HEBOH soal penayangan itu bermula dari gagasan yang dilontarkan Sukarton dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, akhir November lalu. Ia tegas-tegas menyebutkan tujuannya dengan cara itu: Untuk memberikan sanksi sosial dan moral, sehingga tumbuh budaya malu. "Supaya si pelaku jera, dan perbuatannya itu diketahui masyarakat luas, dan masyarakat tak meniru perbuatan tercela itu," kata Sukarton kepada TEMPO, Sabtu pekan silam. Tindakannya itu, menurut Sukarton, bukan tanpa dasar hukum. Ia menyebutkan Pasal 10 KUHP tentang hukuman tambahan berupa pengumuman keputusan hakim sebagai landasannya. "Esensi dan semangat pasal itu, jelas, mengandung unsur agar putusan itu diketahui umum," ujar alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1962, itu. Hanya saja, sewaktu pasal itu dilahirkan seabad yang lalu, tambahnya, teknologi media elektronika, seperti TV, belum dikenal. Sehingga, putusan hakim -- tentu, yang sudah berkekuatan tetap -- cuma diumumkan di papan pengadilan. Berarti, hanya orang-orang yang lewat di situ saja yang tahu. Nah, "Kalau melalui TV, jangkauannya 'kan lebih efektif," ucap Sukarton yang, tahun lalu, berhasil menggolkan gagasan pencabutan paspor buron. Tapi, jenis hukuman baru yang diperkenalkan Sukarton itu, ternyata, tak disetujui para seniornya, Menteri Kehakiman Ismail Saleh dan Ketua Mahkamah Agung Ali Said. Ismail Saleh menganggap bahwa upaya penghukuman dengan menayangkan wajah koruptor di layar televisi itu sebagai hal yang berlebihan. Kecuali itu, ia juga mengingatkan agar Pasal 10 KUHP itu ditafsirkan secara hati-hati. Mudah-mudahan, kata Ismail Saleh, menimbulkan rasa malu itu tak sampai ditafsirkan bahwa si koruptor harus diarak di muka umum. Atau, si terhukum datang ke departemennya dan meminta maaf kepada seluruh karyawan. "Apa memang begitu penafsirannya. Sebaiknya, kita menafsirkan pasal tersebut dengan pendekatan budaya Timur dan moral Pancasila," kata Ismail, seusai Pameran Kartun se-ASEAN, akhir November lalu. Ketua Mahkamah Agung Ali Said juga tak mendukung ide Sukarton itu. Menurut Ali Said, upaya penayangan itu seyogyanya, katanya kepada Media Indonesia dan Suara Karya, harus memperhatikan asas praduga tak bersalah, hukuman tambahan, dan putusan yang telah berkekuatan tetap. Soal putusan berkekuatan tetap itu, kata Ali Said, biasanya melampaui suatu proses peradilan -- bisa banding atau kasasi. Nah, di tingkat banding atau kasasi itu, persidangan, katanya, hanya memeriksa kertas dan berkas. Lantas, "Apa majelisnya atau Ketua Mahkamah Agung yang akan ditayangkan," kata Ali Said lagi. Mengenai pidana tambahan dalam KUHP memang tak ada penjelasan lebih lanjut. Tapi, "Pasal itu kan buatan wong londo. Jangan dibaca begitu saja, mesti dipelajari," kata Ali Said kepada Liston P. Siregar dari TEMPO. Karena itulah, Ali Said pernah mengumumkan akan mengeluarkan fatwa untuk mengatasi kekosongan hukum tersebut. Tapi, hingga Senin pekan ini, fatwa dimaksud tak kunjung muncul. "Tak perlu," jawab Ali Said kepada TEMPO. Reaksi keras para senior itu, ternyata, cukup untuk membuat Jaksa Agung Sukarton berhati-hati. Laksamana Pertama TNI AL itu merapikan "jurusnya". Bersama Menteri Penerangan Harmoko, Senin pekan lalu, ia mengumumkan bahwa upaya penayangan itu tak hanya untuk kasus korupsi, tapi juga terhadap penyelundup, termasuk buron. Terhadap para buron tersebut, penayangan wajah mereka dimaksudkan untuk penyidikan kejaksaan. Dasarnya Pasal 21 Undang-Undang Hak Cipta, 1987. Untuk kepentingan keamanan umum atau untuk keperluan proses pidana, menurut pasal itu, potret seseorang dalam keadaan bagaimanapun juga dapat diperbanyak dan diumumkan oleh instansi berwenang. Selain itu, Sukarton juga memakai landasan Pasal 5 Undang-undang Antikorupsi, 1971. Pasal itu, memang, mewajibkan penyidik dengan inisiatif sendiri melakukan tindakan yang dianggap perlu dalam melakukan penyidikan korupsi. "Jadi, semua itu bukan tanpa dasar hukum," kata Sukarton. Dalam melaksanakan putusan in absentia (persidangan tanpa kehadiran terdakwa) yang sudah berkekuatan pasti, menurut Sukarton, jaksa malah harus mengumumkan si terpidana. "Jaksa itu eksekutor. Bagaimana bisa melaksanakan keputusan pengadilan kalau orangnya lari? Diundang tidak datang, ya tak tayangken," tambah Sukarton. Selain itu, ada pula bentuk penayangan jalannya persidangan. Untuk ini, Sukarton berpegang ke Peraturan Menteri Kehakiman, 1983, tentang tata tertib persidangan. Di tata tertib, yang berlaku untuk media massa itu, memang, diperkenankan pengambilan foto, rekaman suara, atau rekaman TV asal saja diizinkan majelis hakim. Kendati begitu, "kebijaksanaan" Sukarton tetap saja menjadi silang pendapat di kalangan ahli dan penegak hukum. Ketua Pengadilan Negeri Cianjur, Jawa Barat, Benjamin Mangkoedilaga, misalnya, tetap menilai upaya itu berlebihan. "Penayangan itu bisa menimbulkan dampak negatif bagi anggota keluarganya," ujar Benjamin. Bahkan, Benjamin mengaku tak terlalu mengindahkan soal tepat tidaknya penafsiran Pasal 10 KUHP. "Toh, nantinya, tergantung putusan hakim. Secara pribadi, saya tak akan mengabulkan tuntutan jaksa untuk menayangkan si koruptor," kata dosen Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) di beberapa perguruan swasta itu. Benjamin menganggap ketentuan undang-undang anti korupsi sudah cukup memadai dan ancaman hukumannya cukup berat: penjara seumur hidup, plus denda Rp 30 juta, bisa pula ditambah kewajiban membayar ganti rugi kepada negara -- sebesar uang negara yang hilang. "Sarananya sudah tersedia, tinggal mengefektifkan penggunaannya saja," tambahnya. Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Abdul Hakim Garuda Nusantara malah tegas-tegas menyatakan, upaya Sukarton yang dianggapnya represif itu tak akan banyak gunanya. "Saya tak yakin koruptor akan kapok kendati ditayangkan di televisi," ujar Abdul Hakim. Menurut Abdul Hakim, tindakan preventif yang lebih esensial justru akan lebih efektif dalam menangkal merebaknya korupsi. Yakni, dengan mekanisme pengawasan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Bisa saja, umpamanya, seorang pejabat wajib mendaftarkan jumlah hartanya sewaktu dilantik dan kemudian melaporkannya kembali ketika ia meletakkan jabatan. Nah, "Apa itu bisa dilakukan?" katanya. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Prof. J.E. Sahetapy lebih keras lagi. "Masalahnya bukan setuju atau tidak. Tapi, dalam memberantas korupsi, kok, kita sepertinya kebingungan," kata Sahetapy. Ia lebih setuju kepada bentuk penghukuman untuk menanamkan rasa bersalah ketimbang mempermalukan terpidana. Tanpa mau mengulas aspek hukum "penayangan", Sahetapy malah bertamsil: Menangkal korupsi itu ibarat mengatasi kanker. Mestinya, katanya, dilakukan terapi kausalitas berupa operasi, sehingga kanker itu hilang. Bukannya lewat terapi simptomatik dengan memberi obat, sehingga cuma gejalanya saja yang sirna. Sebaliknya, banyak pula ahli hukum yang sependapat dengan Sukarton. Dekan FH Universitas Diponegoro, Semarang, Dr. Muladi, menilai cara Sukarton itu sama sekali tak bertentangan dengan asas-asas hukum pidana. Asalkan saja, penayangan itu dilaksanakan setelah tegas-tegas dinyatakan dalam putusan hakim, yang telah berkekuatan pasti. "Kalau sebelum vonis, wajah si koruptor ditayangkan, nanti, si terdakwa bisa-bisa menuntut balik," ujar Muladi. Untuk mencegah bumerang semacam itu, Guru Besar Hukum Tata Negara FH UI Prof. Padmo Wahjono menyarankan agar soal penafsiran Pasal 10 KUHP itu dirumuskan dan dilegalisir. Bentuknya, bisa berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Bisa juga semacam fatwa, sebagaimana yang disebut-sebut Ketua Mahkamah Agung. "Kalau tidak begitu, dari segi hukum, upaya itu mengandung kelemahan," kata Deputy Ketua BP-7 itu. Hakim Agung Bismar Siregar, sebaliknya, menganggap tak perlu ada fatwa ataupun peraturan tambahan. "Apa segalanya harus dibuat dulu, sedangkan pasal yang melandasinya sudah ada?" kata hakim agung, terkenal dengan vonis-vonis kotroversialnya itu. Menurut Bismar, penayangan itu juga dibenarkan dalam hukum Islam, seperti halnya pelaksanaan hukuman mati di depan umum. Sementara itu, Ketua Dewan Kehormatan PWI Dja'far Assegaf malah menarik persoalan tersebut ke hukum pers. Menurut Assegaf, bagaimanapun, menayangkan koruptor ataupun meliput persidangan melalui TV, sesuai dengan kode etik jurnalistik, terhitung melanggar asas praduga tak bersalah. Apalagi, sambungnya, kategori pemberitaan lewat TV berbeda dengan media cetak. "Kalau yang diberitakan membantah, media cetak bisa meralatnya. Tapi, kalau berita TV? Kan tidak mungkin. Makanya, TV harus hati-hati," kata Pemimpin Redaksi Majalah Warta Ekonomi tersebut. Menghadapi bermacam-macam reaksi itu, Sukarton sendiri mengaku amat gembira. "Itu menunjukkan demokrasi betul-betul berkembang. Ada dialog terbuka tanpa mengganggu stabilitas. Hebat kan?" ujarnya. Kendati begitu, akibat berbagai reaksi itu, tampaknya, kejaksaan "berhati-hati" sekali dalam melaksanakan ide baru tersebut. Para penonton TV, Senin pekan ini, misalnya, tak bisa lagi melihat wajah terdakwa yang disidangkan. Sebab, pengambilan gambar dilakukan dari arah belakang terdakwa, sehingga yang tampak hanya punggung terdakwa, dan wajah para hakim. Cara peliputan itu sangat berbeda dengan yang pernah dilakukan TVRI sebelum Sukarton mengumumkan ide barunya itu. Sewaktu persidangan vonis penyelundup rotan di Ujungpandang, Robby Mandolang, misalnya, wajah pesakitan, di layar TV, nyaris di-close up. Begitu pula cara peliputan perkara penyelundup barang-barang elektronika, Frans Limasnax, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, beberapa bulan lalu. Padahal, tak satu pun ketentuan hukum tertulis, termasuk kode etik jurnalistik, secara tegas mengatur tata cara peliputan persidangan. Juga soal pemberitaan nama dan gambar terdakwa. Apalagi, hukum acara pidana Indonesia (KUHAP), memegang prinsip persidangan terbuka untuk umum. Soal asas praduga tak bersalah, yang dikhawatirkan terlanggar oleh peliputan TVRI, sebetulnya pernah diulas panjang lebar oleh Prof. Padmo Wahjono dalam Diskusi Sehari TEMPO di Hotel Hyatt Ambasador, Jakarta, akhir Maret 1989. Menurut Padmo, masalah tersebut perlu dikaji kembali. Sebab, tak ada "rambu-rambu" yang tegas dan pasti mengatur boleh-tidaknya identitas terdakwa diberitakan secara lengkap. Dan perlu diingat, masih kata Padmo, dalam proses pengadilan, hakim tidak pernah menyingkat nama tertuduh. Apalagi menutup mata tertuduh. Begitu pun masalah trial by the press, yang nota bene hanya pinjaman dari istilah asing, menurut Padmo, secara konstitusional tak pernah ada di Indonesia. "Tidak akan pernah hakim terpengaruh berita," kata Padmo (TEMPO, 1 April 1989). Jaksa Agung Sukarton, tentu saja, setuju dengan pendapat Padmo tersebut. Ia menandaskan bahwa penayangan dan peliputan dimaksud sama sekali tak akan melanggar asas praduga tak bersalah. Dalam hal pencarian buron, katanya, justru perlu diumumkan nama lengkap dan foto terdakwa. "Kalau nama buronnya disingkat, nanti, malah keliru. Yang disuruh tangkap Sukardi, tapi karena diumumkan inisial Sk, yang tertangkap Sukardjo," guraunya. Agaknya, yang penting dilakukan Sukarton, bagaimana meyakinkan pihak lain bahwa upaya itu bermanfaat dan tak mengada-ada. Dan pekerjaan itu tak gampang. Happy S., Karni Ilyas dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini