Prof. Syed Hussein Alatas, Rektor Universitas Malaya, dikenal sebagai salah seorang pakar yang lama meneliti masalah korupsi. Bukunya tentang telaah korupsi sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Ahad sore silam, Ekram H. Attamimi dari TEMPO mewawancarainya di rumah dinasnya dalam kampus Universitas Malaya di Kuala Lumpur, antara lain tentang penayangan koruptor di televisi. Cuplikannya: Dalam usaha memberantas korupsi, agar efektif, yang penting sekali adalah tekad di hati penguasa. Mereka harus bersungguh-sungguh dan berkesinambungan bertindak. Dengan demikian akan timbul kepercayaan penuh dari rakyat, dan usaha itu akan mempunyai kesan mendalam. Soal efektif atau tidak, itulah yang penting. Soal ditayangkan di televisi, kalau yang ditayangkan hanya segelintir orang, tapi tekad dari seluruh aparat belum begitu kuat, ini tidak akan memberi kesan. Tapi kalau penayangan itu hasil dari usaha yang menyeluruh, barulah penayangan itu bisa punya kesan. Dari segi prinsipnya, kalau kita tayangkan koruptor yang dihukum, maka tidak ada alasan mengapa hanya koruptor. Mengapa tidak pemerkosa dan penjahat-penjahat lain? Pendek kata, kalau koruptor ditayangkan, perlakuan serupa juga harus diberikan kepada pelaku bentuk pidana lainnya. Saya sendiri kurang yakin perlunya koruptor ditayangkan di televisi. Apalagi di antara koruptor yang dihukum tentu ada juga yang nantinya diperlukan untuk membantu penyidikan suatu kasus, walaupun mereka sudah dijatuhi hukuman. Dan karena akan membantu dalam penyidikan pemerintah, tentu hukuman yang dituntut dan telah dijatuhkan akan lebih ringan. Kalau mukanya ditayangkan, akan menghilangkan semangat mereka untuk membantu. Tapi kalau kita kecualikan mereka, akan dicap pilih kasih pula. Dari segi taktis, memang lebih elok lagi bila tidak ditayangkan. Kecuali kalau ada koruptor yang luar biasa, yang kelas berat. Itu patut ditayangkan. Bahkan lebih dari itu, dengan dipamerkan melalui poster-poster di seluruh negara. Sebab, koruptor seperti itu tentu akan menyebabkan bencana nasional. Ini perlu ditayangkan. Tapi janganlah sampai langkah untuk menayangkan koruptor kelas berat di televisi itu dijadikan suatu undang-undang pula. Persoalan korupsi sebenarnya terletak pada ada atau tidaknya akhlak. Jadi, lebih pada soal karakter manusia, ketimbang soal kesempatan. Kalau karakternya sudah begitu, dan menganga pula kesempatan, akan menjadi-jadi korupsinya. Ini seperti tikus, lah. Kalau dikelilingi padi, akan menjadi-jadi. Kalaupun tidak ada padi, makanan lain akan dirusaknya. Sebab, sifatnya memang perusak. Jangan pula kita katakan tikus itu merusak sebab ada padi. Tikus itu begitu karena sifatnya. Padi itu baginya hanya kesempatan untuk membangkitkan sifatnya yang alamiah. Kalau kita mengatakan orang ini korupsi karena banyak kesempatan dari pembangunan dan modernisasi, nanti ada lagi yang mengatakan orang itu korupsi karena miskin. Jadi, teori yang satu mengatakan karena banyak kesempatan, dan teori lainnya mengatakan karena tidak ada kesempatan. Ya, dua-duanya salah. Kalau sifatnya itu memang menuju ke korupsi, dalam keadaan banyak kesempatan, dia bertambah menjadi-jadi. Dan dalam keadaan tidak ada kesempatan, dia pun mencari jalan. Kalau sebuah masyarakat banyak sekali dikuasai pemerintah yang korup, sifat korup ini akan mempengaruhi sebagian masyarakat. Kalau korupsi itu demikian besar pengaruhnya, ini akan mengganggu segala kewibawaan pemerintah, hakim, polisi, guru. Sebabnya begini. Kalau korupsi itu sudah di mana-mana sebagai iklim, ini akan melemahkan semangat dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pemeran kekuasaan. Jika iklim seperti itu sudah tercipta, akan mengundang suatu ledakan hebat. Karena, kalau sudah hilang kepercayaan terhadap yang berkuasa, terjadi ledakan yang sama sekali ingin menghapuskan segalanya yang memegang kekuasaan itu. Korupsi yang telah memuncak juga merupakan suatu bahaya bagi golongan yang berkuasa dan yang korup. Akan makan diri sendiri. Golongan berkuasa yang korupsi nanti akan ditentang oleh golongan lain yang juga korup. Ini bahaya, karena korupsi itu seperti senjata makan tuan. Misalnya, kalau seluruh pemerintahan telah dipengaruhi korupsi, maka penguasa yang korup juga tidak akan percaya pada yang lain. Akhirnya, akan terjadi saling tidak mempercayai. Saling makan melalui tindak korupsi. Cara terbaik untuk memberantas korupsi ada dua. Caranya, ya, yang melakukan tindak korupsi berhenti bertobat. Dan rakyat mesti marah. Dengan demikian, itu akan memaksa pihak berkuasa mengambil perhitungan terhadap kemarahan rakyat tersebut. Misalnya ada kepala sekolah melakukan tindak korupsi. Orangtua murid mesti marah. Tulis surat protes kepada Departemen P & K, pindahkan anaknya dari sekolah itu. Mesti ada reaksi keras. Yang saya maksudkan bukan berontak, tapi untuk perasaan marah. Golongan yang menjadi korban tindak korupsi jauh lebih besar. Kebanyakan anggota masyarakat menjadi korban koruptor. Mereka ini wajib marah. Tapi, bagi mereka yang melakukan penyogokan karena terpaksa, mereka tidak boleh kita salahkan. Media massa perlu selalu menyiarkan tulisan yang marah, yang menyerang koruptor. Kita harus membangkitkan suatu "amarah sejarah". Amarah yang besar, yang timbul dalam sejarah untuk menghalangi pertumbuhan tidak sehat itu. Seperti yang terjadi dalam sejarah Indonesia, "amarah menentang penjajahan". Itu suatu amarah yang bangkit dari sejarah Indonesia. Demikian juga kita perlukan suatu amarah yang besar dalam sejarah sekarang ini terhadap tindak korupsi. Sebab, pada dasarnya tindak korupsi itu mengkhianati perjuangan nasional. Merusak masyarakat, keadilan, kehidupan anggota masyarakat, dan nilai-nilai adat serta kemajuan. Pendeknya, merusak keutuhan masyarakat dan negara. Jadi, seluruh rakyat harus bangkit menentang koruptor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini