memilih warga negara Indonesia. Antara lain, sudah lama tinggal, lahir dan mencari nafkah di Indonesia, supaya gampang berusaha, dan -- ini yang agak gombal -- cinta Indonesia. Tetapi tujuannya jelas, menempuh jalan pintas memperoleh status WNI. Jalan pintas itu terbuka lebar terutama bagi WNA wanita. Sebab, di Indonesia dikenal "asas istri mengikuti suami". Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 mengenai Pokok-Pokok Perkawinan disebutkan, "Seorang wanita asing yang kawin dengan pria WNI dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia." Sedangkan, bagi kaum lelaki kelihatannya agak sulit, meski bukan berarti tidak mungkin. Kesan WNA memburu kewarganegaraan Indonesia segera tidak dapat dihindarkan. Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Indonesia yang masih diterapkan sampai saat ini tidak punya alasan untuk mencegahnya. Sebab, memang, seperti tercantum dalam undang-undang tersebut, perkara memilih jodoh adalah hak setiap orang. Ini senada dengan bunyi Pembukaan UUD 1945: Kemerdekaan adalah hak semua bangsa. Apa pun alasannya, menurut Sumadi, perpindahan kewarganegaraan itu merupakan jalan terbaik untuk membina keharmonisan keluarga. Kekayaan, baik harta bawaan maupun hasil usaha setelah perkawinan, akan menjadi milik bersama. Dan yang paling penting, "Anak tidak jadi bingung memilih warga negara," kata Sumadi. Masalahnya tentu tidak akan seindah gambaran Sumadi, bila ada pihak yang menolak jadi WNI. Semua WNA Amerika (tiga orang), Inggris (satu orang), Swedia (satu orang), dan Jerman (satu orang) yang terlibat kawin campuran dengan WNI tetap mempertahankan kewarganegaraannya. Alasannya ternyata masuk akal juga. WNA wanita, misalnya, mengatakan masih mencintai negara asal dan menganggap hak-hak kaum wanita di sana lebih terjamin daripada di Indonesia. Tak lupa mereka mendaulat bahwa suami WNI tidak berani menjamin kehidupan istri di kemudian hari. Sementara itu, mempelai pria WNA berdalih: belum lama tinggal di Indonesia dan sangat sulit memperoleh kewarganegaraan RI. Sulit? "Sebenamya, tidak begitu, asal semua surat keterangan lengkap," tangkis Drs. Sjahbudin, Kepala Imigrasi Denpasar. Maksudnya, WNA harus memperlihatkan akta perkawinan dari catatan sipil negara asalnya, keterangan status WNA dari Departemen Kehakiman -- juga dari negara asal -- dan paspor. Dari pihak pengantin WNI dimintakan KTP, keterangan pihak kepolisian dan sebagainya. "Dan sebagainya" itulah yang dianggap merepotkan. Kalau toh sudah dipenuhi, bukan berarti secara otomatis mereka bisa menjadi WNI. Paling-paling hanya Kartu Izin Masuk Sementara (KIMS), yang harus diperpanjang setahun sekali. Inilah surat sakti untuk menikmati ranjang perkawinan. Sedang untuk menjadi WNI penuh, mereka harus melewati Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Pihak imigrasi kelihatannya ekstrahatihati memberikan KIMS. "Kita harus tahu tujuan mereka sebenarnya. Apakah memang dilandasi rasa cinta atau sekadar untuk mendukung kelancaran bisnis," ujar Sjahbudin. Sebenarnya, kesulitan prosedur dialami oleh baik WNA pria maupun wanita. Mereka tidak begitu saja segera menjadi WNI setelah menikah, kecuali berhasil memenuhi semua syarat-syarat itu. Bahkan, untuk menghalalkan pernikahan, mereka masih diwajibkan menghadap Pengadilan Negeri. Jika tidak, pernikahan mereka dianggap tidak sah. Drs. Mohamad Tabrani, Kakanwil Kehakiman Bali, yang selalu waspada dalam menghadapi perkawinan campuran, memandang persyaratan tersebut penting. "Banyak yang cuma ingin memperoleh kemudahan tinggal di Indonesia. Jelasnya, mereka cuma ingin mendapatkan KIMS, lalu mencari keuntungan-keuntungan tertentu," keluh Tabrani. Namun, ia tidak menutup kemungkinan bagi WNA mengantungi KIMS. Tanpa kawin campur pun, WNA yang telah tinggal terus-menerus di Indonesia selama lima tahun, atau selama 10 tahun tidak terus-menerus, dengan mudah memperolehnya. Boleh jadi kawin campur hanya kedok bagi sebagian di antara pelaku perkawinan campuran. Tetapi, bagi yang serius, proses perizinan yang dinilai berbelit itu amat menyebalkan. "Jangankan mengantungi status WNI, untuk menikah secara sah pun sulit," gerutu Wayan. (Lihat Paling-Paling Kumpul Kebo). Sejak 1987 ia mengurus surat nikah dari Pengadilan Negeri Denpasar sampai kini tak kunjung rampung. Wayan dan Betty terpaksa kumpul kebo saja. Apa boleh buat. "Habis, saya cinta Betty, sih," ujar Wayan.Priyono B. Sumbogo, I Nengah Wedja, Joko Daryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini