SIDANG Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin pagi pekan ini, jadi lebih semarak. Selain sejumlah wartawan, tampak tiga kru TVRI berseragam biru, yang tak henti-hentinya menyorotkan kamera -- tanpa lampu agar jangan mengganggu sidang -- ke ruang sidang itu. Di sana, majelis hakim yang dipimpin Zakir Adiwinata sedang membacakan vonis untuk terdakwa R. Saroso Soedarmadji, 26 tahun, pegawai bagian komputer Bank Dagang Negara Cabang Bintaro Jaya, Jakarta Selatan. Saroso, akhirnya, divonis 5 tahun penjara karena, menurut hakim, terbukti melakukan manipulasi dengan membuat kredit fiktif. Hasilnya, ia berhasil menggaet lebih dari Rp 1,5 milyar, tapi karena permainan itu cepat terbongkar, Rp 1,2 milyar di antaranya sempat ia kembalikan. Ketika liputan itu disiarkan TVRI, Senin malam pekan ini, ternyata yang kelihatan cuma punggung Saroso, serta wajah para hakim, jaksa, atau kerumunan pengunjung. Inilah kasus korupsi ketiga yang masuk layar kaca TVRI, setelah suasana dihangatkan oleh pro dan kontra penayangan koruptor di televisi, selama hampir dua pekan ini. Yang pertama terjadi pada 11 Desember yang lalu. Ketika itu, dalam acara "Berita Nasional", pukul 19.00 WIB, TVRI menampilkan satu per satu foto hitam-putih tiga buronan Kejaksaan Agung. Mereka, Yasin Syarif alias Fie Young Sin Suhari Ali Martadinata alias Akong dan Marzuki alias Go Kie Tjong. Ketika foto-foto itu disorotkan di layar TV, di sampingnya ada tulisan "Pelaku Tindak Pidana Korupsi". Yasin, 47 tahun, yang dalam foto itu mengenakan dasi serta jas berkerah lebar, disebutkan sebagai seorang pedagang, direktur dari sejumlah perusahaan di Jakarta. Ia ditangkap kejaksaan, 1 Juni 1989, dituduh melakukan tindak pidana korupsi dengan memanipulasikan barang-barang impor yang mengakibatkan negara rugi sampai Rp 44 milyar. Tapi, tak sampai dua bulan, 13 Juli 1989, ia berhasil kabur dari rumah tahanan. Begitu juga dua temannya yang lain adalah para buron. Setelah penayangan itu, banyak pihak berkomentar tak puas, karena merasa yang ditayangkan bukanlah koruptor yang sebenarnya, melainkan para penyelundup dan buronan kejaksaan. Singgih, yang membidangi korupsi dan penyelundupan di Kejaksaan Agung, segera menegaskan bahwa mereka adalah koruptor. "Koruptor bukan cuma pegawai negeri, juga kalangan swasta, asalkan perbuatannya memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi," katanya. Upaya menampilkan koruptor di layar televisi merupakan langkah baru yang ditempuh Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono untuk menghantam korupsi. Dalam brosur "Pedoman Penayangan Tindak Kejahatan Melalui Siaran TVRI" yang dibagi-bagikan Kepala Humas Kejaksaan Agung Soepriyadi kepada wartawan, Rabu pekan lalu, tertulis bahwa tindak kejahatan yang akan disiarkan TVRI meliputi: korupsi, penyelundupan, buronan, dan usaha-usaha lain yang dipandang perlu. Di situ disebutkan bahwa pemuatan wajah atau foto, atau identitas lain dari pelaku dalam siaran televisi, dilakukan setelah perkara itu divonis hakim, dan vonis itu sudah mempunyai kekuatan hukum. Bisa juga TVRI meliput langsung acara persidangan di pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum, sebagaimana peliputan berita biasa, dengan berpegang pada kode etik jurnalistik dan kode etik siaran TVRI. Selain itu, peliputan harus mendapat izin dari hakim ketua yang memimpin sidang. Selain itu, ialah penayangan wajah para terdakwa yang buron, semacam Yasin Syarif dkk. tadi. Disebutkan pula dalam brosur itu, sumber informasi bagi TVRI tentang adanya kasus kejahatan yang bisa disiarkan adalah kejaksaan agung dan hakim ketua sidang perkara yang bersangkutan. Tapi, tampaknya, gerakan Jaksa Agung ini menimbulkan pro dan kontra yang amat sengit. Dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi III DPR, 27 November lalu, Jaksa Agung secara resmi menyampaikan niatnya untuk menayangkan korupsi di televisi. Ide menayangkan korupsi sudah dilempar Sukarton kepada wartawan, pertengahan November lalu, setelah ia pulang dari menghadiri konperensi internasional anti-korupsi keempat di Sidney, Australia, 12-17 November 1989. Ketika Ketua Komisi III (antara lain membidangi hukum) Susanto Bangunegoro membacakan konsep kesimpulan raker itu bahwa Komisi III mendukung gagasan Jaksa Agung itu, kontan anggota komisi Mohammad Diah (F-KP) menyatakan keberatan, sekaligus mengingatkan bahwa anggota lain, Nikolaas H.E. (F-PDI) juga tak setuju. Alasan yang mereka kemukakan, antara lain, soal hak asasi manusia dan asas praduga tak bersalah. Sukarton mencoba menjelaskan bahwa untuk ini, ia sudah sepakat dengan Menteri Penerangan Harmoko, bahwa yang ditayangkan adalah orang yang sudah mendapat vonis yang sudah punya kekuatan hukum. Sejumlah anggota Komisi III lainnya memang mendukung Sukarton, misalnya, Cahyo Kumolo (F-KP) dan Yusuf Husen (F-PP). "Penayangan ini tikaman terhadap kehidupan beragama, karena agama menyuruh kita saling mencintai dan menyadarkan orang yang korupsi," kata Nikolaas kemudian kepada wartawan TEMPO Diah Purnomowati. Pendeta ini melihat tindakan itu semacam jalan pintas untuk memberantas korupsi yang tak akan bermanfaat. Akhirnya, konsep keputusan tadi diubah. Komisi itu bisa memahami rencana Jaksa Agung itu, namun diharapkan diadakan lagi pengkajian dengan memperhatikan peraturan dan hukum yang berlaku. Lebih seru kemudian, setelah ternyata Menteri Kehakiman Ismail Saleh juga keberatan dengan gagasan itu. Malah, menteri ini menulis sebuah kolom di Media Indonesia, 13 Desember 1989, yang mengingatkan agar kita berpijak pada jati diri dan kepribadian sendiri. Boleh dibilang, cukup banyak kalangan yang menentang ide Sukarton, terutama dari kalangan praktisi hukum, seperti Ketua LBH Abdul Hakim Garuda Nusantara, atau kalangan perguruan tinggi, seperti Profesor J.E. Sahetapy. Tapi, cukup banyak juga pendukungnya. Sebut saja nama Hakim Agung Bismar Siregar, ahli hukum tata negara Padmo Wahyono, Fraksi ABRI DPR, atau Ketua MUI K.H. Hasan Basri. "Itu sesuai kok dengan ajaran Islam," ujar Hasan Basri. Ketua MUI itu memberi contoh hukuman terhadap pencuri di Mekkah: Tangan pencuri itu dipotong di tengah lapangan seusai salat Jumat, agar bisa ditonton orang banyak. Dengan penayangan ini, si koruptor akan jera, tak mengulangi lagi kejahatannya, sedangkan orang lain tak akan meniru perbuatannya. "Saya kira penayangan ini efektif mencegah korupsi," katanya. Tampaknya, Sukarton sudah meluncur dan, paling tidak untuk sementara, akan terus meluncur. Kejaksaan Agung sendiri sudah menyiapkan sebuah tim untuk penayangan ini, yang dikoordinasikan oleh Jampidsus Singgih. Itu dimaksudkan agar kasus korupsi yang ditayangkan di televisi betul-betul akurat. "Jangan sampai keliru memasang foto, misalnya. Kami nggak mau menginjak-injak hak asasi manusia," ujar Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono. Dan sejauh ini, TVRI akan terus menayangkan pesanan tim di Kejaksaan Agung itu. Menurut sebuah sumber di TVRI, penayangan para koruptor dilakukan TVRI secara rutin dalam acara "Berita Nasional", setiap Senin dan Kamis. Berdasarkan kesepakatan Jaksa Agung dan Menpen, kata sumber itu, semua keterangan sudah dipersiapkan Kejaksaan Agung. Jadi, tampaknya, yang baru adalah rencana penayangan secara rutin Senin dan Kamis, sejak 11 Desember yang lalu. "Nanti, kami juga akan mempunyai redaksi yang akan mempertimbangkan kelayakan setiap berita korupsi yang diliput," katanya. Bagi Sukarton, upaya memberantas korupsi dan penyelundupan akan mendapat prioritas. Ia mengingatkan pidato Ketua DPR Kharis Suhud pada pelantikan Presiden Soeharto, 11 Maret 1988, antara lain, harapan ketua DPR kepada presiden tentang perlunya penanggulangan masalah penyalahgunaan wewenang, penyelewengan, dan sebagainya. Keppres nomor 13 tahun 1989 tentang Pelita V menyebutkan secara eksplisit tentang upaya yang lebih tegas untuk menindak kasus korupsi, penyelundupan, dan subversi, secara lebih tegas, adil, dan konsisten. "Ini hal baru, pada Pelita sebelumnya belum ada," katanya. Itu ditafsirkan Sukarton, bahwa untuk menghadapi tinggal landas, negara ini harus kuat, karena itu berbagai bentuk penyelewengan diberantas. Salah satu caranya adalah dengan penayangan itu, yang diharapkan bisa menjerakan para koruptor, selain menimbulkan rasa jeri untuk calon koruptor, dengan mengharapkan agar orang malu menjadi koruptor karena akan masuk televisi. Menurut Sukarton, pada prinsipnya, Presiden Soeharto menyetujui penayangan para koruptor di televisi. Dalam rapat koordinasi para Irjen, awal November lalu, Sukarton menyebutkan bahwa selama sebulan sejak 1 Oktober 1989, para Irjen mengadakan pemeriksaan, ditemukan 207 pegawai negeri dari berbagai departemen, yang diduga korupsi. Dari jumlah itu, 91 orang telah dikenakan tindakan administratif: diberhentikan, dibebaskan dari jabatannya, diturunkan pangkat, dimutasikan, atau diberi peringatan. Sementara itu, Wapres membentuk tim khusus untuk menangani surat-surat yang masuk ke Kotak Pos 5000 -- terutama yang menyangkut korupsi -- yang disediakan kantor Wapres untuk menampung pengaduan masyarakat. Sejak kotak pos itu dibuka, April 1988, sudah diterima 27.783 surat pengaduan, yang terbanyak menyangkut Depdagri, lebih dari 32%. Dari seluruh surat, menurut Sekretaris Wapres Mochtar, sekitar 19.000 di antaranya punya bobot pengawasan. Dari jumlah itu, lebih dari 16.000 surat sudah diteruskan ke instansi terkait untuk memperoleh umpan balik. Tapi, yang menarik, dan seluruh perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung, 20 bulan terakhir ini, seluruhnya berjumlah 590 kasus. Yang terbesar, 279 kasus, berasal dari pengaduan di Kotak Pos 5000. Sejumlah 224 kasus dari kotak pos itu sudah diselesaikan kejaksaan. Jumlah itu lebih besar dibandingkan dengan temuan BPKP, dalam periode yang sama, cuma 110 kasus. "Kenapa dari kotak pos lebih besar? Karena itu kan masyarakat yang mengirimnya. Kalau BPKP kan melalui penelitian. Tapi, yang benar dari kotak pos itu kan cuma sekian persen saja," kata Sukarton. Betapapun, Jaksa Agung ini berpendapat bahwa semua fungsi pengawasan harus ada tindak lanjutnya. "Pengawasan tanpa tindak lanjut bisa memudar dan kehilangan pamor," ujar Sukarton. Maka, gencarnya Kejaksaan Agung menghantam korupsi, tampaknya, akan berlanjut terus. Sementara itu, fungsi pengawasan yang dipegang Wapres Sudharmono, agaknya, juga jadi lebih menggigit dibandingkan dengan sebelumnya. Amran Nasution, Ahmadie Thaha, Diah Purnomowati, dan Irwan Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini