Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

'Wajah Lain' Israel

Di perbatasan, Israel mendirikan rumah-rumah sakit yang membantu merawat korban perang saudara di Suriah. Mereka juga memiliki proyek mengalirkan air ke Yordania yang kering. Adakah upaya lebih ramah kepada negeri-negeri tetangga yang menjadi musuh mereka itu adalah sekadar gincu politik atau benar-benar dari dalam lubuk hati? Pekan terakhir Maret lalu, bersama beberapa wartawan lain dari Indonesia, Y. Tomi Aryanto dari Tempo menyusuri Israel yang berubah, dari hamparan gurun pasir tandus menjadi lahan pertanian subur nan hijau. Dari Yerusalem ke perbatasan dengan Gaza di bagian selatan, lalu ke utara hingga Galilea dan Dataran Tinggi Golan dekat Libanon dan Suriah.

20 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senyum lebar seketika mengubah wajah lelaki 25-an tahun yang tergolek di ranjang Ziv Medical Center itu tatkala disapa "assalamualaikum...". Matanya berbinar. Sapaan itu rupanya amat berarti bagi lelaki yang kakinya penuh luka dan jahitan tersebut.

"Mereka muslim?" lelaki itu bertanya dalam bahasa Arab kepada Fares Issa. Dia menunjuk kepada kami yang memasuki bangsal perawatan di Ziv Medical Center di Safed atau Tzfat, di bagian utara Israel, akhir Maret lalu. "Ya, mereka dari Indonesia. Negeri dengan penduduk muslim terbanyak di dunia," Issa menjawabnya.

Fares Issa, 38 tahun, adalah penduduk Arab-Israel di sebuah kota kecil di Galilea, tak jauh dari Safed. Dua tahun belakangan ia aktif sebagai relawan sosial di Ziv Medical Center, rumah sakit yang menangani korban perang Suriah. Rabu pagi itu, ada tujuh pasien asal Suriah yang dirawat di bangsal paling ujung di lantai dua tersebut. Di depan bangsal, satu tentara muda dengan lambang Bintang Daud di lengan seragam cokelat-kehijauan berjaga ditemani sepucuk M16 dan pistol di pinggang. Sejak mula kami diingatkan untuk tidak memotret wajah para pasien itu, "Demi keamanan mereka."

Salah satu pasien asing itu adalah dokter 40-an tahun yang kakinya remuk terkena serpihan bom mobil saat bertugas di Quneitra, kota paling dekat dengan perbatasan Israel di Dataran Tinggi Golan. Saat kami sedang membicarakannya, dokter itu tiba-tiba muncul dari toilet di ujung bangsal dengan dua kruk menopang di kempitan ketiaknya. Ia fasih berbahasa Inggris, dan seperti halnya lelaki 25 tahun tadi, ia tak henti tersenyum saat diberi tahu tamunya kali ini datang dari Indonesia.

Perlahan ia menyibakkan bagian bawah piyamanya dan menunjukkan bekas luka di kaki kirinya yang sudah mulai pulih. "Ini berkat Profesor Lerner," katanya. "Sebentar lagi mungkin saya bisa pulang."

Profesor yang ia maksud adalah Alexander Lerner. Imigran Yahudi dari Belarus ini datang ke Israel pada 1990 dan kini mengepalai departemen ortopedi di Ziv Medical Center. Ia menjadi dokter paling penting di sana, mengingat sebagian besar pasien korban pertempuran itu terluka berat dan hampir selalu memerlukan tindakan bedah tulang. "Sudah 610 pasien Suriah yang kami tangani di sini sejak perang terjadi lima tahun lalu," katanya. "Tapi kami tak sendirian. Di Israel, ada empat rumah sakit seperti Ziv Medical Center. Total lebih dari 2.000 pasien dari Suriah."

* * * *

Ziv Medical Center di Safed lebih banyak menerima pasien dari negeri tetangga lantaran jaraknya paling dekat. Dari perbatasan Libanon, Ziv hanya terpaut 11 kilometer. Ini adalah jarak yang bahkan cukup dekat bagi roket-roket pasukan Hizbullah ketika pecah pertempuran Libanon II pada 2006. Pernah satu roket mendarat tepat di sebelah rumah sakit. Meski tak ada korban jiwa, kepanikan tak terelakkan. Sebagai pengingat atas peristiwa itu, manajemen rumah sakit sengaja membiarkan dan tak mengganti satu kaca jendela mereka yang retak akibat serangan tersebut.

Akan halnya dari perbatasan Suriah, rumah sakit yang berdiri sejak 1910 ini berjarak 30 kilometer dan bisa ditempuh dengan 40 menit berkendaraan. Kami sempat diajak ke pos penjagaan di Golan yang langsung berseberangan dengan Suriah. Dengan mata telanjang tanpa bantuan lensa jarak jauh, Kota Quneitra lama dan New Quneitra yang lebih padat dengan gedung-gedung bertingkat tampak cukup jelas. Tak sampai sejam, beberapa kali dentuman bom di kota itu terdengar dari ketinggian tempat kami menyimak penjelasan Mayor Efi Ribner dari Pasukan Pertahanan Israel. "Kami tak tahu lagi siapa melawan siapa yang sekarang bertempur di sana," katanya.

Dokter Lerner bercerita, pasukan Israel yang bertugas di perbatasan akan menjemput saat ada informasi bahwa pasien telah menunggu di perlintasan kedua negara. Kebanyakan sudah dalam kondisi yang akan membuat pingsan orang yang tak terbiasa melihat luka parah. Berulang kali Lerner meminta maaf saat memperlihatkan gambar-gambar mengerikan karena luka yang diderita para korban itu.

Saat pasien pertama datang, ia menuturkan, beberapa petugas medis di Ziv sempat terlihat ragu. Apakah benar mereka hendak merawat orang-orang dari negeri yang selama ini bermusuhan dan bahkan berperang melawan Israel? "Tapi itu tak lama. Kami ini petugas medis yang bekerja semata-mata untuk kemanusiaan. Tak ada lagi hal lain yang perlu dipertimbangkan," ujar Lerner. "Kami juga tak pernah bertanya tentang siapa mereka. Apakah mereka tentara, milisi, atau sipil, dan bertempur untuk pihak yang mana di Suriah."

Hilangnya keraguan itu tak serta-merta melenyapkan persoalan. Kesulitan awal muncul akibat kendala budaya dan bahasa. Itu sebabnya peran relawan seperti Issa jadi semakin penting. Kebanyakan pasien yang datang pun diliputi rasa cemas dan curiga yang besar terhadap orang Israel.

Belum lagi jika yang datang adalah pasien perempuan. Mereka biasanya menolak ditangani dokter laki-laki seperti Lerner. Sekali waktu ada pasien perempuan 15-an tahun dibawa dalam kondisi hamil dan akan segera melahirkan. Tapi keluarga yang mengantar meminta anak itu hanya boleh disentuh oleh petugas medis perempuan dan muslim. Untungnya, di Ziv banyak perawat seperti itu.

Sebagian yang lain hanya mau berbicara dan bercerita tentang apa yang terjadi dan membuatnya terluka kepada orang yang paham adat dan bahasa Arab seperti Issa. Cerita itu penting karena akan memudahkan dokter menentukan tindakan yang diperlukan. "Sebab, setiap luka itu unik dan berbeda seturut apa yang jadi penyebabnya," Lerner menjelaskan sambil memberi contoh dengan gambar-gambar yang bikin mual itu.

Hal berikutnya yang jadi masalah ialah ketiadaan catatan medis yang bisa jadi rujukan dan menjelaskan kondisi pasien. "Hanya ada dua pasien yang pernah membawa catatan. Salah satunya tulisan tangan di selembar kertas yang ternoda darah. Tentu saja itu hanya berisi informasi yang sangat standar dan umum," kata Lerner.

Tak ada pilihan lain, dokter dan petugas di Ziv harus memulai observasi dari nol. Dan itu berarti perlu waktu lebih panjang untuk sampai pada tindakan yang diperlukan. "Dari mengecek golongan darah hingga tes alergi obat bius harus dilakukan lebih dulu."

Ada prinsip penting yang sangat dipegang Lerner. Dokter ini mengaku pantang melakukan amputasi selama dia masih bisa mengupayakan tindakan lain untuk menyelamatkan organ pasien. Masalahnya, prinsip itu punya banyak implikasi. Salah satunya biaya yang tak sedikit, selain waktu perawatan yang umumnya lebih panjang.

Profesor yang belajar ortopedi di Rusia itu memperlihatkan satu perangkat yang ia sebut modern external fixation untuk kaki atau tangan yang harus disambung. "Ini satunya US$ 3.000," katanya. Masalahnya, ia melanjutkan, sekali dipasang pada pasien dari Suriah, alat ini tak mungkin bisa digunakan ulang. Sebab, kebanyakan dari mereka meminta pulang lebih awal, dengan perangkat itu masih menempel di tubuhnya.

* * * *

Rata-rata ongkos perawatan pasien Suriah di Rumah Sakit Ziv tak murah, yakni US$ 15 ribu. Wakil juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel, Oren Rozenblat, mengatakan semua biaya itu diambil dari dana publik dan anggaran pemerintah, juga sumbangan pribadi dari warga Israel. "Kami sama sekali tak membedakan standar perawatan bagi pasien muslim atau korban dari Suriah. Jika yang datang ke sini adalah orang Yahudi atau anggota militer Israel, dokter di Ziv akan memperlakukannya setara dan dengan cara yang sama seperti yang diterapkan pada pasien dari Suriah."

Meski begitu, bukan urusan ongkos yang membuat dokter Lerner sedih setiap kali melepas pasiennya pulang ke Suriah. Setelah semua upaya pemulihan selama dua pekan hingga ada yang tiga bulan, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada mereka setelah kembali. "Di sana perang masih berkecamuk. Kami sedih membayangkan apa yang akan menimpa mereka. Sebagian dari pasien itu adalah anak-anak, yang entah orang tua entah keluarganya masih ada atau tidak saat mereka pulang," ujarnya.

Suatu kali Lerner berada dalam dilema etik ketika ada seorang ibu dengan kaki terluka berat dibawa ke Ziv dan sang ibu memaksanya melakukan amputasi. Padahal, meski luka ibu itu parah, Lerner tahu kaki tersebut masih bisa diselamatkan. Tapi si ibu tak peduli. Ia tak mau menjalani perawatan yang akan membuatnya harus lebih lama meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil di Suriah.

Saat kami hendak pamit, seorang perawat laki-laki masuk membawa peralatan mengepel lantai dan satu perawat perempuan berjilbab menenteng perkakas lain. Kata Lerner, "Mereka itu pahlawan kami sebenarnya. Para perawat itu yang berjaga sepanjang hari. Bukan saya."


Fariz N. Mehdawi:
Kita Harus Tetap Curiga

Semua yang dilakukan musuh perlu dipandang dengan curiga atau setidaknya dengan penuh waspada. Begitulah penilaian Duta Besar Palestina di Jakarta, Fariz N. Mehdawi, terhadap Israel, yang dalam tiga tahun belakangan mengerahkan empat rumah sakit mereka untuk turut merawat sekitar 2.000 korban perang di Suriah. Juga terhadap upaya-upaya Israel yang hendak menunjukkan bahwa ada perubahan dalam hubungan mereka dengan para tetangga yang selama ini memusuhi negeri itu.

Menurut Mehdawi, perubahan wajah yang hendak ditampilkan pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu itu tak lebih sebagai bagian dari public relations. Tujuannya mendapatkan opini publik internasional bahwa Israel merupakan negara yang menghormati hak asasi manusia. "Tapi usaha itu akan gagal jika kita melihat catatan tindakan Israel terhadap tetangganya, warga Palestina di Tepi Barat, Yerusalem, dan di Gaza," ujar Mehdawi lewat surat elektronik kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu.

Di wilayah-wilayah itu, kata dia, terdapat setidaknya 1,9 juta orang Palestina yang praktis terpenjara selama sembilan tahun ini akibat kebijakan yang diambil Netanyahu. Mereka tak bisa bepergian dan menjalani kehidupan sipil yang normal.

Maret lalu, otoritas Israel mengajak kami melihat langsung kesibukan di titik perlintasan Kerem Shalom di perbatasan Israel-Gaza. Menurut Ami Shaked, pejabat Kementerian Pertahanan yang ditunjuk sebagai manajer yang mengelola perlintasan ini, tak kurang dari 900 truk keluar-masuk ke Gaza saban hari. Mereka mengangkut segala rupa: bahan bangunan, makanan, perangkat elektronik, juga bahan bakar minyak atau gas. "Dalam kondisi saat kami diserang roket atau mortir Hamas sekalipun, kami akan memastikan truk terakhir bisa melintas dengan selamat," kata Shaked.

Tentang hal ini pun Mehdawi melihatnya dari sudut berbeda. "Semestinya yang jadi berita bukan soal berapa banyak truk yang mereka izinkan keluar-masuk," katanya. "Tapi berapa hari, bulan, dan tahun Israel telah melarang warga Gaza keluar, bahkan hanya untuk berkunjung ke Tepi Barat. Mereka tetap saja tak bebas mengimpor material bangunan atau mengekspor produk yang mereka hasilkan. Belum lagi ribuan yang terbunuh atau luka-luka karena operasi militer Israel."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus