Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JOSEPHINE menari-nari lincah. Ia berlari ke sana-kemari di atas panggung terbuka Kisrarnawa, Taman Budaya, Denpasar, pada Ahad malam pekan lalu. Sesekali tangannya melambai dan mengajak penonton bersalaman. Sapaan itu pun disambut ratusan penonton yang memadati area tersebut dengan tawa riang dan tepuk tangan meriah.
Di atas panggung seluas 12 x 6 meter, gerakan Josephine terlihat canggung dan sangat terbatas. Bagi dia, panggung itu tampak kurang luas. Maklum, Josephine adalah boneka raksasa perempuan dengan tinggi sekitar empat meter. Pemainnya, Sevane Sybesna, menyembulkan kepala di bagian perut dari baju yang dikenakan si boneka. Dari situ dia mengendalikan tangan Josephine menggunakan tongkat yang sekaligus dijadikan alat untuk menjaga keseimbangan.
Selain Josephine, boneka raksasa yang ikut dalam penampilan teater Les Grandes Personnes (Orang-orangan Raksasa) berdurasi 2 x 30 menit itu adalah Maurice (Maximilien Neujhar) yang menjadi anak laki-laki, Isidore (Yoan Cottet) sebagai ayah, dan Celine (Clodmo Baille) sebagai ibu. Mereka satu keluarga yang bahagia dan penuh keceriaan. Tak ada cerita khusus yang ditampilkan malam itu. Mereka memainkan boneka untuk bergerak dan menari menurut iringan musik yang berbeda-beda.
Empat komposisi lagu dimainkan dengan irama yang beragam, dari sentuhan waltz, disko, hingga musik dari Meksiko yang penuh semangat. Pada lagu terakhir, keempatnya turun dari panggung dan berbaur dengan penonton sambil terus menari. Warga Denpasar pun memberi sambutan hangat dan menggunakan kesempatan itu untuk ikut bergerak atau bahkan berfoto selfie.
Malam itu kelompok teater Les Grandes Personnes hadir dengan empat boneka raksasa dan enam pemain. Menurut koordinator teater, Cristophe Evette, mereka datang hanya dengan sedikit boneka dan pemain. Itu karena untuk menyesuaikan dengan panggung yang kecil. "Biasanya kami bermain di jalanan atau lapangan terbuka sehingga bisa bergerak leluasa," kata Evette. "Dan, untuk sebuah pertunjukan, biasanya kami membawa 25 karakter boneka dengan 30 pemain."
Sehari sebelum pementasan, boneka-boneka raksasa dari Prancis itu sempat ikut dalam pawai pembukaan Pesta Kesenian Bali yang dihadiri Presiden Joko Widodo. Adapun penampilan mereka di Taman Budaya Bali malam itu juga sebagai penutup rangkaian Printemps Français (Festival Musim Semi Prancis) ke-12 skala nasional yang berlangsung sejak 28 April lalu di 10 kota di Indonesia: Denpasar, Balikpapan, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Malang, Makassar, dan Semarang.
Les Grandes Personnes boleh dibilang merupakan kelompok teater boneka papan atas di Prancis. Dibentuk di Aubervilliers, Paris, pada 1998, mereka memadukan kreasi seni pahat dan ukir multimedia (kertas, kayu, plastik) ke ruang publik dengan memadukan seni visual dan seni pertunjukan. Mereka memulai kreasi dengan membentuk dan menampilkan boneka raksasa setinggi empat meter yang dipadukan dengan drama. Boneka tersebut menjadi wahana penciptaan imajinasi dalam cerita rakyat ataupun adaptasi naskah drama populer seperti Romeo and Juliet karya William Shakespeare.
Kelompok ini telah berpartisipasi dalam berbagai festival di Prancis ataupun negara lain seperti Boromo di Burkina Faso; Suenos de Mach di Valparaiso, Cile; Giant Match di Afrika Selatan; dan Marionetas Gigantes di Maputo, Mozambik. Dalam setiap kesempatan tampil di suatu negara, mereka menggelar secara rutin lokakarya membuat boneka raksasa dari kertas koran atau bahan daur ulang lain yang inovatif dan mengandalkan sumber lokal. "Kami memastikan semua bahan ramah lingkungan," ujar Evette.
Selain itu, Les Grandes Personnes telah tampil antara lain di Festival Cahaya (Fete des Lumieres), yang merupakan festival tahunan dan menjadi ciri khas Kota Lyon, Prancis, pada 2013, dan menggelar teater dengan suasana yang lebih akrab melalui lakon À la Corde (2008), La Ligne Jaune (2012), dan La Bascule (2014), yang merekam ulang jejak Prancis sebagai negara Eropa terakhir yang menghapus hukuman mati.
Di Bali, mereka telah bertemu dengan dua seniman, yakni Dalang I Made Sidia dari Sanggar Paripurna, yang terkenal dengan pertunjukan wayang kontemporer, dan Wayan Candra dari Sanggar Gajah Sesetan Bali (Gases), yang piawai menciptakan karya patung raksasa ogoh-ogoh. "Tahun depan kami akan kembali ke sini atau seniman dari Bali yang berangkat ke Prancis untuk merancang kolaborasi," kata Evette.
Menurut Evette, karya Made Sidia sangat menarik karena menggabungkan seni wayang dengan pertunjukan drama modern. Adapun karya Wayan Candra memiliki kemiripan langsung dengan boneka raksasa yang mereka mainkan. Bedanya, boneka raksasa ogoh-ogoh memiliki nilai spiritual dan penampilannya selalu dikaitkan dengan tradisi spiritual, yakni diarak sehari sebelum hari raya Nyepi. Sedangkan boneka raksasa Les Grandes Personnes benar-benar hanya sebagai pertunjukan yang menghibur.
Tawaran kolaborasi ini disambut terbuka oleh seniman Bali. Menurut Sidia, penerus Sanggar Paripurna yang didirikan oleh I Made Sidja (tokoh kesenian wayang Bali) pada 1990 di Gianyar, kerja sama itu akan mudah dilakukan. Sebab, ada kemiripan dari segi teknik dengan permainan barong landung yang sudah turun-temurun dikuasai seniman Bali. "Ada penggunaan stik untuk menggerakkan tangan dan senar untuk menggerakkan kepala," ujarnya. "Para seniman Prancis pun sangat tertarik mempelajari permainan barong itu."
Sebelumnya, Sidia bekerja sama dengan seniman mancanegara seperti Larry Reid "The Shadowlight Theatre" dan Kent Devereux, keduanya dari Amerika Serikat. Ia juga membuat produksi internasional Penculikan Dewi Sita bersama Peter Wilson dan Nigel Jamieson (Australia, Inggris). Tahun lalu, Made Sidia mewakili Indonesia dalam kongres International Society for the Performing Arts di New York, Amerika.
Adapun Wayan Candra dari Gases Bali menyebutkan keberadaan boneka raksasa memberikan gagasan untuk membuatnya dalam versi Bali. Selama ini ogoh-ogoh lebih banyak mengacu pada cerita wayang dan cenderung statis karena hanya untuk diarak. Dibanding barong landung, boneka dari Eropa itu juga lebih lincah karena semua organ bisa digerakkan. "Kelebihan itu yang bisa dikombinasikan dengan karya-karya saya," kata Wayan Candra.
Rofiqi Hasan (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo