TIDAK ada larangan berambisi menjadi Bima. Namun, untuk didapuk menjadi Bimasena (dalam wayang orang), ada syarat-syarat panggung yang harus dipenuhi. Pertama, seorang harus jangkung dan tidak kerempeng. Agar pantas didandani sebagai salah seorang kesatria kerabat Pendawa ini. Kedua, perutnya sebenarnya tidak boleh buncit. Kecuali kalau buncitnya setelah makmur sukses menjalankan peran sebagai satria perkasa itu. Ketiga, seorang Bima tidak boleh pandai menyanyi. Menjadi Bima tidak cukup dengan wajah berewokan. Karena, di balik berewok wajah itu seharusnya tersembunyi suara yang agung dan menggelegar. Jadi, suara pemain Bima mestilah besar dan merdu pula. Keempat, seorang Bima tidak boleh banyak bicara. Bahkan omongan yang menghibur, menyejukkan semua pihak, pun harus ditahan. Demi tegaknya wibawa sang penengah Pendawa, katanya. Belum ada Bima yang boleh main di panggung dengan gaya seperti dagelan. Seorang Bima harus suci hatinya. Sekurang-kurangnya ketika tampil di panggung. Tokoh ini terkenal tak punya harta. Yang kaya ialah ketulusan hati dan keteguhan tekadnya. Kantungnya tak pernah berisi uang. Saya tidak bisa menggambarkan Bima main di panggung dengan kantung tebal berisi lembaran uang gebokan. Karena itu, ketika teman saya Leopold didorong-dorong untuk mau didapuk menjadi Bima, dia tertawa terpingkal-pingkal. Karena, pertama, Leo tidak jangkung. Bahkan jarak dari dengkul ke pahanya cenderung kependekan. Kedua, kalau sampai orang berhasil mengecilkan perut Leo, ia akan memperoleh rahmat dari langit. Di hari Natal tentu saja sahabat saya ini harus bernyanyi, misalnya lagu Malam Sunyi. Ketiga, Leo ini sangat pemalu. Jangankan main wayang orang sebagai tokoh Bima yang perkasa, dan harus bicara tegas dan tandas sebagai penengah Pendawa. Melayani kecepatan otaknya saja, kemampuan verbalnya tebata-bata. Memang dia cerdas. Tetapi tidak untuk diobral dalam gaya pakeliran. Keempat, karena ia dimanja ibunya, perut Leo buncit sejak muda. Apa boleh buat. Salah satu syarat yang dipenuhi barangkali adalah, seperti Bima, dia juga tidak mengagungkan harta. Dia sangat bahagia tidak harus menerima beban titipan uang banyak dari Tuhan. Syarat kedua yang juga dipenuhi Leo, saya berani jamin, adalah hatinya yang suci. Mengharap Leo berbohong sama dengan menanti busuknya kaca. Tetapi biarpun kedua syarat itu dia penuhi, Leo pun tidak berambisi menjadi Bima. Tetapi bagaimana kalau dia dipaksa-paksa supaya berambisi? Misalnya tatkala teman-temannya yang kebelet menonton lakon Bima Kroda memilih Leo untuk dibujuk-bujuk. Dalihnya, katanya, pada abad ke-21 nanti Bima tidak perlu jangkung. Bahkan perkembangan teknologi telah menjungkirbalikkan stereotype orang tentang keluarga Pendawa. Boleh saja, misalnya, Harjuna didapuk oleh orang yang mulutnya kelewat ndower. Sebab, itu nanti kan bisa direkayasa dengan teknik panggungnya. Maka, Leo pun bertambah ngeri, kenapa sih dia di-Bima-Bimakan? Kenapa tidak di-Petruk-Petruk-kan saja, misalnya? Bukankah masih ada yang lebih jangkung, lebih bariton suaranya, bahkan wasis berbicara. Kenapa Leo disindir-sindir, katanya, "Boleh saja, lho, orang pendek jadi Bima. Asal matanya dua, punya telunjuk jari dan kepala tidak segitiga. Supaya bisa dimasuki tutup kepala bergelung melingkar panjang seperti laiknya Bimasena. Apalagi Leo kan bisa ceplas-ceplos, dan pula Leo tidak banyak bicara." Habislah kesabaran Leo menangkal isu. Maka, tidak heran tatkala pada suatu hari Leo mencari surat keterangan Bebas Ambisi. "Mas, saya benar-benar tidak ambisi jadi Bima. Tetapi di mana, sih, dapat saya peroleh surat keterangan Bebas Ambisi?" tanyanya pada suatu hari. Saya pun terperanjat. Saya tahu, di rumah sakit tertentu Leo bisa minta surat keterangan Bebas Narkotik, asal dia tidak madat. Atau surat keterangan Bebas AIDS, karena memang dia tidak ingin dekat sesama jenis. Di kantor lain ada surat keterangan Bebas Pajak, Bebas Lima Buta, Bebas Bea, atau Bebas Parkir. Tetapi, surat keterangan Bebas Ambisi, rasa-rasanya tidak ada yang mau jual. Tetapi bagaimana kalau ada yang butuh begini? Apa boleh buat. Karena diperlukan, surat itu pun harus ada. Begini kira-kira bunyinya. "Demi Bima. Saya bersumpah bahwa saya tidak ambisi menjadi Bima, atau akan berambisi suatu peran yang karena sifatnya bisa dianggap sebagai Bima. Bahwa dalam menjalankan tugas, saya akan bermain wajar, berdisiplin, bertanggung jawab, dan penuh pengabdian, tetapi tidak sekali-kali pengabdian saya tadi bakal bisa ditafsirkan sebagai seorang yang mem-Bima-Bima-kan diri. Tertanda, Bima, eh, Leopold". Surat itu lalu diperbanyak. Siapa saja yang bertanya dan membujuk perkara Bima, langsung saja disodori. Biar pada tahu bahwa Bima kek, Harjuna kek, Leopold tidak urusan. Kepentingannya hanyalah menjalankan tugas dengan baik dan sepenuh hati. Siapa yang tidak percaya, silakan bedah dada Leo. Isinya pasti cuma darah, jantung, dan nasi. Semen tidak ada. Paku dia juga belum sanggup menelannya. Mana bisa ambisi jadi Bima. Tetapi, dasar Leo sedang dipecundangi para pencari mangsa. Karena potensi kebaikan hatinya dan ketulusan jiwanya, maka bila korban harus jatuh, Leopold yang naif tetapi perkasa pun bisa juga dimakan pencari mangsa. Jangan heran bila nanti keluar bisik-bisik, "Awas, Leopold sudah bersumpah demi Bima!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini