Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

"yang gede nggak ada ..."

Wawancara tempo dengan jaksa agung soekarton marmosudjono tentang penayangan wajah koruptor di tvri. meberitakan koruptor di media masa agar merasa malu mendapat sanksi moral dan sosial.

23 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKSA Agung Soekarton Marmosudjono menerima TEMPO Sabtu lalu, menjawab pertanyaan tentang penayangan wajah koruptor di tivi. Petikannya: Dari mana ide penayangan koruptor di televisi? Memberitakan kasus-kasus korupsi dalam media massa adalah untuk menumbuhkan sanksi sosial dan sanksi moral terhadap koruptor. Jika masyarakat dapat mengembangkan sanksi sosial dan sanksi moral kepada koruptor, pemberantasan korupsi akan lancar. Sanksi sosial dan sanksi moral itu adalah untuk membuat pelaku korupsi tersebut merasa malu, karena dicela masyarakat. Bagaimana supaya masyarakat mencela koruptor? Perbuatan mereka perlu diberitakan agar diketahui masyarakat. Ini sudah dilakukan oleh media cetak maupun radio. Tapi, televisi belum didayagunakan seoptimal mungkin. Sasaran saya, dengan meningkatkan pemberitaan kasus korupsi di televisi, semata-mata untuk membangkitkan sanksi sosial dan sanksi moral. Ide penayangan ini, tampaknya, lahir setelah Anda pulang dari Australia, akhir September. Betulkah? Ide ini, sebenarnya, sudah lama saya renungkan. Terlontarkan, memang, setelah saya kembali dari Australia -- sepulang menghadiri konperensi internasional antikorupsi. Di sana, saya menyajikan satu naskah. Dalam naskah itu, antara lain saya menyebutkan bahwa korupsi bisa merusak moral bangsa. Selama seminggu itu, saya bicara soal korupsi. Lalu, keluar ide penayangan itu. Setelah saya diskusikan dengan Pak Singgih (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus), dan rekan-rekan lain, saya makin yakin metode penayangan ini tepat. Bagaimana sambutan masyarakat terhadap ide penayangan itu? Cukup baik. Fraksi ABRI, kampus, pesantren, ormas, sampai majelis ulama mendukung. Karena itu, saya wajib menegakkan hukum ini dengan segala macam upaya. Apakah ada kecenderungan korupsi bertambah? Itu tidak betul. Korupsi itu menurun. Ini bisa saya buktikan dengan angka. Pada 1984-1985 tercatat 1.191 kasus, 1985-1986 sebanyak 1.160 kasus, 1986-1987 sebanyak 951 kasus, 1987-1988 sebanyak 835 kasus, 1988-1989 cuma 582 kasus. Dari jumlah rupiahnya juga menurun -- berturut-turut Rp 98 milyar, Rp 74 milyar, Rp 17 milyar, Rp 13 milyar, dan Rp 8 milyar. Apakah penayangan ini tidak akan mempersulit proses sosialisasi pelaku tindak pidana korupsi dengan masyarakat? Kita ngeman satu orang atau kepentingan bangsa. Dia korupsi. Waktu dia berbuat, kok, tidak mikir ini uang negara. Kalau dipikir, memasukkan orang ke penjara itu juga mengurangi kemerdekaan orang, hak asasi orang. Sedangkan negara kita begitu menghormati hak asasi. Ada yang bilang, kalau menunggu suatu perkara selesai sampai tingkat kasasi, apa lagi yang ditayangkan? Berkas? Andai kata begitu, nanti, kan begini prakteknya. Begitu ada keputusan kasasi dari MA, keputusan itu diumumkan di televisi, lalu potret orangnya dipasang. Jika dalam persidangan, namanya disingkat, nanti disebut nama lengkapnya, jadi kelihatan tuntas. Kalau perlu, ditayangkan juga kantor Mahkamah Agung. Jadi yang ditayangkan bukan berkasnya. Tapi, kalau pemberitaannya menunggu sebegitu lama, sampai putus kasasi, waduh, orang sudah nggak terkesan lagi. Bagaimana dengan nasib keluarga yang dipermalukan? Keluarga itu, pada waktu menikmati hasil korupsi, naik baby benz, masuk hotel berbintang lima, berfoya-foya. Kalau senang ikut senang, sewaktu susah ikut susah dong. Apakah ada jaminan bahwa koruptor yang ditindak itu tidak pandang bulu? Kata-katanya tidak jaminan. Pokoknya, kami akan menindak koruptor, tidak dengan pandang bulu, sesuai dengan penegasan Presiden. Pendek kata: konsekuen dan konsisten. Ada yang bilang, kok, yang ditayangkan bukan koruptor kelas kakap. Tapi, kelas teri. Bagaimana kalau yang gede nggak ada. Masak, harus diada-adakan. Apa komentar Bapak mengenai suara-suara yang mengaitkan kasus penayangan ini semacam manuver menghadapi Pemilu 1993. Itu tidak betul. Ini bukan mau menghadapi pemilu. Tapi, melaksanakan amanat rakyat. Presiden Soeharto, sebagai mandataris, sepenuhnya melaksanakan amanat rakyat. Sebagai pembantu Presiden, saya tentu harus bekerja keras membantu Beliau melaksanakan amanat rakyat. Jadi, saya memenuhi tugas saja. Bukan manuver-manuveran. Saya sayangkan orang yang mengecap seperti itu. Itu namanya tidak berpartisipasi pada pembangunan. Ternyata, kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung lebih banyak berasal dari pengaduan ke Kotak Pos 5000 di kantor Wapres. Kenapa? Saya ada data. Dalam menindak korupsi itu, Kejaksaan Agung punya tiga sumber Kotak Pos 5000, BPKP, dan tindak lanjut dari Kejaksaan Agung sendiri. Semua saya tindak lanjut. Mengapa? Karena tindak lanjut itu penting. Pengawasan tanpa tindak lanjut bisa kehilangan pamor, bisa memudar. Kasus yang masuk dari kotak pos selama 20 bulan ini ada 279, selesai 224. Dari BPKP masuk 110 kasus, bisa diselesaikan 26 kasus. Sisanya dari kejaksaan sendiri. Jumlah seluruhnya ada 590 kasus dan sudah diselesaikan 300 kasus. Dengan tambah aktifnya kejaksaan menghantam korupsi, fungsi pengawasan kantor Wapres tampak kian bergigi? Sebetulnya, karena keterpaduan pengawasan itu yang membuat pengawasan makin bergigi, menurut istilah Anda. Kalau saya, lebih suka disebut makin efektif. Keterpaduan membawa efektif. Insya Allah, ke depan ini, nanti, korupsi makin kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus