Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATAHARI baru terbenam sekitar pukul tujuh selama musim gugur di Paris, Prancis. Di tengah suhu yang makin dingin dan hari yang mulai gelap, Rabu malam, 2 Oktober 2024, orang-orang beriringan masuk ke auditorium Fondation Lucien Paye di Cité internationale universitaire de Paris untuk merayakan 100 tahun sastrawan Sitor Situmorang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka mampir sebentar di ruang kecil di antara pintu masuk dan auditorium untuk menikmati segelas kopi Indonesia dan jajanan yang terhidang. Melihat ramainya pengunjung, panitia bolak-balik memastikan semuanya siap. “Kami menghentikan publikasi beberapa hari lalu, khawatir ruangan tidak muat,” kata Ratna Indira, Ketua Asosiasi Seni 7+, kelompok seni yang digerakkan beberapa warga Indonesia di kota itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar pukul delapan malam, perayaan “100 ème Anniversaire de Sitor Situmorang: Paris la Nuit, entre Le Souvenir et L’Oubli” (100 Tahun Sitor Situmorang: Paris la Nuit, antara Ingatan dan Lupa) pun resmi dimulai. Lebih dari seratus orang, yang sebagian besar warga negara Indonesia yang bermukim di Paris dan orang-orang Prancis yang menggemari sastra Indonesia, mengikuti acara itu.
Dina Oktaviany dan Ella Umry membuka acara dengan membacakan puisi “Mawar” karya Sitor dalam bahasa Indonesia dan Prancis yang diterjemahkan Wing Kardjo. Acara kemudian dilanjutkan dengan pemutaran film Tongkat di Atas Batu karya Afrizal Malna. Film ini menggambarkan hari-hari Sitor di Indonesia sebelum pindah ke Apeldoorn, Belanda, tempat dia mengembuskan napas terakhir pada 21 Desember 2014.
Sejumlah seniman lain juga menyumbangkan karya yang menafsirkan sosok Sitor. Musikus Ratna Indira berkolaborasi dengan Nicolas Meluk mengangkat puisi “Paris-Avril" dan "Kaliurang". Mereka bersama penari sekaligus penyanyi Sarah Bordes membawakan “Paris-Novembre" dan “Gare de Lyon" serta musikalisasi puisi "Paris-Juillet" yang dikemas dalam sebuah dialog bersahutan dalam bahasa Indonesia dan Prancis bersama Jim Adhi Limas, tokoh teater Indonesia yang telah puluhan tahun tinggal di Paris.
Aditya Ahmad, sutradara Indonesia yang sedang menjalani residensi di sana, menampilkan sebuah film pendek yang merupakan tafsir terhadap puisi "Paris-Juillet" karya Sitor yang dibalut dalam pertunjukan lintas medium dengan pembacaan puisi oleh Jim Adhi Limas. Kisah "Harimau Sumatra", yang dimuat dalam kumpulan sajak Sitor, Angin dan Air Danau Toba, dikisahkan dalam bahasa Indonesia dan Prancis oleh Jim Adhi Limas dan Julien Huynh. Acara itu diakhiri dengan pertunjukan Kojek Rap Betawi yang mengaransemen dan menyanyikan puisi-puisi Sitor dalam gaya rap dengan sentuhan musik Betawi.
Sitor menghabiskan hidup di Paris kurang dari sepuluh tahun. Dia datang pertama kali pada 1951-1953 dan kembali pada 1995-1999. Pada 2003, bertepatan dengan hari masyarakat penutur bahasa Prancis (Francophonie) sedunia, Sitor mendapat penghargaan Francophonie atas karya-karyanya yang menyajikan kehidupan dan kebudayaan Prancis. "Saya sebagai manusia dan sebagai penyair, riwayat hidup saya, biografi hidup saya, terkait dengan dua desa. Desa kelahiran saya di lembah di Danau Toba. Desa saya kedua adalah Paris," kata Sitor saat menerima penghargaan itu, sebagaimana terekam dalam film Tongkat di Atas Batu.
Jim Adhi Limas (kiri) membaca puisi karya Sitor Situmorang dalam perayaan 00 ème Anniversaire de Sitor Situmorang: Paris la Nuit, entre Le Souvenir et L’Oubli, di Paris, Prancis, 2 Oktober 2024. Ayu Diah Cempaka
Selama tinggal di kota itu, Sitor menulis ratusan puisi, termasuk empat puisi tentang Paris yang dibuat pada empat musim berbeda, yakni "Paris-Juillet", "Paris-Novembre", "Paris-Janvier", dan "Paris-Avril". Ada pula puisi-puisi yang secara terang berhubungan dengan tempat-tempat terkemuka di Paris, seperti alun-alun Place Saint-Sulpice, jembatan Pont Neuf,Saint-Germain-des-Prés, Hotel L'Empire Paris, dan permakaman Cimetière de Passy. Dalam puisi "Paris 1977", Sitor bahkan menuliskan pandangannya tentang Paris yang telah berubah dari ketika pertama kali ia kenal di masa muda.
Puisi-puisi itu termuat dalam buku berbahasa Prancis, Paris La Nuit, pada 2001 yang disunting oleh Henri Chambert-Loir, peneliti Ecole Française d'Extrême-Orient. Karya Sitor itu diterjemahkan oleh mahasiswa Institut National des Langues et Civilisations Orientales atas prakarsa Farida Soemargono-Labrousse, salah satu penyusun kamus dwibahasa Prancis-Indonesia.
Melalui puisi-puisinya, Sitor mencatat Paris secara reflektif. Ia merangkul jarak sekaligus mempertanyakannya. Dia melibatkan renungannya sebagai orang Indonesia di tengah gerak masyarakat Eropa. Dalam pengantar buku kumpulan puisi Paris La Nuit, Wing Kardjo menulis bahwa kepulangan Sitor dari Paris melahirkan periode “iseng” dalam diri penyair itu yang disebut Wing sebagai masa penciptaan yang paling subur dan membuat kita mendapatkan sajak-sajak Sitor yang paling indah.
Perayaan 100 tahun Sitor Situmorang ini dicetuskan sejarawan JJ Rizal saat melakukan penelitian tentang Sitor di Paris pada Mei 2024. Yuliana Sandy dari Asosiasi Seni 7+ menyambut gagasan itu dan mengundang para seniman serta penggemar Sitor untuk menyusun program bersama. Akhirnya acara ini pun terselenggara atas kerja sama Asosiasi Seni 7+ dan Persatuan Pelajar Indonesia Prancis bersama Fondation Lucien Paye, Yayasan Sitor Situmorang, dan Komunitas Bambu.
Acara ini sekaligus menjadi ajang reuni bagi warga Indonesia di sana. "Seingat saya, terakhir kali acara Indonesia dilangsungkan di Fondation Lucien Paye sekitar 2006, yaitu Soirée Indonésienne yang diinisiasi Rina Suburi dan Emilie Moineau," tutur Yuliana Sandy.
Perayaan Sitor masih berlanjut. Sejumlah puisi dan foto serta karya visual berupa sketsa Erland Sibuea tampil dalam pameran bertajuk "Un petit mot sur Sitor Situmorang" dan "Rentrer à Toba" di Fondation Lucien Paye dan Le Maung, kedai kopi Indonesia di Paris, hingga 12 Desember 2024.
Untuk melihat Paris dari kacamata Sitor, kita dapat membaca puisi-puisi yang ia tulis selama bermukim di kota ini. Namun, untuk menyelami apa yang telah Paris perbuat terhadap Sitor, ratusan puisi setelahnya merupakan karya-karya "Si Anak Hilang" yang tak pernah melepaskan Paris dalam perjalanan penciptaannya. Dalam hal ini, Sitor adalah tokoh sastra Indonesia sekaligus jembatan kebudayaan antara Indonesia dan Prancis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sitor Pulang ke Paris"