Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sitor dan Pertempuran di Paris

Di Paris, Sitor Situmorang berjumpa dengan pertarungan pengaruh politik melalui kebudayaan di tengah Perang Dingin.

27 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARIS pun menjadi tua. Begitu tulis Sitor Situmorang dalam sajaknya, “Biksu Tak Berjubah”. Daun kalender menunjuk angka 1977. Ia baru saja dibebaskan setelah delapan tahun dipenjara tanpa pengadilan dan dilarang menulis oleh rezim militer Soeharto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalau tak salah hitung, ini keempat kali ia datang ke Paris, Prancis. Dia duduk di Cafe La Coupole, Montparnasse, memangku tas kulit tua seperti menimang bagasi kenangan dan mimpi-mimpi Paris yang lengket sejak pertama kali ia datang di awal musim dingin 1950.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Desember itu, ia menulis sajak pertamanya tentang kota ini, “Paris”. Isinya: "salju putih, bibir manis, jari perempuan kesayangan, samar ranjang, baris pohon dan menara tua". Ia bubuhkan kata puja “oh kota tercinta”. Lantas ditutup dengan pernyataan “inilah akhir perjalanan”.

Klik. Sitor dipotret Wing Kardjo, mahasiswa doktoral Université Paris-VII yang sedang meneliti karya-karya Sitor. Wing seperti tengah membekukan pernyataannya dan menyimpulkan, “Seumur-umur Sitor terus menyeret-nyeret Paris.” Benarkah Sitor telah sampai di tujuan akhirnya?

Sitor tiba di Paris saat berumur 27tahun. Di sela-sela kerjanya sebagai staf Kedutaan Besar RI yang baru dibuka di Paris, ia keluyuran. Ia menemukan orang-orang yang luka-lukanya akibat perang sudah sembuh, tinggal bekas, tapi luka-luka pada jiwa belum. Di antara mereka, ia jumpai sejumlah orang yang serupa dengan dirinya: seniman intelektual dari berbagai bangsa yang baru mengalami perang kemerdekaan atau lari dari tekanan rezim. Mereka datang mencari tempat, mencoba tumbuh dan menemukan diri di Paris yang sedang giat-giatnya membangun, termasuk pemikiran dan kebudayaan, di atas puing-puing sisa perang. Sitor tidak terlibat, tapi ia mengaku terkena imbasnya, diseret ke sana-kemari oleh arus pemikiran dan praktik seni yang riuh kembali di Paris.

Sitor di Paris segera terseret arus ramai-ramai menjadi l’existensialiste, gaya hidup eksistensialis sebagai produk sampingan dari pengaruh penulis Jean-Paul Sartre dan Albert Camus terhadap generasi seniman 1950-an. Cerita pendeknya, “Fontenay Aux Roses”, yang dikirim tidak lama setelah dia tiba dari Paris, adalah sejenis pengakuan dan penjelasan eksistensialis yang ia pahami.

Sitor mengaku tidak pernah memikirkan aliran filsafat itu. Hanya, ia sependapat bahwa hidup, termasuk dunia, alam, dan manusianya, absurd. Ia tuangkan juga wacana eksistensialis itu dalam naskah teater “Jalan Mutiara”, juga dalam sejumlah naskah sajak yang dikirimnya ke Jakarta dan kemudian diterbitkan sebagai buku Surat Kertas Hijau.

Di Paris, yang dikatakan Sitor sebagai “kota tempat berbagai filsafat bertempur di segala zaman”, ia tidak hanya terseret pertempuran pemikiran Sartre dan Camus. Ia pun menyaksikan Perang Dingin yang tumpah melalui Le Festival de L'Œuvre du XXe siècle, festival akbar karya abad ke-20 di sana selama 30 April-1 Juni 1952. Musik, teater, opera, balet, sastra, seni patung, seni lukis, dan aneka ragam seni terbaik dari seantero dunia Barat didatangkan dan dipertunjukkan. Sitor hampir saban hari disedot masuk festival yang berlangsung di Théâtre des Champs-Elysées, Palais de Tokyo, Musée d’Art Moderne de Paris, dan lain-lain. Dia menyaksikan Igor Stravinsky, Jean Cocteau, George Balanchine, dan Ferenc Fricsay, juga karya Jean Françaix, Constant Lambert, Ralph Vaughan Williams, Samuel Barber, dan Roland Manuel. Sitor menyebut pula Picasso terlibat dan ikut berpameran.

Sitor pun mengikuti beberapa konferensi dan debat di Sorbonne bersama Faulkner dan Malraux serta para intelektual dan penulis seperti Raymond Aron, W.H. Auden, Czeslaw Milosz, Eugenio Montale, Gaëtan Picon, dan Bohuslav Martinu. Dalam kilas balik festival itu, Sitor mengumpamakannya sebagai "pucuk dicinta ulam pun tiba". Ia haus menghayati seni modern dan Paris memberikan kesempatan untuk meminum langsung dari sumbernya.

Namun festival itu tak hanya memperlihatkan kepada Sitor seni modern Barat sebagai model dan modal untuk modernisasi kebudayaan. Ia pun dapat menyaksikan bagaimana Perang Dingin menjadikan seni budaya modern Barat sebagai model dan modal politik. Festival itu adalah kerja besar politik pertama Congress of Cultural Freedom (CCF). Lembaga ini didirikan pada 1950 di Berlin dan Brussels dengan didanai pemerintah Amerika Serikat via Badan Intelijen Pusat (CIA) untuk memobilisasi seniman dan intelektual melawan propaganda komunis. Komposer dan penulis tersohor Nicolas Nabokov, yang memimpin festival ini, adalah sekretaris CCF. Sejak awal 1951, ia bekerja merancang medium yang dapat menjembatani dan mempertemukan seniman dan intelektual Amerika dengan Eropa yang sama-sama resah terhadap komunis karena dianggap mengancam kebebasan.

Kritik pun datang untuk mempertanyakan mengapa intelektual besar Prancis seperti André Breton, Sartre, dan Camus tidak ikut dalam festival itu. Bukankah berbahaya jika budaya dan politik Perang Dingin dicampur begini? Termasuk soal dari mana biaya festival raksasa ini dan untuk apa?

Festival ini akhirnya adalah pertaruhan politik adidaya Amerika Serikat. Ongkos besar yang dikeluarkannya itu menandaskan peran strategis seniman dan intelektual dalam perang pengaruh. Saat itu Amerika tengah berebut pengaruh dengan Uni Soviet dalam Perang Korea, yang pecah pada Juni 1950 dan ada ketakutan masyarakat akan perang nuklir. Di Prancis, konflik di Indocina makin buruk. Pemilihan umum legislatif 1951 hanya mengukuhkan perpecahan antara sayap kiri komunis, sayap kanan Gaullist, dan "kekuatan ketiga" yang menyatukan kiri-tengah dan kanan-tengah. Pemerintahan berjalan tidak stabil. Mendekati hari festival, Partai Komunis Prancis menggelar demonstrasi keras yang menolak kedatangan Jenderal Matt Ridgway, mantan panglima Perang Korea yang mengomandani pasukan Sekutu di Eropa di bawah kepemimpinan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Dalam situasi demikian, mengejutkan bahwa festival itu dapat berlangsung. Namun, bagaimanapun, festival ini menandai hari yang penting dalam persepsi budaya Amerika Serikat di Prancis. Nabokov ingin menempatkan institusi budaya serta seniman dan intelektual Amerika dan Eropa dalam posisi geopolitik yang sama, yaitu bahaya dunia itu komunis. Festival ini jelas menyajikan panorama artistik yang sangat kaya dan unik di Paris sekaligus membuka era baru untuk kerja sama budaya dalam perang pengaruh politik.

Sampai di sini, Sitor tak hanya terseret arus pertempuran pemikiran Sartre dan Camus, tapi juga arus Perang Dingin—festival itu telah menghubungkannya dengan tokoh-tokoh dan karya-karya yang mewakili zaman serta aliran seni dalam sejarah budaya Prancis, dari masa “pertempuran dua gunung” Montparnasse versus Montmartre sampai Années Folles atau “tahun-tahun gila”. Semua itu memberikan wawasan kreatif Sitor mengenai impresionisme, kubisme, Dadaisme, sampai surealisme, selain eksistensialisme. Akhirnya, wawasan tentang kerja-kerja seniman sekaligus intelektual dengan politik itu memberi Sitor suatu kesadaran tentang ancaman Perang Dingin yang mendekat serta pengaruhnya terhadap pencarian kebudayaan modern Indonesia—kesadaran yang Sitor tahu akan membawanya dari "solitaire" menjadi "solidaire", dari kesendirian ke kebersamaan.

Sampai di sini, jika sebelum kepergiannya ke Belanda, Sitor mengakhiri cerpen “Gerbera” yang diumumkan di Mimbar Indonesia pada Maret 1950 dengan "Besok aku harus ke Barat" dan itu mengacu ke Paris, kota ini bukanlah tujuan akhir Sitor. Justru, seperti disebut dalam sajaknya tentang ibu kota Prancis sebagai “negeri terindah” itu, pencarian inspirasi ini adalah “pangkal tolak kembara”. Tentu saja, kembara menemukan inspirasi tak selalu dalam kebudayaan Eropa, tapi dapat pula dalam kebudayaan Indonesia yang begitu kaya, terutama Batak, tanah kelahirannya.

Sering dilupakan bahwa Sitor pernah sejenak mengembara ke Batak melalui istrinya, Tiominar, bersamaan dengan saat ia terseret arus mengembarai pertempuran pemikiran di Paris. Ini suatu titik awal sebelum ia mengajak “mari kita pergi lewat semak dan lumpur, nyanyikan kerinduan akan tanah leluhur”.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini hanya tersedia di edisi online.

JJ Rizal

JJ Rizal

Sejarawan dan pendiri Komunitas Bambu

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus